Kim Yoojung berdiri termenung di bawah pohon ek yang mulai mengering di pekarangan belakang rumahnya. Seiring dengan berlalunya musim gugur, pohon itu mulai mengugurkan daunnya satu per satu. Meninggalkan beberapa helai daun di dahannya yang meranggas. Yoojung tebak, pohon itu akan kehilangan seluruh daunnya di akhir bulan ini ketika musim dingin perlahan menyapa.
Sejujurnya, Yoojung tak suka musim dingin. Salju yang membekukan jalanan dan udara dingin selalu terasa menusuk hingga ke tulangnya tak pernah membuatnya nyaman sehingga ia lebih memilih bergelung di kamarnya yang hangat berteman dengan lusinan buku bacaan. Musim dingin tahun ini pun sepertinya akan dilaluinya seperti tahun-tahun sebelumnya. Meskipun ia sedikit berharap, seseorang yang diam-diam telah mengisi tempat istimewa di hatinya akan mengajukan ide lain untuk menghabiskan musim dingin tahun ini.
Yoojung mengulum senyum. Teringat semua 'perjalanan' yang ia dan Jingoo telah lalui. Menelusuri tiap penjual buku di pasar, keluar masuk hutan pinus demi mencari berbagai macam jenis tanaman langka, bermain-main di sungai, dan mengunjungi hampir semua tempat 'persembunyian' pemuda itu.
Mereka benar-benar menghabiskan musim semi dengan nyaris selalu bersama. Kecuali untuk waktu-waktu dimana Yoojung harus mengikuti kelas untuk para gadis bangsawan, jam minum teh di kediaman keluarganya, atau saat-saat dimana ayahnya mulai cerewet tentang keberadaannya, Yoojung akan selalu terlihat bersama pemuda keluarga Yeo tersebut.
Tenggelam dalam pikirannya, membuat Yoojung tak menyadari suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
"Kita selalu bertemu di waktu dan tempat seperti ini bukan?"
Terkejut, Yoojung berbalik dan mendapati dirinya tak lagi sendiri. Seseorang baru saja mengusik kesendiriannya, sekaligus menghancurkan khayalannya. Park Bogum, pemuda yang menganggu kesendiriannya tengah berdiri di hadapannya dan tersenyum padanya.
"Ah! Tuan Muda!" Yoojung seketika menduduk. Menyadari kehadiran Bogum yang begitu dekat. Ia mundur beberapa langkah dengan kikuk. Tak menyangka bahwa pemuda Park itu tiba-tiba muncul di pekarangan belakang rumahnya.
"Kita selalu bertemu di waktu dan tempat seperti ini bukan?" ulang Bogum sambil melirik Yoojung yang bertingkah canggung di depannya. Diam-diam ia mengulum senyum geli. Merasa gadis manis Kim tampak lucu dengan sikap canggungnya.
"Benar, Tuan Muda. Kurasa kita selalu ditakdirkan bertemu di waktu dan tempat seperti ini." Yoojung tersenyum sopan membalas sapaan Bogum.
"Takdir?" Bogum sebelah alisnya terangkat mendengar sebuah kata dari ucapan Yoojung barusan. "Apakah kau percaya pada sesuatu seperti itu?"
"Ne?" gantian Yoojung yang mengernyit bingung.
"Maksudku, apakah kau percaya pada takdir?" Bogum memandangi wajah bingung Yoojung.
Yoojung tak langsung menjawab. Tanpa ia sadari, selama beberapa saat ia dengan berani menatap langsung sepasang mata sehitam langit malam milik Bogum yang balas menatapnya dalam diam. Entah mengapa keheningan di antara mereka terasa menentramkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Moon and The Sun
Historical FictionApa yang akan membuatmu bahagia? Bagi Kim Yoojung, adalah mencintainya. Ia yang pertama kali berkata kasar padanya. Ia yang pertama kalinya menatap tajam ke arahnya. Ia yang pertama kalinya membuat Yoojung menginginkan kebebasan. Ia yang pertama kal...