7. Sebuah Janji

4.6K 565 12
                                    

7. Sebuah Janji

Tak terasa, sudah berjalan dua minggu. Aku dan Nata semakin dekat. Selama dua minggu itu pun, kita sering menghabiskan waktu berdua. Seperti selalu mampir ke kafe langganan Nata setiap pulang kuliah dan menunggu senja tiba, setelah itu barulah Nata mengantarku pulang ke rumah. Di hari libur pun Nata mengajakku pergi keluar, entah itu ke toko buku yang kuanggap sebagai surga dunia, atau nonton film yang merupakan surga dunia bagi Raga.

Raga?

Jujur, meski selama dua minggu ini kita tidak saling bertanya kabar atau berkirim pesan, atau bahkan bertatap muka, aku tidak merindukannya. Memangnya dia siapa? Hanya sekedar teman. Sesekali aku memang mengingatnya karena tidak ada manusia semenyebalkan dia. Namun hanya sekedar ingat sekelebat saja, karena Nata terlalu banyak memenuhi isi kepalaku.

Nata seperti memberi toxic yang tak bisa kutolak. Toxic itu memenuhi hati dan pikiranku, membuat segala tentang Nata menjadi kesukaanku. Aku suka dengan cara Nata menatapku, seperti aku sangat berharga baginya, seperti aku sangat menakjubkan di matanya, seperti hanya aku lah satu-satunya.

Aku suka cara Nata tersenyum padaku. Senyum itu seperti hanya untukku, seperti hanya aku lah yang menjadi sebabnya tersenyum bahagia. Aku suka caranya berjalan, begitu percaya diri dan berani. Aku juga suka caranya bernempalian, selalu rapih, namun kekinian. Aku suka berada didekatnya, karena Nata selalu begitu harum, sampai aku hapal aroma parfumnya.

Dan hari ini, senja sudah menyapa. Aku diantar pulang oleh Nata yang kini duduk di atas jok motornya dan memperhatikanku sedang melepas helm.

Aku menyerahkan helm miliknya sambil mengucapkan terima kasih. Nata tersenyum, setampan biasanya. Namun kali ini, dia tidak seperti biasanya, Nata tidak ijin untuk pergi atau menyuruhku untuk segera masuk. Ia masih duduk di atas motor sambil memeluk helm di atas tangki motornya. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Aku masuk dulu," pamitku, tapi sepertinya memang ada yang ingin Nata bicarakan.

"Tunggu dulu, Ta."

"Kenapa?"

Kini, Nata melepas helmnya. Ia juga turun dari atas motornya. Jantungku sudah berdegup tak beraturan. Kalau memang firasatku benar, maka aku sudah memiliki jawaban untuknya.

"Ta, aku udah perhatiin kamu dari lama. Sejak putus dari kamu, aku memang jalan sama beberapa cewek. Tapi tetep gak ada yang seperti kamu, aku gak pernah berhasil sama mereka."

Dia terlihat gugup, dan menghela napas dalam. Lalu melanjutkan, "Ta, aku nyesel karena pernah khianatin kamu dulu. Sampe sekarang, aku masih sayang sama kamu. Aku harap, aku masih bisa perbaikin semuanya. Aku harap, kamu bisa terima aku lagi."

Nata menatapku lekat. Tatapan penuh penyesalan dan harapan itu sudah lebih dari cukup untuk meluluhkan hatiku.

"Jadi, aku minta satu kesempatan lagi dari kamu, Ta. Aku janji, gak akan buat kamu kecewa lagi. Aku janji."

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang