AKRESHA. 12

4.7K 355 6
                                        

Bagiku, alasan untuk tidak mau bertemu denganmu lagi itu sudah jelas. Kalau aku memang tidak butuh kehadiranmu lagi di sisiku.
-AE-

Sinar mentari mulai datang. Tetesan embun masih menempel pada permukaan dedaunan. Ayam berkokok saling bersahutan. Dan aktivitas para manusia mulai berjalan seperti biasa kembali.

Di pagi yang cerah ini, dengan celmek yang masih menempel di tubuhnya, Esha menatap kalender yang ada di atas kulkas dapur. Perempuan itu sedang menghitung. Berapa hari lagi untuk ia akan bertemu dengan sosok yang ia harapkan tidak akan pernah memunculkan wajahnya lagi--setelah mereka bertemu nanti.

Sulit baginya untuk melupakan masa lalu. Sulit. Amat sangat sulit. Dan untuk bisa bangkit sekokoh ini--meskipun pada nyatanya ia masih rapuh--itu bukanlah hal yang mudah untuk ia lalui sendirian. Untuk seorang perempuan seusianya, untuk bisa berada di titik ini adalah pencapaian yang sangat disyukuri olehnya.

Ia tahu, Allah--yang Maha Pengasih--tidak akan membiarkan Hamba-Nya kesusahan. Ia yakin, Allah akan selalu ada untuknya. Membantu dirinya saat orang yang tersayangnya malah meninggalkannya begitu saja. Ia sangat yakin akan kebesaran Allah. Sampai pada akhirnya, ia berada di titik kebangkitan. Titik di mana ia bisa berdiri untuk melanjutkan hidupnya yang dilanda kehampaan, rasa sakit karena kehilangan, dan juga patah hati.

Esha tidak sadar. Perempuan itu malah melamun di depan kulkas sambil menatap lurus-lurus kalender yang ada di sana. Membiarkan tempe yang sedang ia goreng itu warnanya sudah berubah--hampir gosong. Bahkan ia tidak sadar kalau Caca sudah memanggil-manggil namanya. Saat gadis kecil itu menggoyangkan tangannya, ia baru sadar. Mengerjapkan matanya beberapa kali dan menundukkan kepalanya. Menatap Caca yang sudah rapih menggunakan seragam sekolah.

"Mbak dipanggil-panggil kok diem aja? Ngelamunin apa sih, Mbak?"

Pertanyaan adiknya belum sempat ia jawab. Hidungnya sudah terlebih dahulu mencium bau gosong. Seakan teringat sesuatu, Esha langsung menghampiri kompor. Dan mematikannya. Menatap wajan yang berisi tempe goreng gosong. Lalu meringis pelan.

Mengangkat tempe itu dan menaruhnya di piring, Esha menoleh pada Caca yang masih berdiam di tempatnya. Gadis itu memperhatikan kakaknya yang sudah memperlihatkan tempe gosong yang ada di piring ke arahnya.

"Gosong," ucap Esha.

Caca langsung tertawa. Dan tawa lucu yang keluar dari gadis itu menular pada sang Kakak. Esha ikut tertawa melihat hasil gorengannya sendiri. Ini semua karena ia tadi asyik melamun. Memikirkan sesuatu yang tidak jelas.

"Yah ... padahal gak ada bahan masakan lain, Ca. Mbak nggak beli sayur tadi. Kalo sekarang beli pasti nggak sempet. Makannya pakai nasi gorengnya aja nggak papa kan? Telur juga abis." Esha berujar. Menatap tidak enak pada Caca.

Gadis itu membulatkan bibirnya. "Nggak papa. Yang penting sarapan. Mbak, ada susu nggak?"

Esha mendesah. Persediaan di dapur sudah mulai habis. Gula tinggal sedikit. Susu tidak ada. Telur. Minyak. Dan kebutuhan dapur lainnya sudah mulai mengikis. Dan ia belum sempat membelinya lagi.

Ia menatap Caca dengan tatapan yang semakin merasa tidak enak. Rasa bersalah kini mulai menyerang. Ia merasa kalau dirinya tidak bisa diandalkan. Padahal itu kebutuhannya dan Caca. Tapi kenapa ia bisa sampai lupa untuk mengecek kebutuhan dapur yang sangat penting?

"Teh manis aja, gimana?" tawar Esha dengan ragu. Padahal ia tahu, Caca tidak terlalu suka teh manis. Gadis kecil itu lebih menyukai susu dan air putih.

"Air putih aja deh."

Ya sudah, Esha menarik senyumnya. Lalu menyuruh Caca untuk duduk di meja makan kecil dekat dapur terlebih dahulu. Sementara dirinya mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser di samping kulkas. Melepas celmek dan menyusul Caca yang sudah duduk manis di meja makan.

AKRESHA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang