[Proses Revisi]
《Update setiap hari kamis》
Jangan melangkah mendekat jika berat. Berhenti dan buat kisahmu sendiri. Gunakan waktumu untuk yang lain, Karena kau tak pantas bersisi denganku yang buruk untukmu.
Dari Darsa Sakamis Essafar untukmu
--
Aw...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
____
Simpang siur soal Maya dan Alexa yang kemarin mengaitkan tangan ke Kamis, menjadi trending dikalangan manusia berhobi gibah. Sa ling pihak memihak jadi persoalan. Namun, sebagian besar lebih ke Alexa karena ia lebih dekatlah atau apa. Di sisi lain dua puluh persen dari mereka memilih Maya dengan alasan bahwa yang berjuang akan menang. Kalau pun salah satunya bersanding dengan si bisu apa mereka akan iklas?
Saat ini cowok itu menuju BK untuk melakukan pembelaan terhadap laporan yang tak logis. Kali pertama ia menginjakan kaki di tempat introgasi. Bukan hanya itu, ini juga awal dari namanya yang tercoreng karena laporan pelajar dengan masalah abstrak.
"Kamu dapat laporan lagi berlaku tidak sopan dengan temanmu. Tidak mau menyapa, dan--" Pria paruh baya berseragam yang tak lain adalah guru BK---Pak Dadang.
Murid yang terkena masalah hanya diam. Lagi pula sejak kapan ia berlaku tak sopan pada pelajar lain? Beradu opini pun tak pernah. Ia sekarang, merasa jadi kambing hitam dari persamasalahan orang lain.
Pak Dadang menatap Kamis curiga. "Diam artinya iy--"
"Saya tidak pernah, Pak, berlaku tak sopan pada orang lain. Bunda saya tidak pernah mengajarkan hal-hal negatif." Jawaban singkat, jelas dan padat itu membuat potongan kalimat Pak Dadang terjeda. Ditambah sosok guru BK yang duduk di depannya membisu.
Benar juga yang dikatakan pelajar yang satu ini. Ia tak pernah berlaku negatif sekalipun pada warga sekolah. Mungkin yang melaporkan tak berpikir, dampak apa yang diakibatkan dari sebuah tuduhan belum jelas.
"Jujur atas perkataan Bapak tadi, saya agak tersinggung. Saya diam untuk menghormati Bapak bukan diam untuk kata iya," jelas Kamis seraya berdiri.
"Permisi." Ia menunduk saat melangkah pergi sebagai tanda hormat pada sang guru. Helaan napas kasar ia tahan. Sebenarnya bibir yang terlumas lem kini ingin misuh-misuh sekeras mungkin.
---
Kamis keluar ruang guru dengan santai. Kedua tangan menetap di saku jas. Lalu lalang pelajar pun menatapnya sekilas, apalah daya jika saling melempar kata dengan cowok itu akan membuang waktu dan tenaga. Satu sapaan pun kadang tak mendapat respons. Bukan hanya melirik tak jelas, tapi mereka menggosip seenaknya di lorong sekolah. Laku khas tak berkarakter memang sudah tertanam, menjadi kebiasaan.
Siulan membuyarkan ketenangan. Merasa tertuju untuknya cowok itu berhenti di tempat, menimang pertimbangan merespons atau tidak. Setelah bulat ia pun mengambil laku yang baginya benar.
Masih memasukan tangan ke dalam saku, sosok terpanggil menoleh sekilas. "Apa?"
Meri---selaku pemanggil hiperbola di tempat. Harsat yang melihat temannya itu hanya bisa menggeleng. Ia tak habis pikir kalau cowok yang menjawab teman di hidupnya, ternyata terlalu normal untuk di sebut manusia.