16. Rencana

4K 490 12
                                    

16. Rencana

Hari ini, adalah hariku bersama Zaira dan Meira. Entah sudah berapa minggu aku tak berkumpul dan mengobrol bersama mereka. Maafkan aku, Zaira, Meira.

"Aku sedih," Zaira memulai percakapan. Gadis polos itu benar-benar menunjukkan raut kesedihannya.

"Kenapa?" tanyaku padanya.

"Sejak Lita punya pacar, udah jarang kumpul sama kita lagi. Sekarang, Meira juga punya pacar. Nanti Zaira kumpul sama siapa?"

Ternyata itu yang membuat Zaira bersedih hati.

"Tenang aja, Zaira, aku pasti bisa bagi waktu biar kita bisa tetep kumpul sama-sama."

Mungkin Meira hanya menenangkan. Karena faktanya, membagi waktu antara pacar dan sahabat itu cukup sulit. Hanya salah satu yang bisa dijadikan sebagai prioritas.

Sebelum percakapan kita benar-benar selesai, suara adzan dzuhur yang berkumandang membuat Zaira tidak menyelesaikan curhatannya. Gadis itu lekas berdiri. "Udah dzuhur. Ayo shalat dulu," ajaknya pada kita berdua.

Dan sungguh, kalau saja tidak ada Zaira yang selalu mengajakku untuk shalat dzuhur, maka aku akan meninggalkan ibadah ini seperti aku meninggalkan ibadah yang lain. Ya, aku memang jauh dari kata wanita muslimah yang baik.

Aku belum siap memakai jilbab yang seharusnya dipakai oleh seluruh muslimah. Aku belum siap memakai baju yang seperti Zaira kenakan untuk menutup seluruh auratku. Aku seperti mayoritas gadis lainnya di kampus, yang masih mengutamakan fashion kekinian untuk bisa tampil menarik.

Padahal kata Zaira, sebagai muslimah kita tidak boleh menarik perhatian, tidak boleh menonjol. Terima kasih untuk Zaira karena selalu mengingatkan aku dan Meira. Tapi maaf, sepertinya nasihat itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Kami bertiga mendatangi rumah Allah bersama-sama. Terkadang aku merasa bersalah karena mendatangi tempat ini hanya karena ajakan Zaira saja, bukan karena keinginan hati atau menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Betapa hinanya aku. Namun tetap tak sadar diri juga.

Ketika mendekati pelataran mushola kampus, aku melihat Raga yang juga akan menunaikan shalat berjama'ah. Sepertinya aku lupa mengatakan kalau Raga adalah laki-laki yang tak pernah tinggal shalat. Bahkan, ketika sedang pergi bersamaku, kalau waktu shalat telah tiba, dia lekas mencari keberadaan rumah Allah untuk beribadah. Aku beri nilai plus untuk itu.

Kalau Nata sendiri, dia sebelas dua belas denganku. Ya begitulah.

***

"Acara rutin keluarga kamu gimana?"

Aku bertanya sambil mengamati Nata yang sedang membuat minum.

"Diadain beberapa hari yang lalu. Tapi bukan di rumahku. Aku juga gak pergi."

"Loh, kenapa?"

"Kan kita lagi berantem."

Aku tidak menyangkanya. Hanya karena kita bertengkar, Nata sampai tidak ikut acara rutin keluarganya.

"Takut kamu malah makin marah."

"Kenapa aku harus marah? Kan itu acara rutin keluarga kamu."

"Masalahnya, acaranya di Bandung. Di rumah sepupu aku. Nanti kiranya kamu, aku seneng-seneng di saat kita lagi berantem."

Benar juga. Aku kan sering negatif thinking pada Nata.

Nata berjalan mendekatiku sambil membawa dua gelas minuman berwarna oranye di atas nampan beserta dengan cemilan di atas mangkuk kaca. Lalu, dia mengajakku untuk pergi ke taman belakang rumahnya. Rumah Nata tergolong bangunan yang mewah dan megah, berlantai dua dan kental dengan aksen Eropa. Kalau dibandingkan dengan rumahku, bahkan jauh dari setengah rumah Nata.

"Terus Nadia ikut, gak?" tanyaku terus terang.

Nata tersenyum geli. Mungkin tahu kalau aku cemburu. "Ikut ke Bandung maksudnya?"

"Iyah."

"Enggak. Jadi waktu itu Mamah yang ngundang. Dia kira aku masih sama Nadia. Tapi karena udah tau, Nadia gak diundang lagi."

Aku hanya berkata oh sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Kita berdua duduk pada kursi yang ada di taman belakang ini. Entah mengapa, aku terus memikirkan mengenai hubungan Nadia dengan keluarga Nata, juga hubungan Nata dengan Nadia. Apa mereka masih sering berkirim pesan? Apa masih sering say hi? Mungkin lebih baik aku tanyakan langsung.

"Kamu sama Nadia masih sering kontekan?"

"Kok nanya gitu?"

"Gak papa, pengen tau aja. Kan hubungan Nadia sama keluarga kamu deket."

"Aku udah gak ada hubungan apapun sama Nadia."

"Kenapa kalian putus?"

Kenapa aku malah merambat menanyakan hal ini? Kenapa aku harus menanyakan masa lalu Nata?

"Harus banget, bahas mantan aku?"

Dan tidak tahu kenapa, aku malah mengaggukkan kepala.

"Nanti kita malah berantem lagi."

Memang Nata ada benarnya. Tapi aku hanya ingin tahu saja apa sebab Nata mengakhiri hubungannya dengan Nadia. Setahuku, Nata paling lama berpacaran dengan wanita itu.

"Kamu udah gak ada rasa apa-apa lagi, kan, sama Nadia?"

"Gak ada, lah."

"Yaudah, kalo gitu kenapa kita harus berantem?"

Nata terlihat menghela napasnya. "Aku sama Nadia udah gak cocok lagi."

Jadi itu alasannya? Terlalu klise.

"Kamu yang putusin Nadia?"

"Iyah."

"Jadi sampe sekarang ada kemungkinan kalau Nadia masih cinta sama kamu?!"

Nata menghela napas kembali. Mungkin karena nada suaraku sudah terdengar kesal. "Lebih baik gak usah dibahas lagi." Aku mengerti kalau dia hanya tidak ingin kita bertengkar lagi. Namun, mungkin karena godaan PMS, aku jadi tidak bisa menahan diriku.

Jawaban Nata menunjukkan kalau Nadia memang masih mencintainya. "Jadi kamu putusin Nadia karena kamu mulai bosen sama dia?" Aku pun mengumpulkan semua kesimpulan.

"Sayang?"

Untuk sekarang, panggilan itu tidak mempan.

"Terus kalau nanti kamu bosen sama aku gimana?"

"Kamu ngomong apa, sih?"

"Aku cuma ngebahas semua kemungkinan yang bisa terjadi!"

Sepertinya, Nata benar-benar sudah tidak tahan lagi. Dia berdiri dan menarik kursinya agar lebih dekat dengan aku.

Nata meraih kedua tanganku. "Gak akan ada yang terjadi. Aku gak akan bosen sama kamu. Dan beberapa bulan lagi aku lulus. Seharusnya aku rahasiain ini dari kamu. Tapi ngeliat kamu ragu-ragu sama aku, mungkin sebaiknya aku bilang ini sekarang."

"Bilang apa?"

"Rencananya, aku mau lamar kamu setelah kita lulus. Itu pun kalau kamu gak keberatan, karena aku tau kalau kamu masih kuliah."

Aku diam, melihat keseriusannya ketika berbicara, membuat bibirku sontak menerbitkan senyuman.

"Jujur, aku belum siap kalau harus menikah di umur dua puluh tahun."

"Jadi?" Dia bertanya.

"Kamu mau nunggu, sampai aku lulus? Yang pasti gak akan sampai lima tahun." Jujur saja, aku sedikit menyindirnya. Dan sekitar dua tahun lagi aku akan menyelesaikan S1 yang melelahkan ini. Ya, do'akan saja agar semuanya berjalan dengan lancar.

Nata terlihat seperti sedang berpikir. Lalu, kulihat dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Di Balik Patah Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang