31. Akhir Yang Tak Bahagia?

5.4K 554 32
                                    

31. Akhir Yang Tak Bahagia?

Semakin sering Raga menghilang, semakin sering aku mengintropeksi diri. Aku bahkan berkonsultasi dengan Zaira yang menurutku sudah lebih paham daripada aku. Hari libur pun, kini aku pergi bersama Zaira untuk mengikuti kajian.

Ya, meski merasa menjadi orang ketiga antara Zaira dan Zaidan di dalam mobil, tapi aku merasa dua pasangan itu tak keberatan sama sekali dengan keberadaanku. Menurutku mereka sangat baik, bahkan kelewat baik hati. Bahkan mereka sangat senang ketika mengetahui kalau aku ingin ikut menghadiri kajian bersama mereka.

Sekali lagi aku membenarkan kutipan dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 26.

"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wania-wanita yang baik pula."

Katanya, jodoh adalah cerminan diri. Aku sendiri sudah melihat buktinya di depan mata, yakni Zaidan dan Zaira. Dan hal ini lah yang merupakan salah satu sebabku untuk memperbaiki diri.

Zaira sangat senang saat aku mengatakan padanya kalau aku ingin seperti dirinya. Awalnya Zaira tidak mengerti, lalu aku jelaskan kalau aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Aku ingin melengkapi shalat wajibku. Aku ingin belajar mengaji. Aku ingin memakai baju tertutup.

Lalu, Zaira bertanya, apa alasanku ingin berubah?

Aku pun menjelaskan. Ini semua diawali dari seringnya Raga membangunkanku untuk shalat subuh. Lalu, aku melihat dakwah-dakwah yang disampaikan lewat sosial media yang kulihat lewat akun instagram milik Raga. Aku juga jadi ikut mem-follow akun-akun itu.

Terkadang, semalaman aku habiskan untuk menonton video dakwah. Tidak jarang aku menangis menontonnya. Bukan karena apa yang disampaikan menyedihkan, tapi karena betapa aku sadar kalau diriku sungguh hina.

Aku tidak tahu diri. Aku sombong. Aku pembohong. Aku tuli. Aku buta. Aku merasa memiliki segudang kekurangan yang membuat hatiku tak kuat menahan isak tangis.

Dan bukan kepada manusia aku merasa kekurangan itu. Melainkan pada Sang Pencipta.

Bagaimana aku bisa sangat sombong kepada-Nya? Kenapa aku sangat tidak tahu diri? Bagaimana aku berani membohongi-Nya? Aku buta dan tuli.

Aku sombong dengan terus mengabaikan-Nya. Aku tidak tahu diri dengan tidak beribadah kepada-Nya. Aku berbohong dengan tidak mengerjakan sesuatu yang sudah kuniatkan namun tak juga kulakukan, padahal aku tahu kalau Dia Maha Mengetahui. Aku tuli ketika mendengar adzan dan aku buta ketika melihat orang-orang shalat dan mengaji.

Aku sangat hina, dan sangat menyesal karena baru menyadarinya.

Dan alasanku untuk berubah adalah karena Allah. Dia lah yang menciptakanku. Yang menghadirkanku di dunia. Yang memberiku keluarga, sahabat dan harta. Tidak terhitung berapa banyak yang sudah diberikan oleh-Nya kepadaku. Dan dengan tidak tahu dirinya, aku malah sering melupakannya.

Tuhan, aku sangat berdosa. Aku tidak tahu sudah sebanyak apa dosa yang kubuat. Aku tidak tahu apakah dosaku akan diampuni oleh-Mu. Yang pasti, aku sangat menyesal. Aku ingin merubah setiap kebiasaanku menjadi baik.

Aku menangis ketika menceritakan itu kepada Zaira. Zaira memelukku. Dia menenangkanku. Dia bilang, Allah akan selalu mengampuni setiap hambanya yang bertobat. Pintu taubat akan selalu terbuka untuk setiap manusia selama sakaratul maut belum tiba dan matahari belum terbit dari barat. Dan kalimat itu sudah cukup membuatku semakin semangat. Aku semakin semangat untuk merubah diriku.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang