Dengan satu piring martabak kacang, dua gelas teh manis, sepasang Ayah dan anak itu duduk berdampingan. Menatap layar televisi yang menayangkan sinetron Indonesia. Mereka masih sama-sama belum membuka suaranya.
Tadi, Akbar pulang jam delapan malam sampai rumahnya. Setelah membersihkan diri dan makan malam, ia menyusul ayahnya yang sudah duduk di sofa sambil memakan martabak yang ia beli sebelum pulang tadi.
"Yah?" pangil Akbar pada akhirnya membuka suaranya terlebih dahulu.
"Hm?"
"Abang mau konsultasi."
Fadil, sang Ayah langsung tersedak martabak. Menatap sebal pada Akbar yang sudah menampakkan cengiran lebarnya. Menyeruput tehnya terlebih dahulu agar tenggorokannya lebih enak. Setelah itu mulai fokus pada anaknya.
"Konsultasi apaan? Ayah ini bukan dokter! Nggak usah ngada-ngada deh."
Akbar mendengus. Bukan itu maksudnya. Bukan konsultasi masalah penyakit atau apa. Tapi ini masalah ... hati? Oke, Akbar sebenarnya tidak yakin kalau ia akan berkonsultasi masalah hati kepada ayahnya.
"Bukan itu. Abang mau konsultasi masalah hati."
"Apa?!"
Air liurnya sampai menyembur. Saking kagetnya.
Akbar mengusap wajahnya. "Astaghfurullah. Biasa aja dong, Yah," katanya.
"Ya lagian, siapa suruh ngomong asal ceplos kayak tadi? Maksud kamu konsultasi masalah hati itu apa? Oh-Ayah tahu! Pasti kamu habis ditolak sama perempuan yang kamu ajak nikah, ya? Atau jangan-jangan kamu belum bisa ngelupain masa lalu? Jadi, kamu mau minta saran sama Ayah karena patah hati?!"
Oke, ini lebay.
Akbar menatap cengo pada Ayahnya. Deretan kalimat yang ayahnya ucapkan tadi benar-benar di luar dugaannya. Dan seketika ia menyesal telah berkonsultasi pada pria yang umurnya berbeda jauh dengan dirinya.
"Ck, bukan Ayah! Bukan gitu!"
Fadil tertawa. "Oke-oke. Jadi apa?" Tawanya sudah hilang. Tergantikan dengan raut serius.
"Abang bingung. Kayak ada rasa mau melindungi, tapi masih ragu. Abang mau jadi tempat dia pulang saat dia merasa gak tahu lagi harus ke mana dan berlari ke siapa. Dia enggak setegar itu buat berdiri sendiri tanpa ada tangan orang lain yang mengulurkan buat bangkit. Ya, meskipun pada nyata Abang belum tahu masa lalu dia sepenuhnya itu kayak apa, tapi tetep aja ... Aduh, gimana sih ya! Perasaan Abang belum jelas. Makanya konsultasi sama Ayah."
"Bentar. Dianya itu siapa? Perempuan mana? Kayak gimana orangnya?"
"Esha." Akbar menyaut pendek.
"Esha? beo Fadil. "Maksud kamu Esha temen kecil kamu?" tanyanya memastikan.
Akbar menganggukkan kepalanya. Dan mulai bercerita, "Orangtuanya udah meninggal semua, Yah. Sekarang Esha cuma tinggal sama adiknya yang masih berumur tujuh atau delapan tahun. Di rumah yang besarnya cukup untuk mereka berdua tinggal. Harta keluarganya habis sewaktu perusahaan orangtuanya bangrut ditipu orang lain. Sekarang Esha cuma fokus ngebesarin adiknya, sambil kerja di Cafè milik sahabat Abang, si Gilang."
Fadil tersentak mendengar cerita itu. Ia membayangkan bagaimana kehidupan Esha semasa berada di titik terbawahnya. Titik yang memiliki cobaan terbesar dalam kehidupan perempuan itu. Bahkan semasa hidupnya selama ini, Fadil tidak pernah melalui cobaan sebesar itu.
"Terus, gimana lagi?"
"Tiap ngelihat senyumannya, Abang tahu, senyum itu melalui banyak kisah yang nggak gampang buat dilewatin. Tapi, Esha kuat. Dia bisa melalui semuanya sendirian. Dan Abang aja gak yakin kalau bisa kayak Esha.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRESHA (SUDAH TERBIT)
RomansaBerjuang untuk seseorang yang hatinya masih terpaku pada masa lalu itu memang tidak mudah. Tapi percayalah, jika kita memang benar-benar tulus padanya, selama atau sesulit apa pun memperjuangkannya, perjuangan itu akan terbayar penuh dengan kebahagi...