Dendam itu tak akan pernah selesai, seberapa kuat pun mencoba menghapusnya, semua akan kembali hadir, membawa luka lama, dan membuka kesempatan baru untuk membalasnya. Winia masih bersimpuh memeluk sang Ayah yang masih tak berdaya, tenaganya terkuras cukup banyak, rasa trauma masih terngingan jelas dibenaknya. Winia tak ingin laki-laki itu kembali pergi, ia merindunya. Sangat merindukannya. Zain masih ditempat yang sama, setelah melemparkan senjata yang ia bawa, ia mengakat tangannya, ia tertawa terbahak-bahak, seakan tak ada kekhawatiran di benaknya, ia semakin gila. Polisi mulai mendekat dan menangkapnya, tangannya kini resmi terborgol tak berkutik, satu kata yang masih terngiang dikepala Winia.
“Balas dendam gua belum berakhir Winia, jangan senang dulu!” Ujar Zain saat melewati Winia. Rasa khawatir itu akan terus terngiang dan tak akan terlupakan, bahkan untuk kejadian hari ini.
“Lo nggak kenapa-napa kan Win?” Dewa yang sejak tadi berada disampingnya mencoba menenangkan Winia.
“Terimakasih.” Ujar Winia singkat dan kembali memeluk Ayahnya
Tak jauh dari kejadian Winia, beberapa polisi juga masih memadati gedung kosong itu, mobil ambulan pun sudah bersiap siaga membawa pasiennya menuju rumah sakit, Kenzo dan Kenneth sama-sama tak sadarkan diri. Sementara teman-temannya masih menjadi saksi akan kejadian ini. Isakan tangis terus mengalir dari ketiga gadis itu sambil terus menjelasakan bagaimana kronologi kejadian yang sebenarnya terjadi. Mereka khawatir akan keadaan Winia, mereka belum mendapatkan kabar.
***
Kejadian hari ini membuat semua orang merasakan kesedihan, terutama Mama Winia. Winia, Ayah, Kenzo dan juga Kenneth dirawat dirumah sakit yang sama. Tubuh Winia ada sedikit mememar yang diperolah dari melawat tarikan tangan Zain tadi, badannya masih sakit, ia beristirahat berdampingan dengan Ayahnya. Sementara Kenzo berada diruangan yang berbeda, dan Kenneth baru selesai operasi karena bagian dalam tubuhnya robet tersayat pisau dari Zain.
“Ma, udah nggak usah nangis lagi, Winia nggak apa-apa kok.” Mamanya yang sejak tadi duduk merasa bersalah karena tak bisa menjaganya, menangis tak henti-hentinya. Ia tak memperdulikan suaminya yang tak sadarkan diri tak jauh dari tempat duduknya.
“Mama salah Winia, Mama gagal jaga Winia.” Winia menggelengkan kepalanya, dan menghapus air mata yang terus mengalir itu.
“Ma, mama nggak salah. Mama udah berhasil jaga Winia hingga Winia sebesar ini, tidak hanya itu, mama sudah berhasil jaga Winia dengan doa-doa yang Mama panjatkan untuk Winia, kalau bukan karena doa itu, mungkin Winia nggak bisa selamat dari kejadian ini.” Kali ini Winia tersenyum bahagia, satu persatu kebahagiaan itu mulai datang. Ayahnya kembali, Kenzo juga kembali. Mereka yang sempat hilang semua kembali. Ia memeluk Mamanya sangat Erat.
Winia melepaskan pelukannya dan menatap Ayahnya penuh dengan iba. “Ma, Mama masih mau nerima Ayah lagi kan?” Mama terpancing hatinya untuk melihat suaminya yang masih tak sadarkan diri.
“Mama belum sekuat itu Winia, mama takut hal itu terulang lagi.” Winia menyadari perasaan mamanya, ia menyadari bertahun-tahun harus bersama luka itu, tidak semudah itu untuk menyembuhkan luka, luka masa lalu yang kini menjadi rasa trauma tersendirinya.
“Kapan pun Mama siap. Kita harus mengulangnya dari Awal Ma, Ayah masih sayang mama.” Percakap itu seketika usai saat Vierna, Ayu dan Tiya masuk menemuinya.
“Hi, Win.” Sapa Vierna perlahan takut mengganggu. Menyadari ada teman-teman Winia, Mama menyuruh mereka masuk sedangkan Mama keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaan lo?” Tanya Ayu yang berdiri didekatnya.
“Gua baik kok, cuman sakit aja nih badan habis ditarik-tarik tadi.” Jawab Winia berusaha rileks.
