Permainan

46 8 0
                                    

Hari ini cuaca sangat cerah, tapi tidak hatinya. Serasa terbang di cakrawala yang menampakkan indahnya bumi Arcapada, namun sayang keindahan itu tak nampak indah, tertutupi oleh pekatnya hitam awan kegelapan, mungkin bibir itu tersenyum manis, namun tidak hatinya. Winia masih terluka, dan rasa luka itu tak akan bisa sembuh, meskipun kini ia sedang bersama dengan para sahabatnya.
“Win, Winia!” Panggil Ayu mencoba membuyarkan lamunan Winia.
“Lo masih aja sedih sih, masih ada kita loh disini.” Ujar Vierna sambil membawa permen gula kapas yang ia beli tak jauh dari taman tempat mereka duduk.
“Mending lo makan ini, biar makin manis.”
“Gua udah manis kali meskipun tanpa ini.” Ujar Winia dengan senyum yang berusaha dia buat sangat manis.
“Udah ah kalau Winia nggak mau buat gua aja.” Tiya mencoba merebut permen kapas itu dari tangan Vierna namun gagal, Vierna terlebih dahulu menariknya. “Lo mau beli sendiri.”
“Is apaan sih Vier, kan Winia nggak mau.”
“Tetep ini punya Winia, nggak bisa di ganggu gugat.” Melihat tingkah laku temennya Winia sedikit bisa benar-benar tersenyum, ada kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan bersama ke tiga temannya ini.
“Win, gua sebenarnya heran sama tingkah Vierna ke Tiya.” Ayu mendekati Winia sembari berbisik.
“Nggak seharusnya sih gua cerita sekarang tapi, ah ada yang aneh. Vierna kayak lagi bosen gitu sama Tiya. Liatkan marahnya Vierna ke Tiya nggak kayak biasanya. Ini kayak ada masalah gitu.”
“Cuman perasaan kamu aja kali Yu.”
“Tapi ini?”
“Udah Ayu.” Winia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi, tapi hari ini moodnya memang tidak ingin membahas yang lain. Dia hanya ingin bersenang-senang dan melupakan sesuatu yang membuatnya sedih.
“Ini punya gua. Kalian beli sendiri ya.” Winia berdiri dan mengambil 2 permen kapas yang ada ditangan Vierna.
“Eh Vier itu satunya punya gua, ngapain diambil juga?”
“Udah lo beli lagi aja Vier. Thanks ya...” Winia mencoba membawa lari jauh permen kapas itu dan tanpa dia sadari di belakangnya sudah ada Zain yang siap di tabrak oleh Winia.
“Aw Sorry.” Ujar Winia saat menyadari ia tengah menabrak seseorang. Dan serasa ingin menarik perkataan maafnya saat melihat seseorang yang tak ingin dia lihat saat ini.
“Winia, ikut gua sekarang!” Belum sempat mengatakan iya Zain sudah menarik tangan Winia menjauh dari ketiga sahabatnya.
“Loh-loh, Winia mau dibawa kemana itu. Zain, lepasin Winia.” Teriak Ayu dan di susul Vierna.
“Apa-apaan sih lo Zain. Lepasin tangan gua sekarang!” Seakan tak mendengar permintaan Winia Zain tak melepaskan tangan Winia, ia terus membawa Winia hingga mendekati sebuah mobil. Winia dibawa masuk ke dalam mobil.
“Pak, cepat!” Ujar Zain kepada seseorang pengemudi mobil hitam besar yang ditumpanginya.
“Zain lepasin!” Kali ini Winia mulai panik. Ia berusaha untuk melepaskan diri namun gagal, dan disaat Winia ingin berteriak, semuanya juga gagal seakan Zain tahu isi hati Winia, Zain menyumpal mulut Winia dengan kain yang sebelumnya sudah diisi dengan obat bius, perlahan pandangan Winia mulai kabur, pingsan.
Sementara ketiga sahabatnya tak kalah panik, mereka ikut berlari mengejar namun tak berhasil. “Vier, pinjem hp buruan.” Ujar Ayu. Bergegas Ayu mengambil gambar mobil itu sebelum menghilang.
“Lo ngapain jadi foto-foto sih Yu? Bukan waktunya ya ampun, lo ada-ada aja sih.” Tanya Tiya yang tak mengerti dengan tingkah Ayu.
“Gua ambil foto biar dapat plat mobilnya.”
“Terus sekarang gimana?” Tanya Vierna. Masih mencoba melihat arah laju mobil yang menculik Winia.
“Telpon polisi!” Ujar Tiya yang di sambut setuju dengan Vierna.
“Terlalu berbahaya kalau kita datang sendirian kesana, lagian kita juga nggak tau Winia di bawa kemana. Ini Zain, teman kita juga, kira-kira kemungkinan besar Winia akan dibawa kemana? Kita pikirkan itu dulu.” Ujar Ayu sedikit mencoba menenangkan teman-temannya.
“Tapi kalau Winia di mutilasi atau di apa-apain gimana?” Pikiran Tiya kini melayang kemana-mana, semua adegan penculikan difilm ia khawatirkan terjadi pada Winia.
“Udah mending lo sekarang diem aja jangan makin bikin kita makin panik.” Bentak Vierna yang semakin geram dengan kemungkinan-kemungkinan yang dinyatakan Tiya. Mendengar bentakan Vierna Tiya memutuskan benar-benar diam, namun tidak dengan kemungkinan yang ada di pikirannya.
“Gua telpon Dewa dulu.” Ujar Ayu.
“Ok, gua bakalan telpon Kenn.” Tambah Vierna.
***
“Kak maafin Kenneth ya, nggak seharusnya semuanya seperti ini, gua gagal memenuhi amanat lo, gua terlalu lalai.” Kenneth yang duduk di sambil tempat tidur Kenzo mencoba meminta maaf dengan kejadian yang tak seharusnya terjadi padanya Winia dan juga Kenzo.
“Udah berapa kali coba kamu ngomong kayak gini, kamu nggak salah, kakak yang salah nyuruh kamu kesini cuman menggantikan posisi kakak demi orang yang kakak sayang. Kakak yang seharusnya minta maaf bukan kamu.”
“Kalian berdua udah kayak drama FTV tau nggak, minta maaf aja nggak selesai-selesai.” Faray melempar gumpalan kertas ke arah Kenzo dan juga Kenneth dengan tawa meledek ke mereka berdua.
“Udah ah lo mending diem aja, nonton aja dah.”
“Nonton apaan?” Tanya Faray heran.
“Ya nonton Drama FTV yang lo bilang tadi.” Kenzo seketika tertawa melihat ekspresi Faray dengan pernyataan Kenneth.
“Aneh lo hahaha” di tengah-tengah mereka bercanda, suara telpon Kenneth berdering.
“Bentar ya kak.” Izin Kenneth. Vierna tumben dia nelpon. Benaknya dalam hati.
“Ya Hallo.”
“Gua nggak tau lo ini siapa. Entah lo Kenn yang asli atau kembarannya gua nggak perduli, tapi tolongin Winia segera.”
“Ada apa?” Nada Kenneth semakin meninggi.
“Winia di culik Zain. Buruan gua nggak tau Winia di bawa kemana.” Ujar Vierna panik.
“Lo di mana sekarang?”
“Taman kota.” Telpon segera dimatikan Kenneth, ia mendekat ke arah Faray.
“Lo ikut gua sekarang, penting!” Faray mengangguk tanpa banyak protes, ia bergegas berdiri dan mengambil kunci mobil.
“Kak, gua pergi bentar, nggak lama. Kalau ada apa-apa telpon gua.”
“Ada apa Neth?” Kenneth hanya tersenyum dan menggeleng mengatakan tak terjadi apa-apa “Tenang kak, nggak ada apa-apa.”
“Hati-hati.” Ujar Kenzo sembari melihat adiknya dan juga Faray meninggalkannya. Kenzo mengerti terjadi sesuatu diluar sana yang tak ia mengerti, pikirannya kemana-mana seakan ada suatu yang perlu diselamatkan tanpi entah siapa. “Winia.” Seketika nama itu yang tersebut berbarengan dengan bunyi dering telpon miliknya yang berada di sebelah tempat tidurnya. Ia meraihnya dan menjawab telpon tersebut dengan penuh rasa khawatir yang semakin menjadi.
***
Vierna, Ayu dan Tiya masih panik dan terus terpikirkan nasib Winia saat ini. Tak lama kemudian Faray dan Kenneth datang. “Bagaiamana?” Ujar Kenneth dari balik pintu mobil.
“Belum ada jawaban.” Ujar Ayu.
“Aku sudah mencoba menghubungi Winia dan juga Zain tapi gagal, tidak ada yang berhasil aku hubungi.”
“Bangsat, apa sih maunya tu anak. Udah gua peringatkan untuk jauhi Winia. Cari mati memang tu anak.” Emosi Kenneth semakin menjadi.
“Terus kita gimana sekarang?” tanya Vierna semakin panik.
“Kita cari, kalian semua masuk ke mobil.” Pinta Kenneth, namun sebelum Kenneth masuk ke dalam mobil, panggilan masuk dengan nomer tak dikenal, segera Kenneth angkat.
“Lo cari Winia, heh. Masih sayang lo sama nyawa dia?”
“Eh bangsat, banci lo ya. Lo berani lukai dia, mati hidup lo.”
“Sepertinya sebelum lo bunuh gua, lo bakalan kehilangan seseorang yang sangat berarti bagi lo. Sama seperti saat lo kehilangan ibu lo.”
“Maksud lo?”
“Lo nggak usah sok polos, lo tau semua ini, lo tahu kenapa gua kayak gini. Pilihan ada di tangan lo, lo datang dengan tangan kosong dan serahkan diri lo sama gua. Atau orang-orang yang lo sayang bakalan menjemput ajalnya.”
“Macem-macem lo sama Winia gua beneran habisin lo Zain.”
“Sayangnya Winia terlalu berharga untuk gua sakiti, tapi kalau makhluk yang satu ini, gua yakin lo bakalan lemah.” Kenneth mulai berpikir panjang dengan apa yang di sampaikan Zain, makhluk lemah? Siapa?
“Gua tunggu lo sejam lagi di tempat ini, jangan sampai orang yang benar-benar berharga buat lo bakalan merenggut ajalnya.”
“Anjing, bangsat.” Maki Kenneth setelah telpon itu mati. Bergegas ia masuk kedalam mobil dan menunjukkan alamat yang dikirimkan Zain kepada Faray. Mereka pun bergegas menuju tempat itu dengan penuh rasa cemas. Sementara di sebuah gedung yang sudah lama tak terpakai Winia tengah terikat disebuah tempat duduk dengan seseorang yang juga terkulai lemas tak berdaya, tangannya juga terikat.
“Lihat Winia, lo berhasil mengantarkan gua pada kejayaan dan kebahagiaan gua sebenarnya. Nggak salah gua deketin lo sejak awal.” Ujar Zain dengan senyum dan dendam yang telah lama ia pendam. Dan kali ini semesta tengah mendukungnya, semesta mengizinkan kejahatan ini berlangsung dengan sempurna.  Permainan yang sudah dirancang Zain saat pertama kali menginjakan kakinya di sekolah Winia.

Mars & Pluto (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang