14. Moodbooster Terbaik

4.1K 587 20
                                    

14. Moodbooster Terbaik

Hari ini, senja masih menyapa. Bedanya, aku pulang seorang diri karena menolak Nata yang bersikekeuh mengantarku pulang. Aku masih kesal dengan dirinya. Biarkan saja aku diamkan sampai mendapatkan jawaban tegasnya.

Halalin atau tinggalin. Tcih, sok strong sekali aku berkata seperti itu. Padahal aslinya nyelekit. Jujur saja, aku masih menyayangi dan mencintai Nata. Kalau sampai putus lagi, sudah pasti aku galau lagi.

Tapi aku yakin kalau keputusanku pasti benar. Wajar kalau aku takut terjadi apa-apa pada diriku. Karena kalau sampai terjadi sesuatu, pasti aku yang paling rugi dan menanggung malu. Sedangkan Nata masih bisa tetap berkeliaran dengan bebasnya. Pokonya jangan sampai seperti itu.

Boleh cinta, tapi jangan bodoh. Boleh cinta, tapi jangan jadi wanita rendah. Aku tahu kalau derajat wanita itu tinggi. Wanita adalah sosok pahlawan yang melahirkaan seorang pahlawan, melahirkan ulama, dan melahirkan orang-orang besar yang berpengaruh bagi dunia.

Jadi, dengan segenap jiwa dan raga, aku akan menjaga kehormatan serta kesucian diriku untuk suamiku kelak. Siapa tahu nanti yang akan lahir dari rahimku adalah wanita hebat atau lelaki kuat seperti Thor. Oh tidak, aku mulai halu.

Aku menghela napas ketika akhirnya sampai di depan pagar rumahku setelah berjalan dari halte depan. Ya, aku memilih naik bus setelah mampir di salah satu kafe random untuk menikmati segelas es coklat yang nikmat.

"Kok, jalan kaki?"

Aku terkejut ketika baru saja membuka pagar dan disuguhi pertanyaan mendadak itu. "Ngapain di sini?"

"Silaturahmi," kata lelaki itu.

"Terus kenapa ada di depan pager? Kenapa gak duduk di teras atau masuk?"

"Gak ada orang di rumah. Jadi nungguin kamu pulang. Pas mau liat ke jalan, ternyata kamu buka gerbang."

Aku bersyukur karena Nata tidak mengantarku pulang. Apa jadinya kalau dia bertemu dengan Raga di sini?

"Mama sama Papaku kemana?"

"Mana aku tahu. Kok, kamu jalan kaki? Nata mana?"

Raga bertanya lagi.

Aku menjawab sambil berjalan menuju teras. "Lagi berantem." Sepertinya dia mengikuti dari belakang.

"Dia selingkuh lagi?"

"Enggak. Kamu kok ngomongnya gitu terus, sih? Ucapan itu do'a, tau!"

Lihat! Dia hanya mengedikkan bahunya lagi. Dasar menyebalkan. Sudah pasti wajahku semakin bertekuk-tekuk. Entah sejelek apa. Aku tidak perduli kalau terlihat jelek di depan Raga.

Aku sudah duduk pada kursi yang ada di teras rumah. Dan Raga mengganggu pemandanganku karena berdiri di depanku.

"Awas, ih!"

"Cerita dulu!"

"Cerita apa?"

"Ya kamu mau cerita apa? Jangan disimpen sendiri. Nanti meledak."

Aku membuang napas berat. Kenapa harus Raga yang selalu mengerti.

"Nata gak ada niat buat nikah sama aku."

"Mungkin dia mau fokus kuliah."

"Bahkan sampai lima tahun yang akan datang," lanjutku, setelah sempat terpotong dengan pembelaan Raga untuk Nata. "Selama lima tahun itu dia cuma mau jadi pacar aku."

"Terus kamu bilang apa?"

"Ya aku gak mau, lah. Apa jadinya kalau pacaran lima tahun lamanya di usia kita yang sekarang."

"Bener, jangan mau! Kalau terjadi apa-apa, kamu yang kena masalah."

Tuh, Raga yang laki-laki saja berpikiran sama denganku. Aku pun menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuanku pada ucapannya.

"Kalau kamu, punya target nikah, gak?" Aku bertanya pada Raga yang masih berdiri di depanku.

"Umur 25. Itu pun kalau masih panjang umur."

"Aku 23. Sekitar tiga tahun lagi."

"Sama dong. Aku juga sekitar tiga tahun lagi. Tapi itu cuma target. Jodoh sama maut kan cuma Allah yang tau."

Benar. Aku setuju lagi dengannya.

"Sebenernya kamu kesini mau ngapain, sih? Sampe nungguin."

"Mau bayar utang."

Aku mencoba mengingat. Namun tidak juga ingat utang apa yang Raga maksud. "Utang apa?"

"Utang janji. Janji traktir kalau jadian sama Ratu."

"Telat banget. Harusnya waktu ketemu di bioskop, kamu aja yang bayarin tiket."

"Enak aja. Aku kan cuma mau traktir kamu, bukan traktir Nata."

"Pelit."

"Anak kosan harus hemat, Mbak!"

Aku hanya mendengus. "Mau traktir apa?"

"Kamu mau ditraktir apa?"

Aku berpikir. "Hhmm... mie ayam aja, deh. Yang paling enak."

"Tau tempatnya?"

"Mana aku tahu."

"Yaudah, kita icipin semua mie ayam yang dilewatin."

"Emang punya uang?"

"Enggak. Bayarnya pake cuci piring aja."

"Ih, Ragaaa."

Dia hanya tertawa.

Dan kini aku sadar, kalau mood ku sudah tidak seburuk tadi. Mau tidak mau, aku harus mengakui kalau kelakuan Raga yang menyebalkan sekaligus membuat gemas adalah moodbooster terbaik.






❤❤❤

Raga juga moodboosterku, dulu

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang