Dendam

53 8 0
                                    


Semesta memang selalu menyembunyikan semua rahasia dengan sempurna, tapi kapan akan terungkap semuanya itu hanya semesta yang bisa menentukan. Kenneth, Faray, Ayu, Vierna dan Tiya mereka adalah salah satu pemain dalam permainan yang diciptakan semesta dengan kecemasan mereka masing-masing. Vierna yang sejak tadi tak henti-hentinya menghubungi Winia tak kunjung berhasil, Nihil dan semuanya mustahil. Seakan ada penyesalan tersendiri di muka Kenneth, dia berkali-kali memuku pahanya untuk melampiaskan amarahnya, ada rasa dendam dan juga amarah yang begitu meluap dalam dirinya. Lima rasa yang berbeda, berbaur menjadi satu di sebuah mobil yang penuh kecemasan yang sama. Sementara tak jauh dari mereka, seseorang tertatih-tatih memasuki gedung itu sembari berteriak sekuat tenaga. Winia yang sayup-sayup mendengar suara itu mencoba meronta melepaskan ikatan tali ditangannya, ia tak mampu membalas teriakan itu, mulutnya terbungkam, ingin rasanya ia berteriak aku di sini. Namun semuanya seakan mustahil, Zain hanya tersenyum bangga karena semua kelinci yang ia incar sudah masuk dalam jebakan yang ia siapkan.
Zain meraih Wajah Winia dengan kasar, dihadapkannya kearah dirinya, jarak wajah Zain dan Winia hanya sejengkal saja, napas memburu Zain pun seakan terasa hangat dan penuh dengan ambisi “Lihat Winia, seberapa bodoh mereka menyelamatkan orang seperti lo?”
“Dan sebentar lagi, lo akan lihat betapa sakitnya menyaksikan orang yang lo sayang akan menderita di depan mata lo sendiri. Cerita ini akan segera berakhir Winia, tak ada cerita yang berakhir dengan bahagia, semua itu bohong. Hal yang menyakitkan nyatanya akan lebih seru dan akan lebih di minati seluruh manusia, dan lo akan berakhir seperti itu, menyakitkan, gua akan buat lo nggak lupa dengan semua ini. Lo denger, suara itu, suara yang dengan lantang memanggil nama lo, dia target pertama gua buat membuktikan bahwa gua bisa lebih kejam dari pada binatang buas.” Dilepaskannya wajah Winia dari genggamannya. Zain menjauh meninggalkan Winia, namun langkahnya terhenti sejenak. “Selamat Menikmati Winia.” Zain benar-benar berlalu meninggalkannya dalam ikatan di Kursi yang sudah cukup tua, sementara di seseorang masih dengan lantang memanggil namanya. Kali ini Winia berharap orang itu pergi dari tempat ini, ia  tak ingin ada yang celaka, dengan sekuat tenaga berusaha melepas ikatan di tangannya namun tetap tak bisa. Seseorang itu kini sudah di depannya dengan pakaian yang masih sama saat terakhir mereka bertemu, wajahnya sangat letih sayu tak bertenaga. Ada rasa gembira saat melihat Winia berada di depan matanya, bergegas ia mendekati Winia dan Winia semakin meronta-ronta memberikan isyarat agar dia pergi dari tempat ini.
“Winia.” Ujarnya dengan langkah yang masih tertatih-tatih.
“Pergi-pergi sekarang.” Teriak Winia dalam hatinya, kini air mata itu telah jatuh Winia tak ingin semua ini terjadi begitu saja, ia tak ingin Zain berhasil melaksanakan aksinya. Sekali lagi Winia mencoba berteriak, dan tetap gagal. Seseorang itu sudah tepat di depannya. “Mengapa kamu seperti ini?” Ujarnya menatap Winia, perlahan ia mencoba melepas penyumpal mulut Winia.
“Kenzo, gua mohon lo pergi sekarang dari sini!” Winia memohon dan air mata itu semakin deras mengalir di pipinya. Kenzo menggelengkan kepalanya.
“Kenzo cepat pergi sekarang gua mohon!!”
“Tidak tanpamu Winia.” Ujar Kenzo berlutut menghapus air mata Winia. Dan tanpa Kenzo sadari, Zain sudah berada tepat dibelakangnya. “Bagiamana? Sudah puas dengan dramanya? Sudah puas berlaga layaknya film india yang menyelamatkan kekasihnya dengan berkata-kata majas yang penuh kemunafikan?” Kenzo dengan cepat membalikkan badannya dan melindungi Winia.
“Apa mau kamu?” Ujar Kenzo dengan suara meninggi.
“Nggak usah buang-buang tenaga buat teriak-teriak. Percuma, lo itu makhluk lemah sekali gua pukul lo juga bakalan terkapar tak berdaya.”
“Zain, gua mohon jangan Kenzo. Zain please!” Air mata itu semakin deras mengalir dan penuh akan permohonan.
“Lo kira gua bakalan nurutin apa mau lo Winia? Hah, No, nggak bakalan pernah.” Zain menuding Winia dengan balok kayu yang ia bawa ditangannya. Zain menarik lengan Kenzo “Dan lo, bocah lemah yang hanya bisa bersembunyi di ketiak bokap lo doang, kali ini lo bisa buktikan kepada seluruh dunia bahwa lo laki-laki sejati.”
“Lawan gua!” Diserahkannya balok yang ia bawa ke Kenzo.
“Kenn, Gua mohon jangan. Lo harusnya nggak kesini Ken, gua mohon jangan!” Kenzo tak menggubris permohonan Winia.
“Kamu mau berkelahi dengan ku, oke. Aku terima.” Zain tersenyum puas, ini yang memang dia mau.
“Kalau lo bisa kalahin gua, lo bisa bawa cewek itu pergi dari sini, tapi kalau lo kalah, lo berdua harus jadi sandra gua.”
“Pukul!” Zain melepas genggaman tangan dilengan Kenzo. Dengan kuat tenaga Kenzo mengayunkan balok itu kearah Zain, hal itu berhasil di tangkis Zain. “Cuman segini?”
“Pukul lebih keras Kenzo, tunjukkan lo bukan pecundang!” Kali ini nada Zain sedikit meledek. Kenzo kembali bangkit dan mengarahkan balok kayu itu kearah Zain dengan sekuat tenaga dan Zain memulai aksinya, Kenzo ditendang sangat keras hingga tersungkur ke lantai yang penuh dengan debu, Winia berteriak histeris.
“Zain mau lo apa, gua bakalan turutin asal lo lepasin Kenzo, jangan sakiti dia.” Zain tak menggubrisnya, ia mendekat dan kembali memegang wajah Winia dan di arahkannya ke arah Kenzo yang tersungkur kesakitan.
“Gua nggak mau banyak, gua cuman pengen lo liat betapa menyakitkannya kan melihat orang yang kita sayang harus tersakiti di depan mata kita sendiri.” Kembali Zain melepas wajah Winia dan menghampiri Kenzo. Di tariknya kerah baju Kenzo, hingga dia setengah berdiri. Lemah tak berdaya. “Lo tau butuh betahun-tahun gua merancang semua ini. Dan kali ini gua ngerasa menjadi pemenang seutuhnya, gua tahu Tuhan selalu berpihak kepada seseorang yang tersakiti, Tuhan tahu mana yang benar-benar perlu di musnahkan.”
“Tapi apa salah kita?” Tak membalasnya Zain kembali memukul perut Kenzo dengan sekuat tenaganya, darah segar resmi mengalir dari mulut Kenzo.
“Zain gua mohon cukup!”
“Gua rasa belum Win, lo belum lihat adegan yang lebih menegangkan dari ini.” Zain mengakat tubuh Kenzo yang sudah benar-benar lemah tak berdaya, tak mampu berkata-kata wajahnya semakin pucat menahan sakit. Zain meletakkan Kenzo tak jauh dari Winia, diikat di kursi yang penuh debu juga tua. Zain mengambil ponsel di sakunya. Ia menelpon seseorang, dan ketika panggilan itu sudah tersambung ada nada ancaman di balik cara bicara Zain.
“Lo cari Winia, heh. Masih sayang lo sama nyawa dia?” Ia nampak tersenyum mendengar jawaban dari seseorang diseberang sana.
“Sepertinya sebelum lo bunuh gua, lo bakalan kehilangan seseorang yang sangat berarti bagi lo. Sama seperti saat lo kehilangan ibu lo.” Winia tercengang mendengar itu, sama halnya juga yang dirasakan Kenzo. “Kenneth” Ujar Kenzo lemah tak mampu berteriak.
“Sayangnya Winia terlalu berharga untuk gua sakiti, tapi kalau makhluk yang satu ini, gua yakin lo bakalan lemah.” Kali ini Zain berbalik arah menatap Winia dengan senyum puas karena perangkap selanjutnya sudah siap ia lakukan.
“Gua tunggu lo sejam lagi di tempat ini, jangan sampai orang yang benar-benar berharga buat lo, bakalan merenggut ajalnya.” Zain mematikan panggilan dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celananya.
“Lihat Winia, lo berhasil mengantarkan gua pada kejayaan dan kebahagiaan gua sebenarnya. Nggak salah gua deketin lo sejak awal.” Zain menatap Winia dengan rasa bangganya.
“Bangsat lo Zain.” Maki Winia dan dibalas tamparan menyakitkan dari tangan Zain.
“Seandainya mulut lo bisa diam sebentar saja sampai permainan ini selesai, lo nggak bakalan gua sakiti, tubuh lo terlalu indah buat gua sakiti sekarang.” Kali ini tangan Zain sudah resmi menjalar di wajah Winia, Winia memalingkan wajahnya.
“Jangan sakiti dia.” Ujar Kenzo lemah.
“Menurut mu Ken, harus ku apakan wajah cantik ini?” Zain kembali memancing emosi Kenzo yang sudah semakin lemah.
“Zain, lepasin dia sekarang !” Teriak Kenzo kencang dan kembali melemah.
“Tak akan terjadi sayangnya.” Zain menjauh pergi. Entah apa lagi rencananya sekarang. Di tempat itu hanya tinggal Winia dan Kenzo. Kenzo yang semakin melemah berusaha berkata dan memohon maaf kepada Winia.
“Maaf Winia, ini salahku. Tak seharusnya kamu berada di sini dalam keadaaan seperti ini.”
“Ini bukan salahmu, seharusnya kau tak di sini. Kenapa kau datang Ken.” Jawab Winia yang masih menangis menyaksikan Kenzo yang babak belur tak berdaya.
“Siapa yang akan tega membiarkan kekasih hatinya tersakiti di sini oleh orang yang tak punya hati. Mendengar nama mu saja aku sudah sangat takut kamu terluka Win, aku tak ingin sesuatu terjadi pada mu. Aku nggak mau penyesalan itu terulang kembali.”
“Dan lo pikir sekarang gua nggak ngerasa menjadi orang yang bodoh, ngeliat lo di tendang di sakiti seperti itu di depan mata gua. Lo bodoh Ken, ini semua jebakan. Dan sebentar lagi gua yakin Kenneth adalah korban selanjutnya.” Winia menunduk merasa bersalah dengan kejadian hari ini.
“Maafkan semuanya Win.”
“Aku mohon jangan dibahas sekarang.” Ujar Winia. Mereka hening sejenak, hingga suara mobil terdengar keras di luar gedung. “Oh tidak” Ujar Winia was-was.
***
“Gua nggak tahu tempat apa ini, kenapa penculik selalu memilih tempat kayak gini sih? Sekali-kali di hotel dong, biar keren.” Ujar Tiya turun dari mobil sembari memperhatikan seluruh gedung itu.
“Kenneth, gua rasa kita harus hati-hati bisa jadi ini adalah jebakan.” Ujar Ayu waspada.
“Gua juga tadi mikirnya gitu, tapi Winia?” Ujar Kenneth.
“Jangan gegabah.” Tambah Vierna.
“Kita masuk sekarang, rame-rame lebih aman.” Ujar Faray. Mereka berlima pun menaiki satu persatu tangga gedung itu dengan hati-hati dan juga was-was. Sementara tak jauh dari itu mereka sudah diawasi oleh Zain. Senyumnya semakin sinis dan bertenaga untuk segera memulai permainannya. Dan sebuah penyesalan masa lalu akan kembali terungkap, semuanya akan terbongkar dengan sendirinya. Kisah yang tak akan pernah mereka duga sebelumnya. Dan inilah kepahitan dunia yang sebenarnya.

Mars & Pluto (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang