26. Tamparan Kata

4.1K 521 23
                                    

26. Tamparan Kata

Hari ini, aku berupaya untuk menghindari Raga.

Aku sudah memberikan jawabanku padanya semalam, lewat pesan. Tanpa kusangka, Raga langsung menelfon. Dan karena aku panik, meski entah apa penyebab aku panik, aku malah menonaktifkan ponselku. Sekarang pun, aku tidak berani bertemu Raga.

Jadi, aku ini kenapa? Kenapa rasanya malu jika bersitatap dengan pria itu? Apa yang salah denganku? Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja kalau status sahabat yang dijalin selama empat tahun lamanya kini menjadi status sepasang kekasih?

Sial, benar kata orang-orang, tidak ada yang namanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti akan memiliki rasa dan tidak bisa menahan diri untuk menyatakan.

Hello, it's me
I was wondering if after all these years you'd like to meet...

Ponselku berdering lagi. Sudah kupastikan kalau Raga yang menelfon. Mungkin dia menjemputku untuk kuliah. Tapi aku sudah berangkat lebih dulu dengan tujuan menghindarinya.

Meira yang duduk di sebelahku mengambil ponsel yang aku letakkan di atas meja dan aku biarkan saja meski Adele terus saja bernyanyi.

"Raga telfon, nih. Gak lo angkat?"

Aku lekas menggeleng. Lalu, tanpa kuperintah dan tak bisa kucegah, Meira mengangkat panggilan itu.

"Ih, Meira." Aku hanya berbisik, taku Raga mendengarnya.

"Ada apa, Ga?"

"Siapa, nih?"

Aku bisa mendengar suara Raga karena Meira me-loudspeaker panggilannya. Sepertinya Raga sudah hapal betul dengan suaraku.

"Meira."

"Lagi sama Lita?"

"Iyah. Ada apa emang?"

"Di mana?"

"Kampus."

"Yeay, dasar pacar durhaka, udah bilang mau dijemput malah berangkat duluan."

"HA?"

"Yaudah deh, Ra."

"Nanti-nanti! Lo sama Lita pacaran?"

Tuutt tuutt

Kini, Meira menatap horor padaku. Sudah dipastikan kalau aku akan dibombardir dengan pertanyaan.

"Assalamu'alaikum kawan-kawan."

Kenapa juga Zaira harus datang sekarang?

"Lo pacaran sama Raga, Ta?"

"Ha? Apa? Kenapa? Siapa?"

Bukan aku yang mendadak amnesia dan bertanya ngelantur seperti itu, melainkan Zaira.

"Lita, Za. Dia pacaran sama Raga!"

"Ah, masa? Gak boleh su'udzon!"

"Tapi gue denger sendiri dari Raga, dia manggil Lita pacar."

Sekarang, Zaira yang menatapku horor.

"Bener itu, Lita?"

Mendengar pertanyaan Zaira, aku hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan.

"Astaghfirullahaladzim."

Loh, Zaira kenapa istighfar?

"Kok lo istighfar?"

"Iyah, heran sama Lita. Dia kan pinter, tapi kok gak bisa belajar dari pengalaman."

Aku mengerutkan keningku. Karena Zaira manusia kelewat polos, kalimatnya kadang kali menyinggungku karena dia berkata dengan sejujur-jujurnya.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang