Free quote, otak lagi sakit hati.
Komen yang banyak buat menghargai, hm.***
Pagi ini, sepeda milik Esha yang biasa perempuan itu bawa ke manapun tiba-tiba kempes di jalan saat tengah menuju ke Cafe. Yang hanya bisa ia lakukan hanyalah menuntun sepedanya hingga melewati bengkel yang entah sudah buka atau belum di jam tujuh kurang sepuluh menit ini.
Sinar matahari sudah muncul di atas langit sana. Membuat sensasi hangat menerpa kulitnya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di depan bengkel yang sudah buka. Alhamdulillah, batinnya.
Esha langsung mengucap salam dengan posisi tubuhnya berdiri di samping sepedanya. "Assalamu'alaikum, Pak. Ini ban sepeda saya kempes. Mau tambah angin, bisa?"
Bapak pemilik bengkel yang tidak terlalu besar itu menjawab salamnya dengan ramah. "Wa'alaikumsallam, Neng. Bisa kok, tunggu, ya."
Kemudian Bapak itu mengambil alih sepeda milik Esha dan mulai menambahkan angin. Tapi, saat sudah diisi angin, ban sepedanya masih tetap kempes. Bapak tersebut mengisi kembali anginnya dan hasilnya tetap sama.
"Maaf, Neng. Ban sepedanya kayaknya bocor. Harus ditambal dulu, gak papa?" kata Bapak itu.
Esha melihat jam pada ponsel yang ia bawa di tas kecilnya. Pukul 7 pagi tepat, itu tandanya 15 menit lagi jam masuknya ke Cafe Hehe. Meskipun itu hanya Cafe, Gilang--pemilik Cafe itu disiplin. Seluruh pegawai Cafenya itu tidak boleh ada yang telat--kecuali alasannya memang sangat kuat.
"Ya udah, Pak, saya nitip sepedanya di sini ya. Nanti sore saya ambil lagi, tolong tambalin bannya, ya, Pak."
Esha kemudian mengeluarkan uang untuk membayar lebih dulu. Si Bapak itu sempat menolak, tapi karena alasan yang Esha berikan, akhirnya bapak itu mau menerimanya.
"Kalo gitu saya permisi ya, Pak." Kemudian ia pergi dari bengkel itu untuk menuju Cafe.
Esha berjalan menyusuri trotoar jalan raya yang banyak kendaraan berlalu lalang. Baik itu kendaraan roda dua ataupun empat. Ia mempercepat jalannya, masih ada sekitar 500 meter lagi jarak Cafe dengan tempat yang sedang ia pijakki itu.
Dari arah belakang ada sebuah mobil berwarna hitam yang tiba-tiba saja berhenti di samping dirinya yang sedang berjalan. Hal itu sontak membuat Esha berhenti melangkah dan melihat kaca mobil yang terbuka, menampilkan wajah lelaki yang sudah tak asing baginya.
"Kenapa jalan kaki?"
Lelaki itu membungkukkan badannya agar wajahnya bisa terlihat dari kaca mobil yang terbuka lebar. Akbar, lelaki yang mengendarai mobil hitam itu tadi melihat Esha yang berjalan sedikit tergesa-gesa. Membuatnya berhenti untuk menyapa perempuan yang ia kenal sebagai pegawai di Cafe sahabatnya--Gilang.
"Sepedanya tadi kempes, jadi jalan kaki," jawab Esha. Kini ia merasakan kalau matahari mulai bertambah menyengat di kulitnya. Sensasi hangat itu perlahan menjadi sedikit panas.
"Oohh. Bareng saya aja mau? Udah mulai panas lho ini," tawar Akbar.
He'em udah mulai nyengat nih di kulit, lanjut Esha dalam hati. Ia bingung harus menerima tawaran itu atau tidak. Dalam hati ia menerima tawaran itu, namun otaknya menolak karena takut merepotkan.
"Emm ...."
"Duduk di belakang aja, kalaugak nyaman. Masuk, Sha, nanti kita sama-sama telat kerja."
Esha menarik nafasnya. Dalam hati ia bersyukur Allah menolongnya melalui Akbar, lelaki yang menurutnya baik. Kemudian ia memasuki mobil itu dan duduk di belakang dengan kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRESHA (SUDAH TERBIT)
Roman d'amourBerjuang untuk seseorang yang hatinya masih terpaku pada masa lalu itu memang tidak mudah. Tapi percayalah, jika kita memang benar-benar tulus padanya, selama atau sesulit apa pun memperjuangkannya, perjuangan itu akan terbayar penuh dengan kebahagi...