"Shit."
Teman Icha mencengkeram pergelangan tangan Icha sembari berbisik di telinga cewek itu.
"Cha.. itu kak Daren. Bisa gawat kalo berurusan sama dia." ucapnya dengan tatapan ngeri.
Icha membalas kata-kata temannya dengan bisikan pula. "Tapi kok ganteng banget sih."
Plak..
Temannya itu menabok kepala Icha dari belakang. "Mata lo. Ganteng sih, ganteng. Lo bisa habis kalo punya masalah sama dia. Cus! kabur sekarangg!"
Icha membulatkan matanya ketika melihat kakak kelas bernama Daren itu berjalan mendekati dirinya dan temannya.
Icha mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berlari terbirit-birit bersama temannya. Ia tidak peduli dengan kakinya yang membiru seperti mati rasa. Yang terpenting menjauh dari tempat semula, karena kata-kata temannya itu mampu mempengaruhi nyali Icha yang perlahan menciut.
"Kalo sama Rachel gue gak takut. Kalo dia.. mungkin gue gak berani deh! Nyerah!" celoteh Icha berhenti di depan kelasnya dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran.
Sementara di tempat semula, Daren menatap tajam ke arah dua cewek yang berlari menghindar darinya. Itu lebih baik daripada terus mengganggu Daren pagi ini. Ya, itu sangat mengganggu Daren saat berjalan di koridor. Perbincangan yang sempat menarik perhatiannya itu lama-kelamaan membuat Daren kesal karena suaranya begitu cempreng merusak telinga.
Biasanya murid-murid akan menghindar dan terdiam tanpa suara ketika Daren berjalan di sekitarnya. Nah ini? Seakan sengaja, Daren kesal dibuatnya. Kalau saja kaki cewek itu tidak membiru, Daren sudah memberi pelajaran pada gadis kecil yang sangat mudah dikalahkan itu.
Itulah mengapa Daren sempat berkata kasar 'shit', karena merasa Icha sudah terluka sebelum Daren melukai. Daren itu bak psikopat. Ia tidak mempedulikan siapa yang dilawan. Sangat tidak peduli.
Di lain tempat. Mosa mencoba membuka matanya walau sangat berat rasanya. Ada dua gadis yang berdiri di samping kasur UKS memerhatikan wajah Mosa.
"Udah sadar." bisik gadis yang satu ke gadis satunya lagi.
Walau pelan, bisikan itu mampu masuk ke telinga Mosa. Satu dari gadis itu menempelkan punggung tangannya di jidat Mosa.
"Gak panas, tapi malahan dingin." ucapnya.
Mosa hanha bisa diam sambil memandangi keduanya yang terlihat serius merawatnya. Akhirnya Mosa menggerakkan badannya untuk duduk di pinggir kasur. Tapi gerakannya ditahan dan membuat Mosa meletakkan badannya kembali di kasur.
"Jangan bangun dulu kak. Kakak pasti pusing, kan? Dibuat tiduran dulu di kasur, jangan duduk."
Mosa menurut begitu saja.
"Mau minum obat?" tanya adik kelas yang tengah bertugas di UKS tersebut.
Mosa menggeleng. "Gak perlu. Aku gak papa."
"Hah? Tapi mukanya pucet banget,"
Mosa menggeleng.
"Nanti aku bisa pergi ke dokter. Kalian bisa pergi dari sini." ujar Mosa membuat dua adik kelas itu saling tatap.
"O-okey. Kita akan keluar. Tapi jangan ngelakuin macam-macam ya, kak."
Mosa memejamkan matanya kembali ketika adik kelasnya itu sudah keluar dan menutup pintunya rapat. Mosa tidak tidur, namun ia hanya ingin memejamkan matanya sejenak.
Ngelakuin macam-macam? Memangnya kalian bakal peduli aku ngelakuin semua itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
that's A Incredible Life
Teen FictionCerita ini mengandung unsur kekerasan. Sebaiknya berpikir dua kali sebelum benar-benar menyukai laki-laki kejam dan bodoh. Setidaknya berpikir dahulu sebelum benar-benar mengagumi seorang gadis pendiam, dengan sejuta luka yang dirasakannya, tidak ba...