AKRESHA. 10

5.4K 384 27
                                    

Jangan kembali jika hanya mau menorehkan luka lagi. Dan jangan meminta untuk bertemu jika hanya ingin memberi tahu sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya bisa membuatku merasakan sakit hati, lagi.
-AE-

Esha berangkat lebih pagi dari biasanya. Perempuan itu jalan kaki menuju jalan raya untuk menunggu angkutan umum yang akan ia naiki. Dengan berjalan kaki kurang lebih hampir sepuluh menit, ia sampai di jalan raya. Berdiri di trotoar jalan sambil menunggu angkutan. Kini jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

Ia mengedarkan pandangannya ke sebelah kanan. Dan melihat angkot mendekatinya. Esha melambaikan tangannya. Angkot itu berhenti. Ia langsung memasukinya.

Alasan kenapa Esha berangkat lebih awal dari biasanya itu karena ia harus ke bengkel terlebih dahulu untuk mengambil sepedanya yang masih berada di sana. Ia tak mau jika sepeda kesayangannya itu berada di bengkel terlalu lama lagi. Ia tak bisa ke mana-mana jika tanpa sepeda itu.

Naik angkot selama sepuluh menit, Esha akhirnya turun. Setelah membayar ongkosnya, ia berjalan mendekati bengkel yang sudah buka di pagi hari ini.

"Assalamu'alaikum," ucapnya kala melihat Bapak pemilik bengkel itu sedang merapihkan bengkel. Esha dapat melihat jika sepedanya sudah berada di luar dan sudah pasti selesai dibetulkan.

Bapak itu menoleh dan menjawab salam. "Wa'alaikumsallam. Eh, ini Eneng manis yang kemarin, ya? Mau ngambil sepedanya kan?" Bapak yang bernama Hadi itu berjalan mendekati Esha.

Esha mengangguk dan tersenyum. "Iya, Pak. Maaf ya, seharusnya saya ke sini kemarin sore. Cuma karena ada sesuatu jadi gak bisa ambil tepat waktu."

Pak Hadi mengibaskan tangannya. "Gak papa atuh, Neng. Sebentar, bapak ambilkan dulu sepedanya."

Setelah mengambil sepeda, bapak itu menyerahkannya pada sang pemilik--Esha. Esha memegang setir sepedanya.

"Jadi semuanya berapa, Pak?"

"Dua puluh ribu, Neng."

Esha mengambil uang yang ada di sling bagnya yang ia pakai. Menyodorkan dua lembar uangc berwarna hijau pada Pak Hadi dan langsung disambut olehnya. Pak Hadi mengernyit saat melihat uangnya ada empat puluh ribu--yang seharusnya hanya dua puluh ribu saja.

"Lho, Neng. Ini kelebihan. Cuma dua puluh, bukan empat puluh." Pak Hadi menyodorkan satu lembar uangnya kembali pada Esha. Dan ditolak oleh perempuan itu.

"Buat bapak aja, karena bapak udah mau ngejagain sepeda saya semalam. Makasih ya, Pak. Saya permisi. Assalamu'alaikum."

Setelah mendengar ucapan terima kasih lagi dari Pak Hadi dan jawaban salam, Esha langsung mengayuh pedal sepedanya menuju tempat kerja.

Sepuluh menit kemudian, Esha sampai. Ia menaruh sepedanya dengan benar. Dan memasuki Cafè yang sudah ada Dinda dan juga Ibam. Lonceng Cafè berbunyi kala ia membuka pintu. Seraya mengucapkan salam dan memberikan senyuman terbaiknya, Esha melenggang pergi ke belakang untuk menaruh sling bagnya dan mengambil apron.

"Sepeda kamu udah selesai dibenerin belum, Sha?" tanya Dinda saat melihat Esha sudah memakai apronnya dan memegang sapu. Ibam sedang mengelap dan merapihkan meja dan kursi.

Esha menoleh pada Dinda yang sedang merapihkan tempat kasir. "Udah, Mbak. Tadi udah aku ambil sekalian berangkat," jawabnya.

Dinda membulatkan bibirnya. "Terus, tadi malem kamu pulang sama siapa? Nggak sendirian kan?" Pasalnya, yang Dinda tahu, kemarin malam Esha mempunyai janji terlebih dahulu dengan temannya, katanya seperti itu. Dan Dinda tidak tahu, Esha pulang dengan siapa kemarin.

Esha mulai menyapu dengan telaten. "Sama Mas Akbar."

Alis Dinda menekuk, bingung. "Akbar? Laki-laki yang kemarin nyari kamu bukan?"

"Iya, dia orangnya, Mbak."

"Kalian temen? Atau ada hubungan apa gitu?"

Ibam yang sedari tadi mendengar itu menyeletuk sambil terus mengelap meja. "Mbak Dodol kepo, deh! Mau tahu aja. Heran Ibam sama Mbak Dodol."

Esha terkikik geli mendengar itu. Dinda langsung memberikan tatapan horornya pada Ibam yang saat ini malah bersiul tidak jelas.

"Diem kamu. Dasar Bambang!"

Ibam mendengus sebal. "Ibam aja, Mbak. Ibam," ingatkannya pada Dinda yang sering memanggilnya dengan memakai nama aslinya, Bambang.

"Ibam, gak boleh gitu, lho. Nama Bambang kan, nama yang orangtua kamu kasih buat kamu. Masa kamu maunya dipanggil Ibam. Huruf I-nya itu dari mana?" Esha sambil geleng-geleng kepala.

"Ya ... dari matamu, matamu, ku mulai,"

Tringg

"Jatuh cinta," sambung Gilang. Lonceng Cafè tadi berbunyi dan itu karena Gilang yang membuka pintu.

Ibam yang melihat Bos-nya datang itu memberikan senyum terbaiknya. Dinda yang melihat itu hanya mencibir saja. Esha menyapa Gilang dengan ramah.

"Eh, Pak Gilang. Shobahul khoir," sapa Ibam.

Gilang memberikan satu jempolnya pada Ibam. "Shobahunnur. Kerja yang bener," sahutnya. Lalu melangkahkan kaki menuju ruangannya. Melewati Esha, tapi laki-laki itu berhenti dan berdiri di samping Esha. Memberikan jarak.

"Kayaknya ada yang bakal nebar undangan pernikahan, nih. Ditunggu, ya. Semoga lancar sampai hari H."

Esha menoleh pada Gilang. "Bapak ngomongin siapa?" tanyanya bingung.

Gilang berlalu begitu saja sambil berbicara. "Sama kamu lah, Esha! Tunggu aja. Gak lama lagi bakalan ada yang ngajak kamu nikah."

Gak jelas, batin Esha.

°°°

085...
Assalamu'alaikum. Kamu ada waktu luang? Aku mau ketemu. Nanti aku kasih tahu tempatnya. Ini aku, Hasan.

Esha langsung bangun dari tidurnya. Tadi, ia sudah pulang kerja dan sedang istirahat di kamar. Caca sudah tidur di kamarnya setelah belajar. Dan Esha memilih beristirahat di kamarnya setelah mengunci pintu dan mematikan lampu-lampu rumah.

Tanpa disangka, satu pesan masuk dari orang yang tak pernah ia duga sebelumnya akan mengiriminya pesan atau kabar, saat ini malah memintanya bertemu? Hasan waras atau tidak?

Esha menatap sederet kalimat itu dengan terkejut. Jantungnya berpacu dengan cepat. Ia langsung mematikan ponselnya dan menaruh di atas nakas. Merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan selimut yang sudah menutupi tubuhnya sampai perut. Esha memeluk boneka keropi kesayangannya.

"Apalagi ini, Ya Allah."

Matanya menatap langit-langit kamar yang polos.

"Aku belum mau ketemu Hasan. Aku gak siap. Dan aku gak tahu kapan aku akan siap."

"Hasan yang minta aku pergi. Hasan juga yang memutuskan hubungan kita sebagai sahabat. Terus, sekarang Hasan juga yang minta ketemu?"

Esha mendesah berat. Ia lelah bekerja untuk hari ini, karena tadi Cafè lebih ramai dari biasanya. Dan saat ia pulang, ia malah mendapatkan pesan seperti itu dari orang yang--dalam hatinya sudah tidak ingin ia temui. Walau sebentar saja.

"Ini mah sama aja merobek paksa luka lama kalau jadi ketemu. Aku harus apa ini?"

•••

Jangan lupa vote dan komennya ya :)

Share juga cerita ini ke teman-teman kalian.

See you :)

AKRESHA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang