Matanya mulai terbuka. Ia mengerjapkan matanya. Saat matanya terbuka lebar, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit kamar yang berwarna putih. Sadar akan keasingan tempat yang saat ini ia lihat, ia melirik ke kanan dan kirinya.
Esha, perempuan itu sudah sadar dari pingsannya pada tengah malam. Ia bisa merasakan kalau ada sesuatu terpasang pada sebelah tangannya. Melirik ke arah tangannya, ia meringis. Selang infus ada di sana. Dan dirinya sudah tahu sedang berada di mana.
Ia menatap ke arah sofa yang ada di sebelah kirinya. Dekat dengan ranjang yang sedang ia tempati. Ia cukup terkejut karena menemukan adiknya yang tertidur pulas dengan selimut yang menutupi hingga batas dada. Dan juga seseorang yang tertidur dengan posisi duduk. Di bawah sofa.
Akbar. Seseorang yang tertidur di bawah sofa. Posisinya, kepalanya terkulai di sofa. Badannya miring. Sebelah tangannya berada di dekat kepala Caca. Penampilannya cukup berantakan. Dan Esha sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya beberapa jam yang lalu.
Mengalihkan tatapannya pada dua orang yang sedang tertidur pulas, ia menatap langit kamar. Termenung. Dan kemudian, rasa sakit itu menjalar memenuhi dada yang kian mulai sesak lagi.
Ia memiringkan tubuhnya ke kanan. Berusaha menahan isakannya agar tidak keluar.
Apakah sesakit ini merelakan orang yang kita sayangi?
Apa harus ia mengalami kejadian seperti ini lagi?
Seharusnya, ia bisa merelakan orang yang ingin pergi dari hidupnya dengan mudah, bukan?
Bukannya dirinya sudah terbiasa ditinggal pergi?
Tapi ini berbeda. Perihal kepergian Ayah dan Ibunya yang meninggalkannya untuk selama-lamanya dengan kepergian Hasan, itu semua berbeda.
Pada akhirnya, isakannya lolos. Suaranya memenuhi kamar inap yang ia tempati.
Hasan. Ia harus bisa mengikhlaskan lelaki itu. Ia harus bisa menghilangkan perasaan yang masih tersimpan untuk lelaki itu. Tapi, apa semuanya bisa ia lakukan? Apa semuanya akan mudah?
"Aku di sini. Kapanpun kamu butuh seseorang buat jadi sandaran saat kamu kayak gini, aku bersedia. Kamu nggak sendirian, Sha. Masih ada aku, dan yang lainnya."
Terasa usapan di kepalanya. Tangisannya makin pecah. Bahunya bergetar kencang. Tangisan pilu ia tumpahkan semua. Semuanya. Apa yang ia rasakan, ia tumpahkan dalam tangis itu.
"Kamu bisa cerita sama aku, kamu lagi kenapa dan gimana. Cerita apa yang kamu rasain. Tapi, kalau memang nggak bisa diceritain, nggak papa. Aku tahu, kadang suatu hal ada yang nggak bisa kita ceritain sama siapa pun."
Akbar menjauhkan tangannya. Melihat Esha seperti ini, ingin sekali ia memeluk perempuan itu. Membisikan kata-kata penenang. Juga mengusap air mata yang membasahi pipinya. Tapi, dirinya siapa?
Dalam hatinya, banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada perempuan itu. Tapi untuk saat ini, itu semua tidak penting. Yang paling utama adalah kesehatan Esha. Perempuan itu harus bisa kembali sehat seperti sedia kala.
Tadi sore, Akbar langsung meluncur ke rumah sakit. Tidak lupa juga mengabari Ayahnya. Bahkan dirinya belum berganti baju. Mandi saja tidak.
Setelah sampai di rumah sakit, ia langsung saja menuju UGD tanpa bertanya di resepsionis terlebih dahulu. Karena ia yakin kalau Esha pasti dilarikan ke sana. Dan ternyata benar. Sesampainya di sana, ia menemukan Caca dan satu orang wanita paruh baya yang ia tebak bernama Bu Maya.
Belum sempat Akbar menanyakan keadaan Esha, ia lebih dulu memeluk Caca. Menenangkan gadis itu agar tidak terus menangis. Di samping Caca, ada Bu Maya yang bertanya tentang siapa dirinya dan lain sebagainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRESHA (SUDAH TERBIT)
RomansaBerjuang untuk seseorang yang hatinya masih terpaku pada masa lalu itu memang tidak mudah. Tapi percayalah, jika kita memang benar-benar tulus padanya, selama atau sesulit apa pun memperjuangkannya, perjuangan itu akan terbayar penuh dengan kebahagi...