“Lagian tuh si Zain ngapain coba narik-narik lo, tinggal suruh jalan biasa aja kan bisa.” Dengan polosnya Tiya berkata yang mampu menaikan amarah Vierna. Winia hanya tersenyum melihat sahabat-sahabatnya itu. Ia merasa lega bisa kembali berada dengan mereka, merasakan kehangatan persahabatan ini.
“Kenzo dan Kenneth gimana keadaan mereka?” Winia tersadarkan dengan kakak adik kembar itu.
“Kenzo masih belum sadar, kata Ayahnya Kenzo makin drop, entahlah gua juga belum liat keadaan dia. Dan Kenneth, baru selesai operasi, dia kehabisan banyak darah.” Vierna menjelaskan.
“Lo tau Win, wajah ayahnya penuh rasa bersalah, penuh akan penyesalan.” Tambah Tiya. Ayu seketika memperhatikan Tiya dengan nada acaman jangan dibahas lagi. Namun, siapa yang tak kenal Tiya, dia tidak pernah peka dengan kode-kode seperti itu.
“Tadi juga ya, Ayahnya yang ngasih donor darah ke Kenneth, Ayahnya ternyata masih sayang sama Kenneth ya.” Tambah Tiya dengan polosnya.
“Tiya Udah.” Ujar Vierna dan Ayu berbarengan tanpa mereka sadari, hingga menciptakan tawa diantara mereka berempat. Kehangatan ke empat sahabat yang akan selalu menjadi candu, selalu menjadi rindu, dan tak akan mudah melebur menjadi kenangan semu. Mereka diciptakan untuk saling mengisi, saling menguatkan dan saling berbagi kesedihan bahkan kesenangan mereka. Keempat sahabat yang akan terus menjadi sahabat hingga hari tua nanti.
***
Faray masih duduk diantara kedua sepupunya itu, mereka masih tak sadarkan diri. Rasa bersalah juga ia rasakan, pikirnya kenapa saat itu ia hanya diam dan membiarkan asap itu membuatnya tak sadarkan diri.
“Mereka berdua akan baik-baik saja, Ray. Lo nggak usah khawatir.” Ujar Dewa yang sejak tadi duduk di tempat duduk tak jauh dari Kenzo.
“Tetap gua ngerasa nggak bisa jadi temen yang berguna.” Dewa melangkah mendekat, dan menepuk bahu temannya itu. “Mereka tidak akan ada disini kalau bukan karena bantuan lo. Mereka berdua juga nggak bakalan selamat kalau lo nggak segera nelpon ambulan buat cepat datang kesana.”
“Tapi bagaimana lo bisa tahu Zain bawa Winia ke gedung itu?” Ekspresi Faray menyelidiki.
“Waktu itu, Ayu hubungi gua, dia bilang Winia diculik dibawa kabur sama Zain. Dan saat kalian menuju tempat itu seketika gua juga bergegas pergi kesana. Gua telat banget sih datangnya. Setelah gua hampir sampai gedung tua yang dikasih tau alamatnya dari Ayu. Gua ngeliat si Zain narik paksa si Winia, di tangan kanannya ada pisau man, gua takut kalau mendekat sendirian, akhirnya gua hubungi polisi. Winia dibawa dalam mobil dan gua berusaha mengikutinya dari belakang. Gua nggak habis pikir sih, kenapa Winia dibawa ketempat itu. sampai akhirnya mereka berdua turun dari mobil, dan Winia dibawa ke atas masih dengan paksaan. Anehnya orang-orang tak ada yang menghiraukan mereka berdua. Gua nggak berani naik keatas. Bodoh ya gua.” Dewa menyesali keputusannya untuk menunggu para polisi datang.
“Polisi datang gua pun ikut naik, dan gua liat Ayah Winia udah tergantung diatas dan Winia mencoba menahan agar Ayahnya tidak tercekik lehernya sama tali yang super gede itu. gua nggak habis pikir kok bisa Zain sepsikopat itu. Dan lo tau, hampir aja Winia di tusuk pakai pisau yang ada di tangan Zain. Gua nggak kebayang sekarang seberapa traumanya Winia dengan kejadian ini.”
“Tapi setidaknya lo jadi pahlwan hari ini kan?” Dewa terkekeh mendengar pujian dari Faray hari ini.
“Tapi capek tau, ditanya-tanya terus sama polisi.” Keluh Dewa.
“Lo sangka gua enggak?” Mereka berdua pun terkekeh seakan lupa dengan kejadian yang mereka alami hari ini, kejadian yang mungkin bisa membuat trauma antara satu sama lain. Kini semua kembali meski tidak dalam keadaan baik-baik saja, mereka masih bisa tertawa dan bercanda bersama, rahasia satu persatu mulai terbuka dan menciptakan kebahagiaan. Rasa dendam dan benci suatu saat nanti akan terbalaskan dengan sebuah kepercayaan dan rasa kasih sayang. Mereka akan kembali seperti awal kehidupan mereka dulu. Semua itu pasti terjadi. Hal ini dimulai dari sosok Ayah yang menyesali perbuatannya dimasa lalu. Ayah Winia, terbaring disana tapi tidak pendengaran dan juga matanya. Ia menyesal telah meninggalkan Winia dan juga Ibunya. Tetesan Air mata tak sengaja terjatuh saat Winia meminta sang ibu untuk memaafkan Ayahnya yang sejujurnya sangat begitu jahat kepadanya. Sementara di balik pintu tempat Kenzo dan Kenneth terbaring, sosok Ayah itu meneteskan Air mata, ia terisak melihat kedua anaknya harus terbaring tak sadarkan diri, ia menyesal tak bisa menjadi Ayah yang baik bagi keduanya. Detik itu kedua Ayah saling mengikrarkan diri kepada Alam, bahwa kejadian dan kesengsaraan ini harus disedahi, kebencian harus berakhir. Mereka akan menjadi Ayah yang baru, yang bisa meluangkan waktu untuk keluarga yang seharusnya mereka cintai.
***
Faray melangkah pelan menuju arah kantin di rumah sakit, sejak pagi tadi ia belum memakan apapun, namun langkahnya terhenti saat melihat Vierna tengah duduk sendiri tak jauh dari arah kantin, entah apa yang sedang di tunggunya. Faray bergegas menuju kantin dan mengambil dua kota susu bermerk didalam lemari pendingin. Ia membayarnya dan bergegas menuju Vierna.
“Boleh gua duduk disini?” Vierna langsung mengalihkan pandangannya kearah asal suara, betapa terkejutnya ia melihat sosok Faray berdiri di sana, ada rasa senang, grogi, bingung bercampur jadi satu. Seandainya saja Winia, Ayu dan Tiya ada disini, ingin dia berteriak dan bercerita betapa bahagianya ia hari ini.
“Bo-boleh. Duduk aja!” Vierna merubah posisi duduknya memberikan sedikit ruang untuk Faray duduk disebelahnya.
“Nih!” Faray menyodorkan susu rasa coklat kemasan kota kepadanya. “Udah ambil aja, gratis kok.”Vierna terenyum malu.
“Vier!” Faray memandang wajah Vierna lekat-lekat, mata mereka berdua bertemu, Vierna merasakan desirat kehangatan itu lagi, rasa yang sama seperti dipantai saat itu, saat Faray menyatakan perasaanya padanya.
“Gua...” Belum sempat Faray menyelesaikan perkataannya Vierna sudah terlebih dahulu berkata panjang lebar.
“Gua juga suka sama Lo Faray, lo nggak tau betapa sakitnya gua saat gua harus ngejauh dan nolak lo saat itu, gua nggak bisa liat lo dekat dengan cewek-cewek disekolah, gua nggak bisa liat lo deket sama Tiya, gua cemburu. Gua yang bodoh nolak lo saat itu. Maafin gua, lo boleh benci gua silakan, tapi jujur perlahan gua sadar gua nggak bisa bohongin perasaan ini. Gua juga suka sama lo.” Faray terkekeh mendengar kejujuran Vierna kepadanya. Ia tersenyum sekaligus bahagia.
“Apaan sih, Vier. Gua kan mau bilang Gua laper, bukan mau ngomongin itu.” Sekali lagi Faray terkekeh melihat wajah Vierna yang mulai cemberut di buatnya.
“Tuhkan ngeselin. Bodoh banget sih gua langsung nyerocos ngomong gini. Duh, pasti ilfeel banget ya sama gua.” Faray menggeleng. “Tidak sama sekali Vier.”
“Jadi sekarang kita gimana?” tanya Faray. Dan Vierna hanya mengangkat bahu pertanda terserah kamu. Keduanya tersenyum, kisah baru akan mulai mereka jalani sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mars & Pluto (Sudah Terbit)
Teen FictionPernahkah kalian merasa bahwa dunia ini tidak begitu adil, kebohongan bertebaran dimana-mana, kenyataan pahit yang diterima. Kisah ini mungkin tak akan habis, tak akan musnah. satu persatu mereka datang silih berganti. Kenyataan yang tak pernah ku t...