Chapter 17

19 7 0
                                    

Mimpi. Siapa yang bisa menggapainya? Siapa yang bisa menghancurkannya? Adakah orang yang rela membunuh mimpinya sendiri demi hal lain yang lebih penting?

++++

Trang! Trang!

Ujung anak panah beradu dengan mata belati tajam milik Azka. Iri yang merupakan tipe petarung jarak jauh kewalahan menghadapi Azka yang petarung jarak dekat. Mau memberi jarak pun ia tdak bisa karena kecepatan lawan yang beberapa kali lipat darinya.

"Ugh!" Iri menangkis belati ysng terlempar ke arahnya. Senjata itu terlontar ke sembarang arah, sementara Azka kembali membuat belatinya yang lain. Ini sudah kesekian kalinya Azka membuat senjata baru, lagi, dan lagi. Apa pemuda satu ini memang punya kemampuan untuk mencipatakan senjata tak terbatas?

Ah ya, Iri hampir lupa. Dia bukan Azka. Orang yang sedang ia lawan hanyalah sebuah ilusi dari bunga tidurnya. Bukan Azka yang saat ini ada di Bumi dan mematung bersama teman-temannya yang lain.

"Ooh ... ayolah! Apa tidak ada yang bisa dilakukan dengan busur ini selain menembakkan panah?" geram Iri. Bodoh, memang ia berkata seperti itu. Tapi, saat ini ia tidak bisa terus-menerus mundur dan menghindar dari Azka. Serangan jarak jauh pilihan terburuk! Apa senjatanya bisa berubah menjadi senjata lain dengan sihir? Tapi, berubahpun belum tentu bisa digunakan karena Iri hanya pernah memegang panahan.

Azka menjeda pergerakannya untuk beberapa detik. Membuat Iri semakin was-was, karena si pemuda memunculkan sesuatu di balik punggungnya. Kerlipan-kerlipan cahaya bertaburan di beberapa titik di udara. Kemudian, belati-belati yang masih sama rupanya dengan yang tergenggam di tangan Azka muncul dan melayang-layang. Ujung tajamnya dengan sangar menghadap ke tubuh Iri.

Azka mengangkat tangannya. "Serang."

Satu persatu senjata itu meluncur. Iri berlari menghindar secepat yang ia bisa.Belati yang meleset dan menghantam lantai, langsung meledak dan membuat ledakan cahaya yang cukup keras. Iri berteriak saat belati terakhir berhasil menghajar lantai di dekatnya dan membuat tubuhnya terpental.

Iri merintih. Mirai bertanya dari kejauhan, "Bagaimana rasanya, Iri—bertarung dengan harapanmu sendiri?"

Iri bangun dengan susah payah. "Menakjubkan ... Yang Mulia," jawabnya sambil meringis.

Mirai tergelak. "Aku benar-benar kagum denganmu yang masih tetap berusaha bertahan seperti ini. Padahal jelas-jelas apa yang kau inginkan ada di depan mata, tapi kau menolaknya. Apa yang membuatmu begitu?"

Di akhir kata Mirai, Iri membentuk gelembung pelindung ketika belasan belati menghujaninya. Dipikir-pikir, di Masa Kini, Ima juga menanyai alasannya mengapa menerima tanggung jawab super berat ini. Namun, Iri tidak bisa langsung menjawab apa yang ditanyakan Mirai. Gadis itu berpikir sejenak dengan fokusnya yang terbagi dua.

Mirai pun dengan tenang menunggu jawabannya. SAmbil terus menikmati pertunjukkan langsung di depan. Sedangkan, Ren, ia menjerit tertahan dalam sihir Mirai yang membungkamnya.

Andai saja—andai saja dia lebih kuat dari ini, ia pasti bisa meloloskan diri menggunakan sihir dan membantu Iri. Tapi, kekuatan Penguasa Waktu sama sekali tida bisa diremehkan.

"Aku bisa mendengar semua harapanmu, Anak Waktu." Ren melebarkan matanya. "Tidak apa-apa. Teruslah berharap, Ren. Karena, Memori Masa ini tercipta dari semua mimpi itu. Lanjutkan bermimpi, mungkin saja tanpa kau sadari kau bisa membantu Iri menyelesaikan pertarungan ini."

Ren mengerutkan dahi. "Membantu dengan harapan? Apa yang dimaksud Yang Mulisa adalah do'a?" tanya Ren dalam hati.

Serius? Ren agak ragu sebenarnya, tapi tidak ada salahnya kan kalau dicoba. Anak lelaki itu memejamkan mata dan mulai mengharapkan keselamatan Iri, dan keberhasilannya menyelesaikan pertarungan.

Sag bocah tak menyadari Mirai tengah tersenyum miring sambil tetap menatap si Gadis Waktu.

+++++

Apa alasanku menolak Azka dan memilih bertarung dengannya?

Iri mengeluarkan teknik Hujan Panahnya setelah berhasil membekukan langkah Azka dengan panah beracunnya. Namun, percuma. Iri tidak mengerti lagi bagaimana pemuda itu bisa membuat pelindung sedangkan tubuhnya tengah berdiri kaku.

"Mirai?" Iri mengalihkan pandangan sejenak pada Ratu yang berdiri anggun beberapa meter di samping kirinya. "Apa mungkin Mirai turun tangan juga dalam pertarungan ini!?" Iri berbicara sendiri dalam hati.

Gadis itu menangkap sesuatu yang ganjal dari wajah cantik Mirai. Bibir merah muda itu ... menyeringai. Entah ia menyeringai pada siapa, tapi senyum itu terasa seperti menyembunyikan maksud terentu.

Lantai tempat Iri berpijak bersinar. Mata Iri yang sedikit tersilaukan akhirnya memilih untuk melihat dengan lebih jelas apa yang ada di bawah kakinya. Ternyata, tulisan-tulisan ta terbaca membentuk lingkaran aneh di sana. Semakin membesar, dan mulai membentuk lingkaran mantra seperti yang ada di Alun-Alun Kota.

Whooosh!

Tiba-tiba lingkaran tersebut mengeluarkan angin kencang. Mengibarkan surai pendek Iri ke atas. Benang-benang cahaya merambar keluar, dan menyentuh beberapa titik d tubuh Iri. Mengalirkan energy tambahan yang dapat langsung dirasakan oleh perempuan itu.

Mirai memperlebar senyumnya. "Aku kira kau tidak akan melakukannya, Ren."

Ren tetap fokus dengan sebelah mata yang sedikit mengntip Iri. Ia tidak tahu kalau ini benar-benar berhasil. Jadi, sebenarnya Mirai tidak membual padanya dan malah membantunya. Lalu, untuk apa semua pertarungan ini dilanjutkan?

"Iri, apa tujuanmu bertarung melawan mimpimu sendiri?"

PErtanyaan itu tak hanya terngiang di kepala Ren, tapi juga di kepala Iri. Dan, kini pertanyaan itu mulai menghantui pikirannya.

"Tujuanku? Juga alasanku?" gumam Iri. "Simpel saja, Yang Mulia, karena kau percaya pada kekuatanmu."

Mirai tak mengerti. "Coba jelaskan maksudmu."

"Aku percaya pada sihirmu, Yang Mulia Mirai—Ratu dari Masa Depan. Azka di depanku inilah buktinya. Ilusi yang benar-benar nyata. Perwujudan mimpi yang sangat indah. Masa Depan memang tak pernah mengecewakan dunia Imajinasi makhluknya, ya?"

Iri mengangkat kembali senjatanya. Ia harus yakin. Tarikan kali ini—anak panah kali ini—pasti bisa menghancurkan Azka palsu dalam sekali tembak. Si gadis menggunakan sihirnya lebih banyak. Anak panahnya sedikit ia modifikasi ukurannya. Hanya coba-coba, tapi mungkin saja bisa berhasil walau tubuhnya langsung terasa lemas.

Gelembung pelindung sudah pecah seluruhnya. Tanpa memberi jeda, serangan Iri meluncur beberapa detik sebelum Azka menciptakan gudang senjatanya lagi. Telak menembus tengkorak kepala si lelaki yang kemudian tak lagi menujukkan pergerakan. Iri tidak menunggu Azka menghilang, karena dirinya sudah menghadap Mirai sambil berkata,

"Aku percaya pada takdir yang tertulis. Dan, kalau memang pemuda itu adalah Masa Depanku, maka biarlah dia mendatangiku di masa nanti, dan membuat takdir itu menjadi kenyataan."

++++

ZERO : The Lost Time #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang