MIMOSA 1

101 9 4
                                    


.
.
.

Ia berjalan dengan cepat dan tertunduk hanya memerhatikan lantai di bawahnya, tidak dengan orang-orang sekitar. Banyak murid-murid yang berlalu lalang di sekitar memerhatikannya, mulai dari atas hingga bawah. Mereka terpukau dengan kecantikan parasnya dan tentunya tidak melupakan hal yang sangat penting dari gadis itu. Ia adalah gadis matematika di sekolahnya.

Seorang pakar matematika, mereka biasa menyebut seperti itu. Entah betapa kagumnya banyak orang dengan gadis satu itu. Seakan semua orang ingin menjadi gadis itu karena otaknya yang sangat cerdas mampu menyelesaikan semua jenis soal matematika, fisika, apapun yang berbau dengan perhitungan. Bahkan dirinya sedang mengantuk pun sanggup mengerjakan soal tersulit yang bapak-ibu guru sukar mencari jawabannya. Genius woman.

Mereka menyapa, dan sebagian hanya diam saja karena mereka tahu mereka tidak akan dibalas senyuman apalagi sapaan. 

Wajahnya datar, mata sinis, jarang bicara. Adalah tipikal seorang Mimosa Laufacia. Sering mengenakan seragam kebesaran dan rambutnya biasa terkepang satu. Memakai sepatu pantofel mengkilat dan kaos kaki merah muda setinggi mata kaki dengan garis warna putih di tepian kaos kaki.

Kedua tangannya mengenggam tas ransel dan kedua telinganya pula tersumpal earphone berwarna putih yang memutar lagu-lagu favoritnya. Ia tidak peduli dengan orang-orang sekitar. Ia benci mereka semua.

Setelah melewati koridor-- tempat ramai yang dibenci Mosa, gadis itu masuk ke dalam ruang kelas dengan beberapa gadis yang menatapnya tak suka saat pertama kali gadis itu melangkah masuk.

Duduk di bangku paling pojok, mengeluarkan buku tebal dan mulai mengerjakan sesuatu yang tersisa di buku itu. Karena Mosa sudah menghabiskan seluruh soal matematika-fisika yang ia punya. Merasa tidak punya percadangan kegiatannya mengerjakan soal, Mosa berniat membeli buku berisi soal-soal sepulang sekolah.

Senyum miring tercetak di wajah gadis yang duduk di meja paling depan sembari bersedekap tangan menatap Mosa angkuh.

"Gak ada pr. Gak usah sok sibuk ya," teriaknya membuat Mosa berhenti dari kegiatannya.

"Berhenti jadi murid kesayangan guru-guru. Muak gue liatnya."

Ia tetap terdiam tidak menjawab sepatah katapun. Lalu dengan pelan, Mosa memasukan buku tebalnya itu dan beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana?" tanyanya menahan pundak Mosa yang berjalan melewatinya.

"Rooftops." jawab Mosa setelah itu mengelengos pergi.

"Bagus kalo lo pergi, sukur-sukur lagi kalo lo pergi selamanya, haha." ucap gadis lainnya lagi.

"Kasar banget buk ya buk." gumam seseorang

Mosa menghela napasnya pelan. Keluar dari kelas dan..

"Mau kemana?"

"Aww!" Mosa menjauhkan pergelangan tangannya yang sempat di genggam oleh seseorang.

"Lo.. mau kemana?" ulangnya.

Mosa diam saja menatap laki-laki itu dengan kesal dan melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaannya.

Laki-laki itu memandangi punggung Mosa yang kian jauh. Lalu tersenyum tipis.

"Pantes dibenci banyak orang, selain pinter dan cantik, lo juga ngeselin." ujarnya diakhiri senyum miring dan masuk ke dalam kelasnya.

Sedangkan gadis cantik itu sudah tiba di ujung tangga dan perlahan membuka pintu ke rooftops. Sesampai di sana, angin pagi dan sinar matahari yang bersinar hangat menyentuh kulit Mosa. Gadis itu berjalan sangat lambat hendak ke tepian rooftops dengan kedua matanya terpejam. Dalam hatinya selalu berharap ia berhenti tepat di tepi rooftops atau bahkan jatuh sekalian. Tapi, apa yang Mosa harapkan tidak pernah terjadi. Ia akan berhenti di tengah-tengah rooftops dengan kaki yang sudah gemetaran seperti sekarang ini.

that's A Incredible LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang