3. Mantan Adalah Ujian

6.7K 747 25
                                    

3. Mantan Adalah Ujian

"Gimana kabarnya?"

Ketika mendengar pertanyaan itu, aku ingin bertanya pada dunia, tentang bagaimana rasanya jika orang yang masih kita cintai menyapa lagi. Bagaimana rasanya kalau sosok di masa lalu datang kembali dan menyapa dengan senyuman yang menyejukkan hati? Karena jujur, aku kesulitan untuk menjelaskan bagaimana rasanya.

Apakah rasanya bumi bagai tak dapat dipijak? Bagai petir menyambar jantung sampai membuatnya berpacu ribuan kali lebih cepat. Belum lagi, keringat mengalir lewat pelipis dengan begitu mulusnya, padahal hari ini cuaca terasa dingin dengan awan mendung menyelimuti langit.

Aku gugup setengah mati. Duduk seorang diri di perpustakaan sambil berkutat dengan laptop dan buku adalah kegiatan yang sering aku lakukan. Rasanya nyaman dan menyenangkan. Tapi tiba-tiba saja, sosok Nata sudah duduk tepat di depanku. Ia menyapaku tanpa canggung. Ia menyapaku seakan ingin menumbuhkan benih-benih harapan yang masih tersimpan. Dasar wanita, disapa sedikit langsung berharap.

"Baik, Kak," jawabku yang masa bodo jika pun terdengar gugup.

Lelaki dengan kemeja flanel panjang yang dilingkis setengah lengan dan menggantungkan almamaternya di atas pundak itu tersenyum tampan. Astaga, Nata memang tampan. Bohong jika Raga bilang ia lebih tampan dari Nata.

"Temen-temen kamu mana?"

Yang ditanyakan oleh Nata adalah Zaira dan Meira. Mereka adalah sahabat yang sangat mengerti aku. Dan sekarang, karena memang aku ingin seorang diri saja untuk menyelesaikan tulisanku, mereka pun pergi entah kemana untuk memberiku privacy. Karena jujur, aku tidak bisa menulis jika tidak seorang diri. Dan sekarang, sudah dipastikan kalau aku tidak akan bisa menulis karena ada Nata di sini.

Yang kumaksud menulis adalah mengarang sebuah cerita bergenre teenfinct. Aku tidak bisa dikatakan sebagai penulis, namun aku memang seorang penulis di wattpad yang selalu berharap karya-karyaku akan menjadi sebuah buku. Aku memang minat di bidang tulis menulis. Karena itu lah aku memilih jurusan sastra.

"Kayaknya ada di kantin."

Dia hanya mengatakan oohhh sepanjang kereta. Lalu kita diam. Jujur saja, aku memang tidak pandai membuka percakapan. Saat bersama Raga pun, lelaki itu yang selalu lebih dulu berbicara. Dan Nata juga sudah tau dengan kebiasaanku ini.

Aku sudah menyibukkan diri kembali dengan laptopku. Mungkin lebih tepatnya pura-pura sibuk karena tidak tau harus melakukan apa lagi atau berbicara apa lagi. Hingga akhirnya Nata kembali membuka suara.

"Kamu lagi ngapain?"

"Ngetik," jawabku cepat.

"Maksud aku ngerjain apa?"

Mendengar pertanyaanya itu, sepertinya aku tau kalau dia butuh perhatianku. Akhirnya, aku pun menutup laptop dan melipat tangan di atas meja. "Ada yang mau diomongin?" tanyaku, dengan sedikit nada jual mahal.

Hey wanita, meskipun kamu memang cinta, tolong jual mahal sedikit, jaga harga diri! Jangan terlalu menunjukkan kalau kamu masih sangat butuh dia. Karena kebanyakan laki-laki, sering membodohi wanita yang terlihat sangat menyayanginya. Ini aku memang sedang berusaha untuk bijak.

Dan seperti biasa, Nata tidak menunjukkan kegugupannya. Ia selalu berusaha untuk terlihat tetap cool. Dan sialnya dia berhasil. Oh tidak, jantungku jadi lemah. Godaan mantan adalah sebuah cobaan.

"Aku mau tanya sesuatu."

Aku paling tidak suka dengan pembukaan topik dengan pernyataan seperti itu. Sudah deg-degan, sekarang tambah deg-degan. "To the point aja!"

"Oke." Dia terlihat menarik napasnya. "Kamu ada hubungan apa sama Raga?"

"Ha?" apa aku tidak salah dengar? Lelaki ini, mantanku ini, yang masih kucintai ini, menanyakan perihal hubunganku dengan laki-laki lain?

"Kok, malah ha, sih?"

"Iyah, aku gak salah denger, kan?"

"Enggak. Aku beneran tanya hubungan kamu sama Raga. Orang-orang bilang kalau kamu pacaran sama dia. Tapi aku gak percaya."

"Kenapa gak percaya?"

"Jadi beneran?"

"Eh, enggak. Bukan gitu—"

"Nah kan!" Nata tersenyum bangga. Entah karena apa.

"Kenapa?"

"Gak papa," jawabnya, sambil mengambil sesuatu dari saku celananya. Ternyata ponsel. Ia menyodorkannya padaku sambil berkata. "Boleh minta kontaknya? Yang dulu udah gak aktif."

Oh Tuhan, apa ini? Cobaan atau anugrah? Aku harus bingung atau bahagia? Harus tersenyum atau biasa saja?

"Boleh, kan?" tanyanya hati-hati. Aku pun seakan tidak punya pilihan lain selain mengambil benda pipih ber-harga mahal itu dan mengetikkan nomor ponselku.

"Ini nomor kamu, kan?" tanyanya setelah kuserahkan lagi ponsel miliknya.

"Missed call aja kalo gak percaya."

Nata malah tersenyum menatapku dan berkata, "aku percaya, kok."

Siapapun, tolong simpan hatiku di dalam lemari pendingin, karena rasanya sudah hampir meleleh.

Sungguh, mantan adalah ujian.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang