Angin malam yang kencang merasuk dalam jiwa yang tenang di ujung pantai sana, berkelana dalam sebuah angan yang entah apa yang sedang ia pikirkan. Winia duduk di bibir pantai sembari menyaksikan indahnya bulan malam di langit sana. Indah memang jika kita menyaksikan bulan bersinar manja di atas laut yang memantulkan cahayanya. Kegiatan hari ini selesai begitu saja di lahap waktu, beristirahat adalah menjadi hal yang paling di tunggu-tunggu bagi seluruh siswa. Dan kenyataannya tidak, sebagian dari mereka memutuskan untuk berkeliling ke tempat sama yang mereka lalui tadi pagi.Di hujaninya kaki mungil itu dengan segenggam pasir yang ia ambil tiada henti hingga menimbulkan gundukan hampir menutupi kakinya. Matanya masih tertuju pada bulan yang bersenggama dengan malam. Hingga akhirnya Kenn datang dan duduk di sebelahnya. “ Sendiri aja?”
“Lagi pengen sendiri.” Mata itu masih tidak mau berpaling dari keindahan sang rembulan yang memang bisa memanjakan mata.
“Kenn, lo percaya jika semua manusia mempunyai hal yang mereka sangat benci?” Kenn mengangguk mengiyakan walau sebenarnya Winia tak memperhatikan hal itu.
“Lo pernah benci diri lo sendiri?” Kali ini mata itu tertuju pada Kenn. Entah kesedihan entah sandiwara Kenn tidak bisa membedakan, ada rasa iba datang begitu saja. Rasa yang begitu menyayat hati.
“Lo kenapa?”
“Lo belum jawab pertanyaan gue.” Dengan senyuman yang sedikit terpaksa Winia memalingkan wajahnya kembali pada rembulan yang mulai bersembunyi di celah-celah awan.
“Okey, gue pernah benci diri gue sendiri. Gue sangat benci diri gue saat gue nggak bisa menyelamatkan seseorang yang gue sayang. Seseorang yang sangat berarti, yang selalu ada disaat gue butuh, yang selalu berhasil menguatkan gue. Saat itu gue sangat benci diri gue, bahkan sampai sekarang. Entah betapa bodohnya gue saat itu, keegoisan gue membuat gue kehilangan orang yang benar-benar gue sayang. Gue kehilangan ibu gue.” Seketika semuanya hening menyisakan deru ombak yang sayu menyapa alam.
“Sorry, gue nggak bermaksud mengulang kenangan buruk lo. Tapi kenapa gue nggak pernah tau itu semua.” Winia kembali memandang Kenn yang duduk terpaku menatap gelombang ombak di depannya, ia kini terselimuti kesedihan masa lalu yang begitu dalam.
“Mana mungkin lo bisa ngerti, jika dalam pikiran lo saat itu hanya kebencian, kebencian yang menyebabkan perpecahan, kebencian yang menciptakan jarak, kebencian yang hanya menciptakan luka. Lo bahkan nggak pernah mau mendengar kebenarannya, yang lo tau hanya benci saat itu.” Winia terpaku tak berkutik mendengar pengakuan Kenn.
“Tapi lo tau keadaan gue, gue terpuruk.”
“Gue tau semuanya, saat itu lo kehilangan sebagian hati lo, lo kehilangan sosok pahlawan dalam keluarga lo. Lo kehilangan sosok ayah yang sejak dulu selalu memanjakan lo, dia pergi begitu saja memilih untuk menjadi pahlawan di sebuah keluarga yang lain. Gue tau semua, karena sosok gue yang dulu perduli sama lo. Entah gue hanya heran kenapa seorang Kenn masih bisa sayang sama lo yang bahkan tidak mengerti apa yang sedang di alaminya dulu. Orang tua kita meninggal itu lebih perih dari pada orang tua kita selingkuh, lo masih bisa ketemu ayah lo walau kebencian yang ada dalam hati. Tapi gue, sedetik pun gue nggak bakalan pernah ketemu bahkan menyetuh pipi nyokap gue. Dia benar-benar pergi, dan lo nggak pernah berpikir sedalam itu.” Kenn beranjak dari tempat duduknya, berjalan menjauh menyisakan luka dan kesedihan di bibir pantai itu, deru ombak pun seakan mengerti kesedihan malam itu, rembulan masih bersembunyi di balik awan yang begitu tebal hingga menciptakan gelap yang tak berbayang.
Winia terpaku tidak bisa berfikir normal, ada rasa penyesalan. Kebenaran yang tak pernah ia tahu, kebenaran yang sejatinya tidak pernah mau ia dengarkan sejak dulu. Berteriak kesal Winia pada dirinya sendiri, seceroboh itu ia memutuskan untuk membenci seseorang. Hal yang benar-benar mengganggu pikirannya sekarang, setetes air mata yang saat ini mengalir di pipinya pun sudah tiada arti, ia hanya mampu menangis, berteriak dan menyalahkan diri sendiri. Winia telah rapuh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mars & Pluto (Sudah Terbit)
Teen FictionPernahkah kalian merasa bahwa dunia ini tidak begitu adil, kebohongan bertebaran dimana-mana, kenyataan pahit yang diterima. Kisah ini mungkin tak akan habis, tak akan musnah. satu persatu mereka datang silih berganti. Kenyataan yang tak pernah ku t...