Kebenaran II

48 7 0
                                    

Gedung itu nampak pengap dan sunyi, mereka berlima masih menerka-nerka di mana Winia berada, mereka berteriak satu persatu. Kenneth mempimpin, ia sudah berada di atas tangga paling atas. “Lo yakin dia ada di sini?” Faray yang melangkah mulai ragu dengan tempat yang mereka tuju.
“Alamat yang di kirim Zain ya di sini.” Ujar Kenneth menghentikan langkahnya.
“Yakin bukan jebakan?” Vierna kali ini menghentikan langkahnya tepat di belakang Faray. Namun sebelum pertanyaanya terjawabkan ponsel Kenneth berdering, seseorang menelponnya. Nomer yang tak dikenal, Zain. Belum sempat orang dibalik telpon itu berbicara Kenneth sudah lebih dulu menanyakan keberadaanya. “Di mana lo? Jangan main-main.”
“Lo sudah berada di tempat yang tepat, dan sebentar lagi lo akan ketemu apa yang lo ingin lihat. Sebuah balas dendam yang harus lo rasakan. Bersiaplah.” Panggilan itu berakhir, dan asap yang begitu pekat mulai memenuhi tempat itu.
“Gua nggak bisa napas.” Teriak Tiya dibelakang.
“Sial, tutup hidung kalian semua!” Teriak Kenneth. Terlambat, asap itu sudah terhirup oleh teman-temannya. Satu persatu mereka mulai terjatuh dan tak sadarkan diri. “Sial.” Kenneth jengkel. Kenneth pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu, membiarkan keempat temannya tak sadarkan diri. Tangga demi tangga dia naiki dengan rasa waspada.
“Zain, keluar lo sekarang!” Teriak Kenneth saat berada di gedung paling atas. Berkali-kali menyebut nama Zain tak ada jawaban, hingga akhirnya ia melihat Winia dan Kenzo tengah terikat tak berdaya. “Kenzo!” Kenneth bergegas berlari menghampiri mereka berdua.
“Neth.” Kenzo mencoba mengumpulkan tenaganya untuk bicara.
“Lo kenapa ada di sini sih kak?” Kenneth memegang wajah Kenzo yang sudah sangat lelah dan pucat. “Lo harus pergi dari tempat ini.” Ujar Kenneth dan berusaha membuka ikatan ditanggan Kenzo.
“Lo harus bawa pergi Kenzo, cepat!” Teriak Winia.
“Tidak jika tanpa lo.” Tegas Kenneth, pandangannya mengarah ke Winia.
“Lo nggak ada waktu lagi, sebentar lagi Zain akan kembali. Lo harus cepat.” Winia mencoba mengingatkan, namun seakan Kenneth tak mau mengerti, ia melangkah ke arah Winia, melepas ikatannya.
“Zain itu orang berbahaya Kenneth, dia ada rencana buat ngancurin kita semua. Lo harus pergi bawa Kenzo, dia lebih membutahkan pertolongan.”
“Karena itu Zain harus menerima balasannya, gua harus habisi dia.”
Pandangan Winia seketika beralih ke arah belakang Kenneth, sebuah balok kayu siap menghantamnya dari belakang. “Kenneth, Awas!” Teriak Winia dan terlambat hantaman balok kayu itu telah menghantam lengan Kenzo. Kenzo berhasil menyelamatkan Kenneth dari hantaman balok kayu itu, ia terkulai tak sadarkan diri. “Kenzo!” Teriak Kenneth yang menyadari Kenzo telah tak sadarkan diri. Winia yang ikatannya sudah terlepas menghampiri Kenzo dan menangis melihat keadaanya yang begitu menyakitkan.
“Bajiangan! Gila lo ya, mau lo apa?” Kenneth menghampiri Zain dan mengangkat kerah baju Zain. Zain tertawa terbahak-bahak, tak ada rasa penyesalan. Tak ada rasa takut, seakan inilah yang ingin ia saksikan sekarang. Kenneth kehilangan kesabaran, di hantamnya wajah Zain sangat keras hingga terbanting kelantai, darah segar mulai keluar dari mulut Zain.
“Selamat datang Kenneth.” Ujar Zain sembari membersihkan darah yang ada di mulutnya. Zain berusaha berdiri. “Selamat datang di permainan gua.”
“Nggak usah banyak bacol lo.” Kenneth melangkah ke arah Zain dan kembali menghantam Zain dengan keras, kali ini hantamnya bertubi-tubi dan Zain masih tetap tersenyum bangga dengan apa yang dilakukan Kenneth. Sampai tubuh Kenneth tiba-tiba terpental tersetrum. Zain mengeluarkan alat setrum dari saku celananya. Kenneth terjatuh tak jauh dari Zain.
“Sudah gua bilang, permainan ini sudah gua rancang sejak awal. Sejak pertama kali gua tahu kalian bertiga berada di tempat yang sama. Sudah lama gua menunggu ini semua, sudah lama gua menunggu hari bahagia ini.” Zain melangkah ke arah Kenneth. “Lo tahu, dendam ini seakan sudah tak bisa dibendung lagi, semuanya rasanya ingin gua luapkan. Dan hari ini kalian semua harus merasakan sakit yang gua rasakan sejak dulu. Sejak bertahun-tahun lamanya.”
“Apa salah gua?” Teriak Kenneth.
“Lo masih tanya apa salah lo? Lo lupa atau pura-pura lupa?” Diijak dan ditendangnya badan Kenneth sangat keras hingga menimbulkan erangan kesakitan.
“Lo ingat anak usia 9 tahun yang ibunya memilih bunuh diri karena ketahuan bersama suami orang? Lo ingat anak 9 tahun yang lo buli habis-habisan karena dia tidak sempurna, kehidupannya tak bahagia tak seperti orang lain, lo buli dia dengan sebutan anak haram, lo ingat itu semua?”  
“Daffa?” Ujar Kenneth terkejut.
“Ternyata lo masih ingat anak yang menjijikan itu, lo lupa nama gua Daffa Zain Ramadhan?” Zain tersenyum licik. “Oh gua lupa, mana mungkin lo mau tau siapa nama panjang gua. Yang lo tahu gua anak haram hasil hubungan gelap nyokap gua.”
“Kalau lo ada masalah sama gua nggak usah lo ngelibatin orang lain apa lagi kakak gua kayak gini, banci lo.” Kenneth sudah duduk saat Zain menjauh darinya.
“Lo salah Kenneth, lo salah. Semua yang ada di sini adalah orang-orang yang gua benci. Dan lo Winia Hade Saputri. Lo tahu? Lo penyebab semua ini terjadi.” Kenneth memalingkan wajahnya ke arah Winia yang masih memangku kepala Kenzo.
“Maksud lo?” Tanya Zain.
“Lo ingat Kenneth, ayah lo telah mengenalkan Ayah Winia ke Nyokap gua, awalnya berjalan lancar, mereka dekat. Ayah Winia beberapa kali datang ke rumah bahkan sering tidur di rumah, gua tahu betul itu. Awalnya gua seneng, gua pikir gua bakalan dapat sosok ayah yang bisa jaga gua, yang bisa nasehati gua, dan bisa berikan kehangatan sosok Ayah yang sama sekali gua nggak tahu bagaimana rasanya.”
“Gua senang dia ada dirumah, bahkan gua selalu menanti-nanti kedatangan dia. Seketika hidup gua terasa sangat sempurna, tapi sayangnya gua belum sempat menyombongkan itu semua ke lo Neth, lo udah keburu pindah sekolah dan lebih memilih meninggalkan Kenzo sendiri dengan Ayah lo. Dan semenjak ada dia, gua bersumpah gua bakalan menyombongkan diri saat gua akan kembali bertemu lo.”
“Dan lo tahu Winia, kebahagian itu seketika rasanya hancur. Mereka mencibir gua, mereka menghina gua lebih parah dari yang di lakukan Kenneth ke gua. Mereka bilang apa? Ya, gua di bilang anak haram, selingkuhan orang, anak dari ibu pelacur. Lo tahu, betapa sakitnya kehidupan gua saat itu. Berhari-hari gua maki nyokap gua. Gua selalu bertanya, kenapa Ibu lahirkan aku dengan kepahitan ini? Dan ibu gua selalu menangis mendengar itu. Dan lebih parahnya lagi, saat Ayah lo datang ke rumah, Winia. Dia berusaha memutuskan hubungan itu. Dan memilih meninggalkan kita. Meninggalkan gua dan nyokap gua yang penuh dengan kesengsaraan. Dia kembali kerumah lo.”
“Tapi dia udah nggak sama gua, Zain.” Perjelas Winia dengan tangisnya yang terhentikan mendengarkan kepahitan itu.
“Heh, iya gua tahu jelas itu. Lo ingat kejadian malam itu saat nyokap lo memutuskan pergi. Semua itu adalah rancangan gua, gua telpon Ayah Kenzo. Gua bilang ibu gua sakit, dan gua minta untuk Ayah lo datang kerumah gua dan tinggal bersama gua. Gua pun mengacam nyokap gua bakalan bunuh diri. Itu berhasil membawa dia kembali kerumah gua, tanpa perduli betapa sakitnya kehidupan lo. Gua tahu saat itu lo sangat hancur, lo di tinggal Kenzo dan juga Ayah lo sendiri.” Zain kali ini sudah duduk di kursi yang sejak tadi berada tak jauh darinya. Matanya masih tertuju kepada Winia dan Kenzo. “Kenapa? Terkejut karena gua udah mata-matai lo sejak kecil? Iya, gua sudah jadi psikopat sejak kecil, semenjak nyokap gua memutuskan untuk bunuh diri. Lo tahu karena apa nyokap gua bunuh diri? Dia nggak pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Malam itu Ayah lo diminta untuk menikahi nyokap gua, tapi dia nggak mau, dia malah memutuskan untuk pergi. Dan di malam itu juga nyokap gua gantung diri di kamarnya.”
“Kalian tahu, bagaimana rasanya tidak memiliki siapa-siapa? Gua meminta bantuan Ayah lo Neth, tapi ia tak mengubris gua, dia meletakkan gua di panti Asuhan. Kenzo saksinya. Gua tahu, ada rasa iba di hati Kenzo melihat gua ditinggal begitu saja di panti itu. Seminggu gua di Panti, Kenzo datang dan membawakan banyak makanan dan mainan, dia datang sendiri. Gua menerima dia dengan baik, tapi dendam gua sudah semakin mendalam semenjak nyokap gua membunuh dirinya.”
“Laku kemana Ayah gua?” Tanya Winia lirih.
“Lo sempat ketemu Ayah lo?” Winia menggeleng.
“Tak akan pernah, lo juga sudah membenci dia kan? Dia aman di tangan gua. Selama gua di panti, gua memikirkan banyak cara. Bagaimana membalaskan dendam gua ini. Dan semua tersusun rapi, beberapa tahun lalu gua berhasil menemukan Ayah lo di sebuah perkotaan, dia kacau, dia mabuk-mabukan, tak terurus. Ingin gua bunuh dia, tapi bukan waktu yang tepat, karena gua ingin lo Winia melihat mayat Ayah lo di depan mata lo sendiri.”
“Bangsat!!” Teriak Kenneth dan menyerang Zain. Zain lebih cekatan, di balik jas yang dia kenakan terdapat pisau lipat yang sudah ia bawa sejak tadi, benda itu mengunus perut Kenneth, darah seketika mengucur deras. Kenneth tertunduk, badannya terasa dingin seketika. Winia berteriak histeris. “Kenneth!!!”
“Itu balas dendam gua untuk perlakuan lo selama ini dengan gua.” Zain puas melihat Kenneth terjatuh bersimbah darah.
“Lo nggak akan lama Zain.” Kenneth berusaha untuk bangkit, namun tendangan keras menghantam tubuhnya. “Balas dendam gua ke lo udah selesai, Kenneth. Saat ini giliran lo Winia.”
“Winia lari!” Teriak Kenneth. Namun belum sempat lari, Zain sudah terlebih dahulu menangkap Winia, diikatnya tangan Winia sekali lagi, dibawanya ia pergi.
“Zain, bajingan jangan pergi lo.” Kenneth berusaha berdiri tapi darah sudah begitu banyak keluar, ia tak dapat merasakan tubuhnya, Kenneth tak sadarkan diri.
***
“Lo lihat kejutan selanjutnya Winia!” Ujar Zain saat telah sampai di tempat yang berbeda. Gedung tinggi di perkotaan, kali ini di tempat yang tak jauh dari keramaian. Winia yang sejak tadi tak henti-hentinya menangis, semakin teriris hatinya saat melihat sosok yang selama ini ia sangat benci tergeletak tak bertenaga di depan matanya, tubuhnya lebam, darah sudah mulai mengering di pakaiannya. Ia tak sadarkan diri.
Kepahitan hidup tak akan pernah ada yang tahu kapan akan datang dan kapan akan berakhir, tapi sebuah kepahitan itu akan selalu hadir di setiap kehidupan. Dulu Winia sudah merasakan pahit yang menurutnya sangat pahit, namun ia salah pahit kehidupan memiliki prosesnya sendiri, dan kali ini bukanlah puncak kepahitan itu.

Mars & Pluto (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang