24. Mabuk

21K 2K 327
                                    

.
.
.
.
.

Bertahun-tahun aku tinggal di negeri orang bersama keluargaku. Awalnya tidak mudah untuk menyesuaikan diri di sini. Apalagi anak-anakku, mereka berempat itu merasa sangat asing dengan tempat ini. Terutama Jena, sebulan pertama kami tinggal di Korea, ia selalu merengek minta pulang ke Indonesia. Ia bahkan tidak pernah tidur pulas di sana, karena Jena merasa sangat asing dengan rumah baru kami. Banyak rintangan yang kami hadapi di sini, belum lagi anak-anak yang sedikit kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang disana. Tapi itu dulu, sekarang, keempat anakku, sudah pandai berbicara bahasa Korea. Apalagi si kembar, mereka berdua itu yang paling lancar berbahasa Korea, mungkin karena mereka berdua itu besar di sini.

Untuk pendidikan, aku dan Mas Jaehyun menyekolahkan anak-anak di sekolah Internasional yang berada di Korea. Tapi sekarang yang bersekolah di situ hanya Jena dan si kembar. Karena Jichan sudah mulai kuliah beberapa bulan yang lalu. Ya secepat itu waktu berjalan.

Si kembar yang biasanya bertengkar karena rebutan susu, kini sudah beranjak remaja. Jichan, yang selalu menjahili Mas Jaehyun, kini sudah kuliah, dan Jena, putriku dan Mas Jaehyun satu-satunya, kini sudah menjadi idola di sekolahnya.

Mungkin karena aku dan keluargaku menjalani hari-hari di sini dengan penuh kebahagiaan, jadi tidak terasa lama.

"Pagi Buna," Suara serak Mas Jaehyun menyapaku di pagi hari. Ia mengecup bibirku sekilas dan menarik pinggangku lebih rapat dengannya.

Aku tersenyum dan memberanikan diri mengecup Mas Jaehyun lebih dulu, "Pagi Ayah. Mau sarapan apa?" Tanyaku.

"Lontong sayur," Aku memukul lengan Mas Jaehyun pelan, membuat pria itu terkekeh.

"Di sini nggak ada lontong sayur. Aku juga nggak bisa masak sayur itu. Makan nasi goreng aja ya?"

Bibir Mas Jaehyun mengerucut, "Percuma dong kamu nawarin kalau ujung-ujungnya nasi goreng. Akutuh kangen banget masakan Indonesia Bun."

"Lagian kamu mintanya aneh-aneh," Kataku, "Kalau kamu kangen makanan Indonesia, nanti biar aku suruh Mamah bawa makanan Indo kesini," Di sini sebenarnya ada restoran yang menyediakan makanan Indonesia. Hanya saja rasanya berbeda, tidak seenak makanan buatan Mamah.

Mas Jaehyun mengangguk, "Mamah kesininya besok ya?"

"Iya. Besok aku suruh Jichan aja buat jemput Mamah di bandara," Mengingat jika Jichan sudah pandai menyetir dan sudah memilik izin untuk mengemudi, "Udah minggir dulu Mas, aku mau mandi. Lengket semua badan aku," Aku mendorong tubuh Mas Jaehyun perlahan agar ia menjauh dariku.

"Bareng aja yuk? Bathupnya kan gede banget Bun. Ayah takut kalau mandi sendiri."

Aku memutar bola mata malas, "Halah, itumah alesan kamu aja."

Mas Jaehyun terkekeh, "Lama-lama mulut kamu makin bar-bar ya," Tanpa persetujuanku, Mas Jaehyun menggendong tubuhku dan membawanya ke dalam kamar mandi.

Kami mandi cukup lama. Ini semua terjadi karena Mas Jaehyun.

"Gara-gara kamu aku jadi kesiangan buat sarapan tau," Ocehku sambil memakaikan Mas Jaehyun dasi.

Mas Jaehyun mengecup keningku, "Kamunya juga mau aja Bun kalau aku serang," Blush kedua pipiku memanas karena ucapan Mas Jaehyun yang ada benarnya.

"BUNAAA! JENO LAPER! MAU SARAPAN!" Speaker di kamarku berbunyi, terdengar suara Jeno yang menggelegar dari sana. Ya, aku dan Mas Jaehyun sepakat memasang speaker di setiap kamar. Karena rumah ini cukup besar, rasanya tidak cukup untuk membangunkan anak anak dengan sebuah teriakan saja, apalagi membangunkan Jichan dan Jeno yang sudah seperti orang mati jika sedang tidur. Belum lagi kamar mereka berempat yang terpisah pisah. Ada yang dilantai dua, ada yang dilantai satu. Bisa bisa kakiku patah karena harus menyusuli mereka satu satu.

After Married ; Jung Jaehyun [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang