Tersesat

10 4 0
                                    

Brukk.

"Aduuuh.." ringis Gerd.

Gerd tergeletak di lantai hitam itu, dinginnya lantai telah menusuk tubuh Gerd hingga ke sumsum tulangnya. Dia butuh waktu beberapa detik untuk mengumpulkan nyawanya kembali, hingga akhirnya dia berdiri dengan malas dan kembali menghempaskan diri pada ranjangnya.

Gelap, akan tetapi matanya sudah terbiasa akan kegelapan malam itu. Begitu juga dengan kegelapan hidup, Gerd terlalu muda untuk mengerti hal semacam itu.

'Apa sudah pagi?' Batin Gerd, rasanya baru saja satu jam dia memejamkan matanya. Ingin sekali Gerd kembali tidur namun mimpi itu selalu terngiang di pikirannya, apalagi kalau bukan mimpi tentang ibu dan kakaknya yang jauh disana.

'Kurasa ini tengah malam' batin Gerd lagi, dia tak mengerti kenapa tiba-tiba memimpikan kedua makhluk Sang Pencipta yang dicintainya itu. Sudah lama sekali dia tak memimpikan ibu dan kakaknya, sepertinya dia benar-benar rindu-ingin berjumpa.

Seketika matanya terasa panas, pipinya telah dibasahi oleh airmata yang mulai mengalir. Sesekali Gerd terisak mengingat kenangan indah bersama keluarganya, namun saat ini itu sangat mustahil, ayahnya telah tiada dan dia juga terpisah dengan Ibu dan kakaknya.

Tiga puluh menit telah berlalu, Gerd masih saja menangis dalam kegelapan itu. Beberapa detik kemudian, entah apa yang menyadarkan Gerd sehingga membuatnya berhenti menangis.

Air matanya tak lagi terbuang sia-sia, akan tetapi berganti dengan sebuah lamunan. Tiba-tiba senyuman terukir diwajah lugunya, entah apa yang dia pikirkan saat ini.

'Ini saat yang tepat' batin Gerd, lalu tersenyum lebih lebar lagi. Dia turun dari ranjangnya dan mulai berjalan dengan hati-hati di dalam ruangan yang gelap itu untuk mencari tombol pintunya. 'Ini dia!' Batin Gerd, dia melompat meraih tombol itu lalu pintu pun terbuka. Gerd celingukan melihat sekelilingnya, memastikan tidak ada siapapun yang melihatnya keluar dari kamar selarut ini.

Setelah memastikan situasinya aman, dia langsung berlari kecil ke arah lapangan dan melewati beberapa lorong. Lorong bangunan itu cukup gelap, hanya ada satu penerangan di ujung lorong cahayanya pun tidak cukup terang untuk menerangi setiap sudut lorong itu.

Menyusuri tiap ruangan dalam kegelisahan  yang luar biasa, gelisah, khawatir dan sedikit takut jika ada penjaga yang melihatnya. Mata Gerd selalu melihat ke depan dan belakang  waspada jika ada penjaga disana.  Dan dia pun sampai di ujung lorong, akan tetapi Gerd lupa dimana letak ruangan "rahasia" itu.

"Bagaimana ini??" Gumam Gerd pelan agar tak ada yang mendengarnya.

"Kiri atau kanan, ya?" Ucap Gerd sambil mengingat letak ruangan itu. Dengan susah payah mengingatnya hingga usahanya itu membuahkan hasil.

"Ya, aku ingat!!" Ucap Gerd berbinar.
Dia berjalan ke arah kiri  dan menghitung ruangan itu. 'Ini dia' batin Gerd saat berdiri didepan sebuah ruangan yang pintunya tertutup.

Gerd tidak tahu bagaimana cara membuka pintunya, dia juga tidak melihat tombol karena cahaya disana remang-remang. Lama Gerd mencari letak tombolnya namun dia tetap tidak menemukannya. Akhirnya Gerd menyerah dan bersandar dipintu itu lalu berniat untuk segera kembali kekamarnya.

Krieeett.

Baru saja Gerd berjalan satu langkah, tetapi pintu itu tiba-tiba terbuka.  Spontan Gerd langsung jongkok ditempat dan menutup wajahnya dengan telapak tangan, berniat menyembunyikan dirinya jika ada seseorang yang keluar dari ruangan itu. Beberapa detik Gerd menutup wajahnya namun dia tak mendengar suara langkah kaki seseorang dari ruangan itu.

Gerd memberanikan diri melihat kearah pintu itu, tidak ada siapapun. Lalu kenapa pintu itu tiba-tiba terbuka?

Gerd tak peduli kenapa pintu itu tiba-tiba terbuka, dia langsung masuk kedalam ruangan itu. Cukup gelap, hanya ada sedikit cahaya disana tetapi dapat menerangi setiap sudut ruangan kosong itu. Mata Gerd hanya tertuju pada dua tombol didepannya, dia sangat ingin tahu tentang rahasia tombol itu.

'Aku harus menekan yang mana?... biru saja!' Batin Gerd. Dia menekan tombol biru karena dia suka warna biru.

Gerd menekan tombol biru itu seraya memejamkam matanya. 'Tidak terjadi apa-apa' batin Gerd. Dia pun membuka matanya kembali dan mulai mengamati setiap sudut ruangan itu kalau saja ada terjadi suatu perubahan setelah menekan tombol biru itu.

Seperti sebelumnya, hening. Tak ada perubahan sama sekali. Jika tidak terjadi apa-apa lalu untuk apa tombol itu dibuat?
Hal yang aneh, Gerd pun dibuat kebingungan akan hal itu.
'Apa harus ditekan dua kali agar  tombol itu berfungsi?' Batin Gerd. Dia meraih tombol biru itu lagi dan akan menekannya. Baru saja jemari Gerd menyentuh tombol itu, lantai yang diinjaknya terperosok kebawah. Begitu juga dengan Gerd yang ikut terperosok karena berdiri diatas lantai itu.

"Tolong!!! Tolong!!!" Teriak Gerd yang jatuh semakin jauh ke bawah permukaan tanah, sangat gelap membuatnya tak bisa melihat apa-apa. Dia telah berteriak ribuan kali namun sepertinya sia-sia, tak ada seorangpun yang dapat mendengarnya.

"Tolong..." ucap Gerd pelan, kepalanya mulai terasa pusing karena jatuh dari ketinggian yang rasanya luar biasa itu, kira-kira ribuan meter, sesekali kepala Gerd telah berada di bawah. Berputar, seperti bola yang menggelinding dengan cepat.

Brruuukkk

Tubuh Gerd terhempas di atas sebuah benda empuk, seempuk kasur dirumahnya. Sekarang dia tak berdaya, pusing, lemas dan mungkin sudah setengah sadar. Gerd menyesal telah menekan tombol itu, Sepertinya dia tidak akan pernah bisa keluar dari tempat itu, dia akan terjebak di tempat gelap itu untuk selamanya.

Tiga puluh menit, Gerd mengumpulkan kesadarannya kembali dan rasa pusingnya sudah mulai hilang. Gerd bangun dan mulai berdiri meraba dinding agar bisa mencari jalan keluar dari tempat itu.
'Ini dimana, kenapa gelap sekali?, kenapa lantainya empuk begini?, aku mohon, tolong aku' ucap Gerd lirih.

Gerd tidak tahu akan pergi kemana karena tidak bisa melihat apa-apa. Sudah satu jam dia berjalan, semakin jauh dari tempatnya terjatuh namun tak kunjung menemukan setitik cahaya pun.

Kepalanya mulai sakit karena kelelahan ditambah lagi tak ada penerangan, membuatnya semakin pusing.
Namun dia tetap berjalan karena tidak ingin tersesat disana untuk selamanya sampai akhirnya Gerd merasa ada sesuatu yang aneh tengah diinjaknya. Diapun berjongkok untuk mengambil benda itu, lama Gerd memegang benda kotak sebesar kepalan tangan  itu.

'Ini apa ya?' Batin Gerd. Dia pikir sebaiknya menyimpan kotak itu di dalam kantong bajunya terlebih dahulu, setelah sampai ditempat yang terang barulah dia akan membuka kotak itu. Akan tetapi Gerd sudah tidak kuat lagi untuk berjalan, dia sangat haus namun tak ada apapun disana.
Dia memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu, duduk ditempat itu beberapa menit lalu terus berjalan sambil berpegangan pada dinding kasar yang berdebu itu. Lalu dia jatuh tersungkur, kali ini Gerd  benar-benar kehabisan tenaganya.

***

The VasteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang