20. Hancur

4K 482 8
                                    

20. Hancur

Pada pagi yang cerah di hari senin yang tidak terlalu menyenangkan, aku terbangun dengan helaan napas berat. Kembali ke rutinitas dan kembali pada kenyataan yang penuh dengan kejutan. Kalau semua berjalan dengan lancar, maka bulan depan akan ada pernikahan. Tentunya pernikahanku dengan Nata.

Tapi saat ini, aku malah memikirkan Raga kembali. Laki-laki itu sulit sekali aku hubungi. Ditelfon pun tidak diangkat. Padahal aku mau lapor soal Ratu yang kulihat bersama dengan laki-laki lain. Tapi foto yang kuabadikan pun masih ada di ponselnya Nata. Aku belum sempat memintanya.

Tok tok tok

Mendengar suara pintu diketuk, seluruh nyawaku akhirnya berkumpul dan aku segera duduk di atas tempat tidur. Kalau ibuku yang namanya Harum ini melihat aku masih berbaring, sudah dipastikan sarapan pagiku adalah omelan darinya.

"Masuk aja, Mah."

Pintu terbuka, namun ibuku hanya menyumbulkan kepalanya dari balik pintu kamar. "Ada yang nyariin."

Aku berkerut heran. "Siapa? Nata?"

"Bukan. Perempuan, namanya Nadia katanya."

Kini, aku semakin keheranan. Nadia mantannya Nata? Bagaimana dia bisa tahu rumahku? Dan mau apa dia ke sini?

"Cepet temuin di ruang tamu."

"Iyah. Lita mau cuci muka dulu."

Ibuku mengangguk dan menutup pintunya kembali.

Aku segera pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kalau ditunda mandi dulu, Nadia mungkin akan lumutan karena menungguku.

Setelah sampai di ruang tamu, memang ada sosok Nadia di sini, sedang duduk manis dengan segelas teh di atas meja yang aku tebak pasti disuguhkan oleh ibuku.

Aku duduk pada sofa di depannya dan bertanya tanpa basa-basi. Sudah kubilang kalau aku tidak suka padanya. Jadi untuk apa berbasa-basi?!

"Ada apa?"

"Aku denger dari Nata, kalian mau menikah?"

Oh, Nata sudah memberitahunya. Padahal kan masih rencana. Tapi tidak papa, mungkin Nata memberitahu Nadia agar wanita ini tidak mengganggunya lagi. Dan mungkin alasan Nadia ke sini adalah untuk memberikan selamat padaku.

"Iyah."

"Kalian gak boleh menikah!"

Ternyata perkiraanku salah. Wanita ini sepertinya gila. Orang mau menikah malah tidak boleh. Lagipula aku tidak butuh restu darinya.

"Kita gak perlu restu dari kamu. Kamu cuma masa lalunya Nata!" tegasku padanya dengan sorot penuh kebencian.

"Tujuan aku dateng ke sini, buat suruh kamu putusin Nata, karena Nata gak mau putusin kamu."

Lihat, dia memang sudah gila. Aku sampai tertawa mendengar perkataannya yang lucu itu. Jelas saja Nata tidak mau putus denganku, karena dia mencintaiku.

"Lebih baik kamu pergi! Aku gak mau denger apa-apa lagi!"

"Tapi kamu harus putusin Nata!"

Aku segera berdiri, benar-benar tidak ingin mendengar omong kosongnya lagi.

"Sebaiknya Kak Nadia pulang!" Aku mengusir dengan baik. Bahkan memanggilnya kakak karena mengingat dia adalah kakak tingkatku.

Nadia malah menggelengkan kepala. "Aku gak mau bilang ini sama kamu, karena kamu pasti sakit hati."

Apa maksudnya?

"Tapi kalau kamu tetep gak mau putusin Nata...." Sepertinya dia sengaja menggantungkan kalimatnya. Kulihat dia mengambil sesuatu dari dalam sling bag yang dibawanya. Sebuah kertas yang ia serahkan padaku.

"Apa ini?"

Dia hanya diam dan memberi kode agar aku membacanya.

Tanpa menaruh prasangka atau sedikitpun curiga, aku membuka kertas yang sudah ada di tanganku.

Sebuah hasil tes... kehamilan.

Jantungku mendadak berdebar cepat. Mataku memanas, padahal aku belum tahu fakta sebenarnya dari tes yang menunjukkan hasil positif ini.

"Apa maksudnya?" Suaraku bergetar.

"Maaf, aku gak bermaksud kaya gini—"

"Bermaksud apa?" Nada bicaraku meninggi. Pikiran negatif sudah bersarang di kepalaku.

Dia terlihat menghela napasnya dan menundukkan kepala.

"Aku hamil, anaknya Nata."

Apa?

Tidak! Pasti dia bohong.

Ini tidak mungkin.

"Kamu pasti bohong!"

Aku harap dia berbohong. Namun sedikit demi sedikit, kurasakan kalau dunia mulai runtuh. Tepatnya, duniaku, anganku, harapku, dan bahagiaku.

"Kamu bisa tanya ke Nata."

Aku menggeleng sambil menggingit bibirku dengan keras, menahan isak tangis. Sedangkan air mata sudah tidak dapat kubendung lagi.

"Aku mohon sama kamu. Anak ini butuh seorang ayah. Nata harus tanggung jawab."

"Pergi!" Suaraku mulai menghilang.

Nadia berdiri. "Kamu bisa bawa surat itu ke Nata."

"PERGI!"

Duniaku hancur.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang