Chapter 11

23 6 0
                                    

Sebilah tombak meluncur tepat ke arah dada Iri. Refleks sang gadis meningkat, ia lantas menangkis dengan busurnya dan membuat benda panjang itu terlempar. Sedetik kemudian, serangan lain datang dari seseroang yang berniat menancapkan senjata yang sama ke kepalanya. “A—Apa-apaan!?” Iri menahan serangan tersebut untuk beberapa saat. Kekuatan mereka yang terasa cukup jauh membuat Iri melompat mundur dan menjauh.

“Siapa kau!?” teriak Iri marah. Ia memperhatikan orang yang bergeming tak jauh darinya itu. Sosoknya mirip seperti Ren—pendek. Jubah merah yang mirip seperti Penjaga Gerbang Masa Lalu menutupi tubuhnya. Karenanyalah, Iri tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup tudung jubah.

“Kau… Penjaga Gerbang Masa Kini? Kau anak buahnya Ima?”

Bukannya menjawab Iri, orang misterius itu menyerang si gadis kembali hingga membuatnya terkejut. “WHOA!” serunya saat berhasil menghindar dengan tak cantiknya. “A-Apa maksudnya ini!? Kenapa kau menyerangku, Bocah Aneh?!”

“Perintah Ima. Harus dilaksanakan.”

“Hah?” Iri menganga.

Bocah Ima mengeluarkan suara melengking yang memekakan telinga. “H—Hey! Apa yang kau lakukan!?”

Suara-suara aneh terdengar dari beberapa penjuru. Gemeresak dedaunan dan ranting-ranting patah membuat perasaan Iri tidak enak. Dan, benar saja, si bocah memanggil bala bantuan. Makhluk-makhluk aneh berdatangan dari berbagai arah. Mulai dari si tengkorak, hewan-hewan dengan bentuk tak jelas—dari yang besar ke yang kecil, ditambah dengan makhluk-makhluk seperti monster tanaman yang tingginya hampir menyamai si gadis—bahkan lebih besar.

“Oh, sial!” Iri langsung berbalik dan kabur meninggalkan pasukan yang siap menghabisi nyawanya.
++++

Lingkaran sihir muncul di depan dinding yang tersusun dari bebatuan alam. Setelah berkali-kali membujuk Ima untuk membiarkan Ren melihat keadaan Iri sebagai penjaga waktunya, akhirnya kini ia bisa melirik sedikit apa yang terjadi pada gadis itu melalui lingkaran sihir yang dibuat sang Ratu.

Ren menggigit jari cemas saat portal mulai menampakkan sosok gadis yang tergesa-gesa berlari dari makhluk-makhluk yang mengejarnya. “Iri!” teriaknya. Gadis itu terlihat ketakutan dan kelelahan, larinya tersantuk-santuk karena akar-akar pohon dan sulur yang membuatnya tersandung.

“Yang Mulia! Iri dalam bahaya! Aku harus turun dan menolongnya!” pinta Ren.

“Tidak. Kau tidak boleh mengganggu gadis yang tengah berada dalam ujianku,” jawab Ima tegas.

Ren kembali memperhatikan Iri. Kini, gadis itu tengah menggunakan busurnya dan membidik salah satu Ghost berwujud tanaman pemakan serangga dengan taring-taring tajam. Anak panah dengan sihir itu berhasil membelah si monster menjadi dua bagian. Memusnahkannya menjadi pasir yang seketika lenyap tak bersisa.

Ugh! Percuma. Mereka terlalu banyak. Bunuh diri namanya kalau nekat menghadapi mereka semua sendirian. Belum lagi si bocah aneh yang memperhatikannya dari belakang pasukan. Seakan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang dirinya.

Lari! Terus Lari! Entah harus sampai kapan, tapi satu-satunya cara yang bisa ia pikirkna hanyalah kabur dari pasukan di belakangnya.

“Berhenti berlari,” ucap si bocah misterius pelan dengan nada suara yang datar.

“Tidak! Kau pikir aku segila itu untuk menyerahkan diri menjadi santapan-santapan pasukanmu!?” Iri berteriak marah.

Sulur panjang menyerang bagai cambuk ke arah kaki Iri. Membuat gadis itu menjerit dan mempercepat langkah.

Sepertinya, sang Gadis Waktu telah membuat seorang bocah perempuan kesal padanya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang!?

“Berpikirlah, Iri! Kau tidak bisa terus-terusan berlari!” katanya pada diri sendiri.
++++

“Kau memerintahkan anak buahmu untuk menyerang Iri langsung!?” Ren tak terima.

“Kalau iya memangnya kenapa? Di Memori Waktu ini aku yang berkuasa. Dan satu-satunya peraturan yang berlaku di sini adalah “Siapa yang kuat dialah yang bertahan.” Kalau gadis itu sangat menginginkan Permata Masa ini, maka ia harus bisa menaklukkan pertarungannya.

Yang benar saja! Pikir Ren. Mengapa Ima bisa dengan teganya membiarkan Iri berada di kondisi di antara maut? Bagaimana kalau dia tidak bisa bertahan di bawah sana!?

“Kau pikir aku hanya bisa menjatuhkan Iri dan hanya melihatnya jatuh bangun berlari dari musuh?” Ima terkekeh. “Kau salah besar! Masa kini memiliki pengaruh besar pada dua masa yang lainnya. Semua keputusan, takdir, dan nasib yang kau bentuk di masa yang akan datang, bergantung pada semua usaha, tekad, dan semangat dari jiwamu yang sekarang.

Bahkan, kau tidak akan bisa menciptakan memori Masa Lalu tanpa adanya masa Kini, bukan?”

Ren menghadap Ima tak paham.

“Ujian ini adalah untuk membuktikan seberapa kuat tekad dan semangat yang gadis itu miliki untuk menyelamatkan inti waktu dunia. Jika memang dia memiliki hal tersebut, maka hal baik akan datang padanya dan menolongnya. Kekuatan akan datang dengan sendirinya, dan kemenangan akan berpihak padanya. Kau tidak perlu khawatir, Anak Waktu.”

Ren menundukkan kepala sambil mengangguk pelan. Ima benar, Iri perlu persiapan fisik dan mental dalam perjalanan ini. Mungkin ujian Ima bisa membantu gadisnya itu untuk menguasai sihir dan berlatih bertarung melawan musuh-musuhnya kelak.

“Baiklah, Yang Mulia. Tapi, aku punya satu permohonan pada Anda.” Ren meneguk air liurnya kala manik hitam legam Ima menatap si bocah tanpa berucap sepatah katapun.

Ima kemudian menyuruh Ren mengatakan apa keinginannya. Bocah itu pun berusaha menjelaskan dengan singkat dan penuh rasa hormat. Dengan sedikit nada memelas yang seyakin mungkin agar Sang Ratu menerimanya.
“Kuterima permohonanmu. Sebelum itu, kita biarkan Iri berusaha dengan kekuatannya sendiri terlebih dahulu.”
++++

Iri tak kuat lagi berlari. “Argh! Sudah cukup!” Lagi-lagi tanpa berpikir panjang, Iri mengalirkan sihir pada kedua kakinya dan melompat ke atas pohon besar terdekat. Dedaunan langsung berguguran saat Iri mendarat di salah satu dahan besarnya.

Iri tak tahu. Ia benar-benar tak tahu sejak kapan kekuatan sihir ini bisa ia kendalikan dengan baik. Seakan-akan dirinya memang erlahir dengan kekuatan yang menyatu dengan tubuhnya.

Ah, masa bodolah! Yang penting sekarang ia harus segera memusnahkan si bocah dan pasukannya. “Terima kasih, Yang Mulia Kako. Berkat yang kau berikan membuatku bisa hidup sampai detik ini di tempat ini.”

Sepuluh meter dari tempatnya bersembunyi, Iri bisa melihat si bocah—yang Iri duga ia adalah seorang lelaki walau suaranya imut—kini telah memimpin di barisan depan. Tudungnya sedikit terangkat dari sebelumnya, membuat Iri semakin yakin bahwa anak bersurai hitam itu adalah laki-laki.

“Baiklah. Mungkin, aku harus mencoba sesuatu.” Iri berpikir, mungkin hujan panah seperti di salah satu game RPG yang pernah diaminkannya boleh dicoba.

Iri tetap mengalirkan energy sihir pada kedua telapak kakinya dan memposisikan diri sebaik mungkin agar tidak terjatuh. Gadis itu menarik tali busurnya. Sebilah panah muncul dan cahaya-cahaya putih menari-nari mengelilinginya bersama kerlip-kerlip cahaya.

Semakin banyak sihir yang dipakai, semakin besar cahaya yang ditimbulkan.

Ini buruk! Iri terlalu benderang di tengah kegelapa ini. Pasuan lawan pun langsung menyadari posisi si gadis. Raungan dan teriakan yang menggema membuyarkan fokusnya. Ia terus berusaha megokohkan tarikannya dan aliran sihirnya agar serangannya sempurna. Tapi, melihat gerombolan makhluk tak jelas membuatnya sedikit gentar.

“Sedikit lagi, Iri …. Bertahanlah!” serunya dalam hati. Cahaya pada senjatanya perlahan berpendar semakin terang. Tingga ltiga neter lagi, Iri langsung melancarkan serangan. “Sekarang!”

Sang gadis sedikit mengangkat busurnya ke atas llangit. Beruntung area ini agak terbuka, hingga panahnya bisa melncur dengan sempurna.

Anak buah Iri mengikuti secercah cahaya yang meluncur menembus awan kelabu itu—diikuti makhluk-makhluknya. Satu detik dua dtik belum ada sesuatu terjadi. Baru di detik kelimalah, beberapa titik cahay bermunculan di langit hitam. Si bocah terlambat menyadari kala serbuah anak panah yang terhitung jumlahnya akhirnya menghujani mereka semua.

Iri tersenyum bangga. “Aku berhasil,” ucapnya pelan sambil memulihkan tenaga. Tetapi, kesenangannya lagi-lagi harus dijatuhkan. Melihat si anak lelaki masih berdiri dengan tombak yang tertancap di atas tanah dan melindungi dirinya, beserta pasukannya yang tersisa setengah.

Iri menjerit panik. Pohon yang didudukinya berguncang karena monster bertubuh kekar yang menyerudukkan kepala berbentuk banteng. Ketakutannya membuat sihir pada pijakan menghilang. Seketika gadis berambut pendek itu pun terjun ke bawah dengan punggung yang menjadi korban pendaratannya. “Argh!”

Belum sempat Iri bangkit, benda tajam seperti sabit datang dari atas tubuhnya. Cepat-cepat ia berguling ke samping, lantas berdiri. Mengabaikan rasa sakitnya, ia menatap makhluk sejenis tanaman venus—pemakan serangga—dengan sulur-sulur berbilah besi.

Si gadis berbalik ke belakang, dan sontak menangkat senjatanya di atas kepala untuk menangkis serangan dari anak buah Ima. Tubuh anak itu memang kecil, tapi kekuatannya diluar batas normal badannya. Kaki sang bocah terangkat, dan telak menghajar kepala bagian samping Iri. Tak mau memberi kesempatan, anak berjubah berlari kencang dan menhunuskan tombaknya.

Entah kebetulan atau memang di sengaja, ujung tajam senjata itu hanya berhasil menggores pinggang kiri Iri. Sang gadis merintih kesakitan.

“Harus cepat selesai.” Anak itu menghajar sisi kanan tubuh Iri, lalu menohok ulu hati lawannya. Iri terbatuk dan seketika kehiangan seluruh kekuatannya. Ia jatuh berlutut sambil memegangi perutnya. Makhluk-makhluk pun mulai mengerubuni Iri dan menutup segala jalanbaginya untuk melarikan diri lagi.

Si anak berjubah mendekat. “Akan kuselesaikan sekarang juga.” Tombaknya mengeluarkan asap dan percikan-percikan api. Merambat mulai dari mata tombak hingga menyentuh tanah. Menimbulkan api yang menjalar ke tubuh Iri yang tak berdaya.

Tepat, sebelum api itu membesar dan melahap si gadis, seseorang jatuh dari langit dan menapak tanah dengan sangat keras. Menghembuskan angin kencang yang mengibarkan rambut pendek Iri, dan mengibarkan sedikit tudung berjubah anak buah Ima.

Iri mendongakkan kepala. Helaian rambut hitam panjang bergoyang-goyang di depan matanya. Sesosok wanita berpakaian merah dengan zirah di tubuhnya terdengar berkata, “Cukup. Biar aku yang mengambil alih dari sini.”

Anak buah sang Ratu meletakkan senjatanya ke atas tanah, lalu berlutut hormat. “Baik, Yang Mulia.” Ia lalu menghilang menjadi kerliipan-kerlipan cahaya, diikuti makhluk-makhluk yang dengan ajaib menyatu dengan kegelapan.

Pandangan Iri mulai memburam. Gadis itu sudah mengeluarkan sihirnya terlalu banyak. Untuk seseorang yang baru pertama kali menerima kekuatan seerti itu, seharusnya tak ada yang bisa bertahan sampai sekarang. Tapi, Iri masih bisa membuka matanya walau dengan susah payah.

Ima berjongkok. “Kerja bagus, Gadis Waktu. Sekarang waktunya kau untuk beristirahat.”
++++

ZERO : The Lost Time #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang