Rekatnya Ratakan lama

42 7 0
                                    

Ruangan itu masih menyisakan dua orang yang terbaring lemah, tak berdaya. Denyut nadi yang sama, napas yang sama, bahkan aliran darah yang sama. Selaras mengisyaratkan suatu hal yang tak asing bagi mereka yang melihatnya. Kenzo dan Kenneth terpisah untuk waktu cukup lama, namun tak ada diantara mereka yang saling melupakan. Kenneth yang sangat menyayangi kakaknya, berlebih saat ibu mereka meninggal. Kebencian kepada sang Ayah membuatnya enggan untuk selalu tinggal bersama Kenzo. Dengan berat hati ia harus memilih menjauh dan tak menunjukkan diri pada saudara kembarnya itu.
Perlahan pintu ruangan itu terbuka, wajah yang penuh guratan menandakan usianya tak muda lagi. Wajahnya sendu, seakan penuh akan penyesalan yang tak kunjung usai. Matanya merah, sisa-sisa menangis ditempat sunyi agar tidak ada siapapun yang tahu. Perlahan ia duduk diantara keduanya. Menunduk, bingung ingin berucap apa, bingung ingin melakukan apa.
“Ayah.” Ujar Kenzo yang tanpa ia sadari telah sadar dari tidurnya yang cukup lama. Ia memalingkan wajahnya. Memegang tangan Kenzo, penuh arti, tangannya gemetar tak percaya, melihat wajah anaknya yang kian hari kian memucat, kian tak bertenaga. Ia menatap Kenzo lekat-lekat hingga membuatnya bingung.
“Ayah kenapa?” Tanya Kenzo yang masih lemas belum bertenaga. “Ayah nangis?” Hal yang sangat tak dipercaya Kenzo, seseorang yang selalu nampak tegar, selalu nampak arogan. Dia bisa menangis, dan ini adalah air mata pertama yang disaksikan Kenzo keluar dari mata sang Ayah.
“Ma-maafkan Ayah, nak.” Kenzo menggelengkan kepala. “Maaf untuk apa? Ayah nggak salah.” Kali ini sang Ayah menggeleng dengan tangisan yang mulai meluap, menyisakan sesegukan yang sedikit menggema di dalam ruangan itu.
“Tidak Kenzo, Ayah adalah Ayah yang paling tidak berguna di muka bumi ini, ayah adalah orang yang paling tidak tahu diri nak. Ayah banyak salah, begitu banyak kesalahan yang Ayah lakukan kepadamu, adikmu bahkan juga ibumu. Andai saja, andai saja  saat itu Ayah tidak mengacuhkan ibumu, mungkin kita masih hidup bahagia dengannya sekarang disini nak. Andai saja Ayah tidak berlaku kasar kepadanya. Ayah menyesal. Bahkan jika bukan karena Ayah, mungkin kamu dengan Kenneth bisa hidup berdampingan sejak dulu, kalian bisa saling menjaga, saling menyayangi. Ayah kurang perduli dengan kalian. Pantas jika Kenneth sangat membenci Ayah, Ayah penyebab kematian ibumu. Ayah yang seharusnya Mati bukan dia Kenzo.” Air mata itu semakin menjadi, sejujurnya bukan ungkapan ini yang ingin Kenzo dengar saat ia bangun dari tidurnya. Tapi apa, sebongkah demi sebongkah kebenaran dan penyesalan dengan sendirinya terlepaskan, terhempaskan hingga menyebar menyadikannya luka dan kepahitan.
“Bahkan jika bukan karena Ayah, mungkin kau tak akan sakit seperti ini, ayah selalu mengabaikan mu, ayah selalu tak menghiraukanmu saat sakit, saat pertama kali kamu mengeluh pusing, mual-mual dan apapun yang menurut ayah hanya sakit biasa. Ayah mengabaikanmu nak.” Masa-masa itu terulang kembali, dimana saat Kenzo merasakan tubuhnya benar-benar sakit, migran di kepala yang tak kunjung sembuh, nyeri di dada yang tak bisa ia luapkan rasa sakitnya kecuali dengan teriakan. Sesekali ia menghampiri sang Ayah, mengeluh sakit yang ia rasakan. Tapi apa, jawabnya selalu sama. “Minta bibi belikan obat diwarung sana, mungkin kamu kecapekan.” Tak ada ekspresi khawatir, tak ada mata yang menyelidiki seluruh tubuhnya, hingga saat itu tiba, saat napas Kenzo tak bisa teratur, darah mengalir begitu saja dari hidungnya, ia pingsan, pingsan di dalam kamar mandi yang sangat dingin. Dan akhirnya ia dibawa ke rumah sakit. Disini kebenaran terkuak, bahwa itu bukan sakit biasa, bukan karena kelelahan. Tapi penyakit yang mematikan. Entah, apakah akan ada kesembuhan.
“Andai saja saat itu ayah, tak mengabaikanmu nak, mungkin saat ini aku bisa sembuh, tanpa harus menanggung rasa sakit itu sendiri.” Kenzo menggeleng. Ia ikut menangis.
“Ayah, ini bukan salah Ayah. Ken senang Tuhan memberikan Ken sebuah penyakit. Dengan seperti ini Ken menjadi lebih bersyukur akan kehidupan yah.” Kenzo yakin perkataanya ini tak akan mampu membuat hati ayahnya tenang.
“Bahkan kejadian kemarin, semua itu juga berasal dari Ayah. Ayah telah gagal menjadi ornag tua yang baik untuk kalian berdua. Kalau bukan karena ayah, kamu tidak mungkin seperti ini nak, bahkan adikmu tak mungkin akan terbaring lemah disana. Ayah benar-benar minta maaf. Kalian berhak membenci Ayah.” Sekali lagi, Kenzo menggelengkan kepalanya.
“Sampai kapanpun, Ayah adalah Ayah kita berdua. Ayah adalah orang yang terbaik yang kita punya. Dan hanya Ayah yang kita punya sekarang. Ayah jangan menangis lagi. Ken mohon. Kita mulai dari awal lagi, kita buat keluarga ini menjadi keluarga yang bahagia seperti dulu. kita buat Almarhum ibu bangga dengan kita yah.” Kenzo tersenyum memerhatikan wajah sang Ayah yang penuh dengan Air mata, dipeluknya ia, sangat erat. Sementara seseorang diruangan itu juga meneteskan air mata, tangannya menggenggam. Ingin ia juga bergabung untuk berpelukkan, tapi rasanya itu tak perlu. Ia hanya bisa bersyukur, bahwa keluarga ini akan kembali seperti keluarga yang dulu mereka bangun, penuh dengan kebahagiaan. Ia tahu, hatinya belum memaafkan sang Ayah, tapi satu orang yang ia sayang harus ia pertahankan saat ini. Tak lagi ada perpisahan menyakitkan. Sudah cukup, masa-masa itu ia lalui sendiri. Dan kali ini, hal itu tak boleh terjadi lagi.
***
Suasana ruangan itu masih masa seperti sejam lalu, penuh dengan canggung, saling diam, ingin bersua namun enggan untuk memulai. Winia masih sibuk dengan makanan yang ia kunyah, sesekali Mamanya mengelus rambut Winia. Namun tetap sama, tak ada pembicaraan diantara mereka. Kecanggungan ini bermula saat Ayah Winia terbatuk serak karena kehausan. Mulanya Mama hanya diam tak menghiraukan, tapi rasa iba itu tiba-tiba muncul begitu saja. Dengan berat hati Mama memberikan segelas air minum untuk Ayah. Ayah tersenyum namun tak ada balasan dari Mama. Ia memutuskan kembali fokus pada Winia.
Merasa tak nyaman dengan kesunyian ini, Winia mencoba memulai pembicaraan. “Ma, Winia kapan boleh pulang?” Mama tersenyum ke arahnya, dan kembali memberikan daging apel yang sudah terpisah dari kulitnya.
“Besok sayang, besok kamu sudah boleh pulang.” Kali ini Winia memandang Ayah.
“Ayah?” Mama hanya diam belum menjawabnya.
“Sepertinya Ayah juga besok bisa pulang nak.” Ujar Ayah yang masih berbaring di seberang Winia.
“Benar Ma?” Winia mencoba mencari kebenaran, Mama hanya mengangguk tersenyum. “Berarti Ayah besok bisa pulang kerumah?” Dengan nada gembiri Winia mengucapkan itu, sesuatu yang sangat ia tunggu-tunggu sejak lama.
“Tapi Winia.” Nada bicara Mama menegas. Winia sempat tertegun dengan nada bicara Mamanya ini. “Kenapa Ma? Bukankah kita sudah berjanji mau menerima Ayah kembali?”
“Tidak untuk sekarang Winia, mungkin Mama bisa menerimanya kembali, tapi tidak untuk pulang kerumah.”
“Ma!” Mama tetap tak menghiraukannya. Kecuali air mata yang perlahan menetes menjawab kebisuan seorang ibu yang masih patah hati karena seorang pria yang sangat ia sayangi.
“Apa Winia lupa, betapa sakitnya Mama saat Ayahmu berlaku seperti itu ke Mama. Apa kau lupa nak? Mama menangis berhari-hari, tidak beraktifitas, tidak makan, Mama hanya mengurung diri di kamar, bahkan Mama mengunci pintu. Mama masih ingat Winia menggedor-gedor pintu Mama, masih ingat tangisanmu di depan Kamar Mama. Mama butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali tegar nak. Dan tidak semudah itu untuk menerimanya kembali kerumah itu.” Mendengar pernyataan itu Ayah hanya tertunduk malu, merasa bersalah, seakan dirinya adalah manusia yang sangat hina, ia tak mengira jika istrinya begitu terluka.
“Bahkan sampai sekarang Mama masih sangat ingat, betapa pahitnya Malam itu, Ayahmu membuang kita berdua nak. Hanya demi perempuan yang kita tidak tahu asal usulnya. Perempuan yang tega memperlakukan perempuan lain seperti ini, seakan dia tak punya hati. Maaf Winia Mama tidak bisa.” Mama meletakkan pisau dan separuh buah apel itu ke meja, dan bergegas pergi.
“Ma-Mama!” Teriak Winia berusaha mengejar Mamanya.
“Biarkan Winia, biarkan Mamamu menenangkan dirinya terlebih dahulu.” Ujar Ayah yang juga meneteskan air mata saat itu.
“Tapi, Yah.”
“Percayalah, Mama akan baik-baik saja. Mama hanya belum bisa menerima kenyataan saja. Biarkan Mama sendiri dulu sekarang. Itu yang terbaik buat Mamamu sekarang nak.” Winia mengurungkan langkahnya, namun tidak dengan hatinya. Ia masih merasa khawatir, merasa gundah, Mamanya perlu seseorang untuk menguatkannya.
Mama berlari menuju sebuah tempat duduk yang tak jauh dari tempat Winia dan Ayahnya di rawat. Ia menangis tersedu-sedu, tak perduli beberapa mata memandangnya, beberapa suster mencoba menegurnya. Nihil, ia hanya butuh ketenangan, kesendirian. Hanya menangis yang bisa membuatnya tenang sekarang.
“Gunakan ini untuk menghapus air matamu.” Seseorang mendekat dan menyodorkan sebungkus Tisu yang masih tersegel rapat. Sosok yang seharusnya juga ia benci.
“Aku tahu itu menyakitkan. Seseorang yang sangat kamu cintai harus pergi dengan seseorang yang tak jauh lebih sempurna dari mu.” Ujar Ayah Kenzo kepadanya.
“Jika kamu disini hanya ingin menambah kesedihanku, sebaiknya kamu pergi.”
“Tidak Laras, tidak sepatutnya kamu benci kepada suamimu. Yang patut kamu benci adalah Aku. Aku penyebab semua ini terjadi, andai saja saat itu aku tak mempertemukannya dengan perempuan itu, hal ini tak akan pernah terjadi. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, aku tak bisa mengulangi masa lalu itu, dan merubahnya menjadi lebih baik. Dia sama sekali tidak bersalah. Aku yang mencoba menghasutnya untuk bersama dengan perempuan itu. Aku tahu, hatinya hanya untukmu. Saat itu sebelum kejadian malam itu, aku meminta dia untuk pergi dari rumah, aku meminta agar dia meninggalkanmu. Dia menolak Laras, ia tidak pernah menginginkan hal itu terjadi. Tapi apa hanya karena demi kekayaan aku mengancamnya, mengancam dengan keselamatan nyawa kalian berdua, kau dan Winia anakmu.” Ia menghembuskan napas panjang.
“Aku sengaja melakukannya, kinerja suamimu dikantor sangatlah bagus, beberapa kali ia dinaikan jabatannya, semnatara aku. Selalu menjadi nomer dua. Aku iri, berbagai cara aku lakukan akan mendapatkan posisi itu tapi selalu gagal. Dan aku teringat dengan perkataan seseorang, bahwa kelemahan laki-laki adalah wanita. Sejak saat itulah Aku mengenalkannya dengan perempuan itu. Aku berusaha mengacaukan pikirannya, aku rusak rumah tangga kalian agar kinerja suamimu menurun. Dan benar hal itu berhasil. Aku berhasil membuatnya lengah dan nampak bodoh dihadapan atasan kita.”
“Tapi siapa sangka, hal ini akan menjadi malapetaka bagi banyak orang, terutama anakku sendiri. Laras kembalilah, suamimu masih sangat mencintainya, kalau kau tahu. Sedikit pun ia tidak pernah berani menyentuh perempuan lain. Bahkan dengan perempuan itu pun hanya sekedar singgah, dan rasa ibanya terhadap Zain. Zain sudah menganggapnya sebagai Ayah yang ia rindukan. Hal ini yang membuat suamimu bimbang.”
“Aku mohon, terima suamimu kembali.” Ia beranjak dari tempat duduknya, dan pergi. Rasa lega, rasa syukur mampu menyampaikan kebenaran. Rasa kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan. Kini ia merasakan semua itu dalam sekali ucapan menyakitkan. Retakan ini sudah ia kembali rekatkan. Ia meninggalkan Laras Mama Winia dengan Air mata yang tak bisa diprediksi, apakah kesedihan atau sebuah kebahagiaan akan kebenaran. Retakan itu perlahan akan kembali menjadi satu, utuh, dan tak akan terlepas lagi, hingga sang waktu benar-benar memisahkannya.

Mars & Pluto (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang