29. Ruang kosong

4.1K 512 28
                                    

29. Ruang kosong

Malam ini, Raga mengajakku pergi ke acara ulang tahun temannya. Sebenarnya aku tidak terlalu suka pergi ke acara seperti ini. Apalagi jika harus bertemu dengan banyak orang yang sebelumnya tidak aku kenali sama sekali.

Aku sudah menolak untuk ikut, tapi kasihan juga Raga yang mengiba kepadaku. Katanya, teman-temannya pasti bawa pasangan, masa dia sendirian? Jadi dengan terpaksa aku pun ikut dengannya.

Dan kalau tidak salah, nama temannya yang berulang tahun adalah Rey, hanya itu yang aku tahu, karena aku memang hanya bertanya nama saja.

Sekarang, kita sedang di perjalanan. Raga sedang fokus menyetir, sedangkan aku fokus pada ponsel Raga yang kupinjam. Akhir-akhir ini aku memang sering memegang ponsel Raga untuk menghapus foto aib-aibku. Anehnya, sudah dihapus pun, kalau aku lihat lagi, pasti ada lagi, menyebalkan sekali.

"Raga, ini gimana sih biar hapus permanen?" Aku kesal sekarang.

"Itu tuh udah mendarah daging sama hp aku. Jadi gak bisa dihapus."

Alasan macam apa itu? Raga, kalau saja aku tidak cinta, sudah benar-benar kulempar kamu ke Pluto.

"Yang bener sih, Ga!"

"Rayu aku dulu! Nanti aku hapus."

Apa katanya? "Mimpi!" Ya, mana mau aku merayu Raga.

"Yaudah kalo gitu."

"Ih, Ga. Foto aku jelek gini, nanti kalau hp kamu dipegang temen, terus mereka liat, gimana?"

"Itu gak jelek."

"Jelek, Ga. Belum mandi gini difotonya."

"Orang kan gak tau kamu udah mandi atau belum kalau cuma difoto."

Ingin kujambak rasanya. Kenapa aku bisa mencintai manusia menyebalkan semuka bumi ini?!

"Hapus sih, Ga!" Aku merengek.

"Rayu dulu!"

"Gak mau, ih."

"Kenapa, sih? Orang pacar sendiri."

Memang benar. Tapi rasanya aneh kalau aku meryu Raga. Aku tidak pernah melakukannya. Kalau Raga tentu sering.

"Gini, nih. Raga sayang, hapus dong foto aku."

Dia bahkan mencotohkannya dengan nada manja. Astaga, Raga memang memiliki bakat untuk merayu. Dan tentu saja aku tidak mau. Bahkan, selama hampir setengah tahun kita menjalani status pacaran ini, masih terhitung dengan jari aku memanggil Raga sayang. Itu pun hanya lewat pesan saja. Rasanya aneh memanggil Raga seperti itu.

"Males."

"Yaudah."

"Raga!"

"Sayang!"

Aku berdecak dan melipat kedua tanganku di depan perut. Sudah dipastikan kalau bibirku maju beberapa senti.

"Kamu sayang gak sih, sama aku?"

"Sayang."

"Nah itu, apa susahnya coba manggil sayang?!"

Aku berbalik menghadapnya dan menarik tangannya untuk kugigit. Gemas rasanya.

"Aduh aduh, Lita jadi zombi."

Dia mendramatisir. Tapi setelah kulepas, malah tertawa.

"Geli digigit kamu."

Aku hanya mendengus. Lalu, dia menarik tanganku, kukira Raga ingin memberi serangan balasan, karena itu aku berusaha terlepas darinya, tapi yang kudapati malah sebuah kecupan.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang