Bagian empat belas : Kaina dan rasa yang ia punya

170 19 7
                                    

Happy reading!

Shania lagi-lagi harus membanting tasnya di meja. Seperti hari-hari sebelumnya, Rafael masih saja mengganggunya. Bahkan terkadang memaksanya berangkat atau pulang bersama yang langsung ditolak Shania mentah-mentah. Aneh sekali kan cowok itu.

Namun kekesalan Shania teredam begitu saja ketika melihat wajah kusut Kaina. Cewek itu masuk ke dalam kelas dengan hening. Biasanya Kaina akan gembor-gembor saat masuk kelas. Jadi jika Kaina terlihat lebih pendiam dari biasanya itu artinya cewek itu sedang ada masalah.

"Mau cerita sesuatu?" Tanya Shania saat Kaina baru saja mendaratkan pantatnya di kursi. Shania memang paling mengerti Kaina setelah keluarganya.

Kaina mendesah pelan lalu menempelkan pipinya di meja. "Gara kenapa susah banget ditaklukin." Gumamnya.

"Ayo, semangat dong!" Seru Shania menyemangati sahabatnya. "Jangan sampe Gara jadian sama mak lampir, Iihhh." Shania berpura-pura bergidig ngeri.

Kaina menatap Shania sebal. Dulu-dulu cewek itu memintanya untuk berhenti mengejar Gara, sekarang saat Kaina sudah berada dititik jenuh cewek itu malah mendukungnya. Kadang teman memang semenyebalkan itu.

Belum sempat Kaina membuka mulutnya, Shania sudah berbicara lebih dulu. "Kantin yukk, laper nih."

"Tumben." Ujar Kaina bangkit dari duduknya. Shania biasanya memang selalu sarapan di rumah, bersama papa dan mamanya.

Shania hanya nyengir kuda dan terus berjalan ke arah kantin, tempat menyenangkan bagi seluruh anak sekolah. Mereka berdua memilih meja yang paling dekat dengan penjual. Biar nggak ribet aja bawa nampannya.

"Lo duduk aja, biar gue yang pesen." Ujar Shania berbaik hati yang langsung dibalas senyuman sumringah oleh Kaina. Jarang-jarang Shania berbaik hati seperti ini. Eh? Tapi ini kan masih pagi jadi kantin tidak terlalu ramai. Pantesan aja Shania mau ngatre, kan nggak ngantre juga.

"Gue mau susu anget aja." Kata Kaina. Ia sudah sarapan tadi. Jadi ia tidak mau makan lagi.

Kaina menopang dagunya. Pagi-pagi seperti ini biasanya ia berangkat bersama dengan Gara. Tapi cowok itu akhir-akhir ini memang tidak menjemputnya. Maka Kaina memutuskan hari ini untuk berangkat bersama Papinya.

Gara ya? Mengingat cowok itu membuat Kaina merasakan hatinya berdenyut antara rasa suka dan rasa sakit. Terkadang Gara baik padanya, namun lebih banyak cuek dan ketus. Sebelum mengenal cowok itu, Kaina pikir Gara adalah cowok yang baik. Minimal tidak akan berani membentak cewek. Namun ternyata setelah mengenalnya, beuhh ternyata baik di luar nya saja. Gara memang terlihat cowok yang cuek, ala-ala cowok cool. Tipe cowok idaman Kaina banget. Kayak cowok asal negeri gingseng gitu.

Kaina terkejut karena tiba-tiba keningnya terdorong kebelakang. Cewek itu mendongak dan mendapati Gara berdiri tepat di depannya. Mata bulat Kaina menatap Gara tanpa berkedip.

"Lo emang cewek paling ceroboh." Gara menempelkan plaster luka di pelipis Kaina, tepat diluka yang sudah agak mengering, membuat cewek itu terkejut untuk yang kedua kalinya.

Kaina meraba pelipisnya. Jantung cewek itu sudah berdentam kurang ajar. Terkadang Gara memang bertingkah semanis ini. Sialan!

Kaina tersenyum tipis. "Kalo gue diam aja paling-paling Bella udah dishalatin sekarang."

Gara melotot. Jawaban Kaina berhasil membuat emosinya naik. "Maksud lo apa?!"

"Maksud gue, kalo gue cuma ngeliatin Bella dicekik sama preman kemarin pasti Bella udah mati!" Ujar Kaina lebih jelas agar Gara paham. Kaina tau sebenarnya Gara sudah paham. "Dan seharusnya gue emang cuma nyelametin diri gue sendiri, biar nggak disalahin terus sama lo!"

Fake MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang