24. Mimpi?!

3.7K 493 19
                                    

24. Mimpi?!

"Ciyeee pengantin baru."

Paras cantik sahabatku itu tersipu ketika aku dan Meira menggodanya.

"Mau bulan madu kemana, nih?" tanyaku pada Zaira.

Namun gadis itu menggeleng. "Belum ada rencana. Sebentar lagi kan Zaira ulangan. Jadi nunggu liburan dulu."

Aku gemas melihat Zaira bercerita dengan malu-malu. Tidak menyangka kalau gadis polos itu sudah menikah lebih dulu.

"Lita sama Meira kapan nyusul?" tanyanya, membalas godaan kami berdua dengan telak.

Aku pun menjawab, "besok, kalau KUA nya gak kututup."

"Ha? Beneran? Jadi Lita udah punya calon?"

Aku dan Meira sontak menepuk jidat. Ya, sebaiknya memang jangan berbohong pada Zaira meskipun itu niatnya hanya bercanda.

"Kok gak bilang aku? Nanti jangan lupa undang, yah. Biar aku dateng sama Mas Zaidan."

Ya ya Zaira, terserah kamu saja.

***

Aku berkacak pinggang di depan pria yang sedang berjongkok mengikat tali sepatunya.

Rencananya, hari ini aku akan langsung pulang dan memanjakan diri dengan skin care yang beberapa hari lalu baru kubeli, karena kurasa, kulit wajahku tidak terawat akhir-akhir ini, ditambah, pikiranku sangat kacau beberapa hari terakhir, dan sudah dipastikan kalau kulit wajahku jauh dari kata sehat.

Namun, Raga menghempaskan keinginanku itu jauh-jauh. Dia minta aku menemaninya untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Dan hal itu luar biasa membuatku kesal.

"Temen kamu kan banyak sih, Ga. Masa ke perpus doang aja sama aku?"

"Justru karena aku mau ke perpus, makannya cuma kamu yang bisa nemenin. Kalo sama yang lain males, nanti aku dikira mahasiswa rajin, padahal ini paksaan dari Pak Wahyu karena tugasnya gak ada satu pun yang aku kerjain."

Aku berdecak keras sambil menjambak rambutnya karena dia memang masih berjongkok di depanku. "Kamu kuliah ngapain aja, sih? Masa tugas gak ada yang dikerjain?!"

"Aduh aduh," dia berdiri sambil mencoba melepaskan jambakan tanganku. "Abisnya aku gak suka bahas materi, sukanya langsung praktik."

"Kalau gitu bikin kampus sendiri aja!"

"Oke, sepuluh tahun yang akan datang nanti."

Aku bantu aminkan saja lah.

"Yaudah cepetan! Abis itu langsung anter aku pulang." Aku berjalan mendahului. Dia mengikuti di belakang sambil menjawab, "iyah, Nyonya."

Beberapa menit berjalan kaki —dengan Raga yang terus mengoceh saat ada mahasiswi cantik yang lewat di depan kami— akhirnya kami sampai juga di perpustakaan. Aku langsung duduk pada salah satu kursi dan merebahkan kepalaku di atas meja. Sedangkan Raga mencari buku yang direkomendasikan oleh Pak Wahyu.

Tidak lama kemudian, Raga datang dan duduk di sebelahku sambil menghela napas berat. Aku pun menegakkan tubuhku dan memperhatikannya sedang mengambil laptop dari dalam tasnya.

"Lama, gak?"

"Ya mana aku tahu, belum juga dikerjain."

Jawaban yang sangat memuaskan.

"Nyontek aja sih, Ga!"

"Andaikan semudah membalikkan telapak tangan, Mbak!"

"Kan nyontek tinggal nyalin."

"Kan jawabannya gak boleh sama keleus. Pak Wahyu tuh teliti, apalagi kalau udah cari-cari kesalahan, mahir banget, kaya cewek."

Aku langsung menatapnya sinis karena dia mengatai cewek yang berarti mengataiku juga. Raga hanya menyengir dan lekas pura-pura sibuk.

Aku mengambil ponselku yang sedang sekarat dari dalam tas. "Bawa PB, gak?"

"Bawa."

Aku menengadahkan tanganku padanya, meminta power bank.

"Apa?" Dia malah bertanya.

"Pinjem."

"Nyewa, lah! 1% sama dengan 5000."

"Belum pernah disantet yah Mas nya?"

Dia malah tertawa. Padahal aku benar-benar kesal padanya. Syukurlah dia mengambilkan power bank miliknya, kalau tidak, akan ku download aplikasi santet online dari play store.

Aku memasangkan earphone pada ponsel, bersiap untuk mendengarkan lagu. Sore ini, sudut perpuastakaan tidak terlalu ramai, jadi aku tidak perlu malu-malu merebahkan kepalaku untuk tertidur. "Ga, kalau udah, bangunin, yah."

"Mau tidur?"

"Kalo gak mau tidur ngapain minta bangunin sih, Ga?"

Tuhan, berikan aku kesabaran.

"Jangan tidur! Nanti gak ada temen ngobrol."

"Kamu mau ngerjain tugas atau ngobrol?"

"Ya ngerjain tugas sambil ngobrol."

Langsung saja kutarik telinganya. Kesaaal dengan Raga.

"Bodo amat mau tidur. Awas aja kalau ditinggal."

"Takut, yah?"

"Hhmm," aku hanya bergumam dan memejamkan mata setelah memutar lagu kesukaanku.

"Ta?"

"Hm?"

"Tidur?"

"Hm."

"Lita?"

"Ragaaa!"

Aku mendengarnya tertawa.

***

Dia memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih yang kulihat sebagai dalamnya, lengkap dengan peci yang terpasang di kepala. Aku tak tahu dia menunggu apa, yang pasti, kulihat dia menatapku dan tersenyum.

Lalu ibuku menuntunku untuk berjalan mendekatinya, dan aku baru sadar kalau sekarang aku memakai gaun pengantin berwarna putih, cantik sekali, seperti gaun yang kudambakan untuk pernikahanku.

Lalu, aku melihat kembali pria itu, dia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Ada apa ini? Apa aku akan menikah?

"Lita."

Dia menyebut namaku, suaranya samar, padahal dia ada di depanku, bahkan kini kurasakan tangannya membelai pipiku.

"Lita."

Suaranya semakin jelas.

"Lita, bangun!"

Semuanya sirna ketika aku membuka mata. Yang ada, kini hanya Raga. Dia juga merebahkan kepalanya menghadapku. Raga tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya memandangku dengan tatapan tak biasa.

Aku memegang tangannya yang tak juga meninggalkan pipiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa secanggung ini dengan Raga.

"Kenapa kita gak pacaran aja?!"

Deg

Apa katanya?

Sepertinya, aku masih bermimpi.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang