Chapter 3

66 17 9
                                    

Iri berteriak. Napas yang terputus-putus perlahan mengisi paru-paru gadis yang tersentak dari tidurnya. Keringat dingin menetes dari pelipis Iri. Matanya pun terasa basah oleh air mata yang sempat lolos dari matanya.

Jantungnya masih berdegup kencang. Mimpi tadi terlalu nyata. Ia bahkan masih bisa merasakan sentuhan yang diberikan si pemuda.

Iri menggeram. Ia menelangkupkan wajah pada lututnya yang tertekuk. Tangannya kembali menutup telinga rapat-rapat saat suara orang-orang yang dilihatnya tadi kembali bergema di dalam kepala. Lagi-lagi mengingatkannya pada masa lalu yang menyiksa raga dan batin dirinya.

Sang gadis terdiam sesaat. Masih berusaha menenangkan dirinya, sembari menghilangkan semua bayangan menakutkan itu perlahan. Setelah merasa sedikit tenang, ia mengangkat kepala. Matanya mengerjap beberapa kali untuk melihat jelas di mana dirinya saat ini.

Dinding kaca seperti kristal berbinar memasuki iris hazel Iri. Ubin berwarna perak yang terlihat licin berkilau memantulkan wajah kusutnya. Nampak beberapa tempat diterangi oleh obor dengan api berwarna biru yang melayang-layang di atas tempatnya.

Sepertinya Iri telah masuk ke dalam menara waktu Kako.  Tapi, entah kenapa Iri merasakan hawa tidak mengenakkan di tempat ini. Pengap dan seperti di selimuti oleh kabut tebal tak kasat mata.

Sesuatu menarik perhatian sang gadis. Pintu raksasa dengan ukiran-ukiran abstrak berdiri gagah tak jauh di depannya. Iri bisa merasakan ada energi misterius yang menariknya untuk masuk dan melihat apa yang ada di dalam sana. Namun, niatnya harus dia tunda saat sebuah lengkingan menusuk indera pendengarannya.

Laki-laki kecil yang ada dibelakangnya menjerit keras. Lengkingan yang dibuatnya menghasilkan suara memilukan yang jelas kentara di telinga si gadis. Iri juga menangkap air mata mengalir deras di kedua mata bulat Ren.

“Ren! Hey, Ren! Tenanglah! Apa yang terjadi denganmu?” Iri berusaha menyadarkan Ren dengan mengguncangkan tubuh gemetar sang anak.

”Ren, sadarlah!” Raungan Ren terhenti kala Iri mendongak paksa wajahnya. Mempertemukan manik biru dan manik hazel kedua orang itu. Saat itu, Ren langsung bisa menangkap kekhawatiran yang dipancarkan dari kedua mata sembab gadis yang selama ini dijaganya. Sama seperti Iri yang bisa langsung menangkap ketakutan pada mata indah milik bocah yang selama ini menjaganya.

“Tenanglah, Ren.” Iri berusaha berkata dengan lebih lembut. “Mimpi itu sudah hilang. Kau sudah keluar dari mimpi itu.”

“I… Iri ….” Suara Ren bergetar. Masih takut-takut dan tak yakin dengan sosok gadis yang memegang pipinya erat-erat. Pandangan mata biru itu masih setengah sadar. Iri juga bisa mendengar bocah di depannya lagi-lagi terisak sambil menjambak rambut pirangnya.

“Rin … Rin ….”

Iri tak mengerti apa yang dibicarakan si bocah. Tapi, Iri tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Gadis itu bisa merasakan sesuatu tiba-tiba menyergapinya dan membuat perasaan campur aduk di dalam tubuhnya.

Napas sang gadis menjadi terputus-putus. Iri melihat beberapa potongan adegan melintas dalam kepalanya. Dan, itu membuat matanya hangat dan berair. Gadis itu seperti merasakan sensasi menyakitkan yang baru saja dilalui dalam sebuah masa lalu.

Tanpa sadar, Iri mendekekatkan tubuhnya pada Ren. Menrengkuh pemuda kecil itu hingga Ren terkesiap dengan apa yang dilakukannya.

“Iri …,” panggil Ren dengan suara lemah.

“Sakit ….” Iri kehilangan suaranya. Ia meredam wajahmya pada pundak Ren hingga lelaki yang didekapnya tak dapat mendengar Iri dengan begitu jelas.

Lengan sang gadis mendekap kuat, saat perasaan aneh lagi-lagi menyergap tubuhnya. Membuat dadanya sakit, juga membuat pikirannya kalut tak karuan.

Kedua bola mata Ren melebar. Ah, benar. Mengapa dirinya bisa sampai melupakan hal terpenting saat Anak Waktu bersama dengan manusia?

Seharusnya Ren lebih menahan dirinya. Harusnya ia tahu, saat manusia berada sangat dekat dengan Anak Waktunya—seperti Iri dan Ren sekarang—Ikatan yang terjalin akan jadi lebih kuat. Mereka akan saling merasakan apa yang dirasakan satu sama lain. Mereka akan melihat apa yang dilihat oleh rekannya. Dan, tentu di saat-saat tertentu hal ini tidak baik untuk mental salah satu dari mereka.

“Maaf.” Hanya satu kata yang keluar dari bibir Ren. Anak itu tengah berusaha menghapus perasaannya dan apa yang dilihatnya tadi di gerbang masa lalu. Ren harus segera menghilangkan rasa sakit Iri yang disebabkan oleh dirinya.

Ren menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Iri, kau tidak apa-apa? Apa masih sakit?”

Gelegan pelan menjadi jawaban. Iri mulai melepas pelukannya dan bertanya, “Sebenarnya apa yang terjadi, Ren? Apa yang kau lihat di mimpi tadi?”

“Maafkan aku, Iri,” ucap Ren. “Tapi … sebenarnya yang kita lihat tadi bukanlah mimpi,” sahut Ren sembari menghapus air mata di sudut matanya. “Penglihatan itu nyata. Masa lalu kita, dan apa yang ada di dalamnya.”

“Tapi, Kako tidak memperlihatkan masa laluku,” lanjut Ren.

Iri tidak mengerti. “Bukan masa lalumu? Lalu, masa lalu siapa?”

Ren menatap wajah Iri. Dengan pelan ia menjawab, “Masa lalu saudariku yang menghilang—Rin.”

ZERO : The Lost Time #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang