Chapter 04 | Lamaran Tak Terduga

11.2K 1K 160
                                    

Tidak ada yang salah dengan menikah muda. Menikah muda lebih baik daripada berzina dan terjerumus ke dalam dosa.


***

SELEPAS solat subuh, Almira selalu membaca Al-Qur'an di dalam kamar. Dimulai dari membaca surah Al-Fatihah, lalu surah-surah pendek, hingga surah Ar-Rahman. Surah yang menjadi favoritnya sampai detik ini. Almira melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan fasih. Suaranya tenang, tak ada yang terburu-buru. Mungkin, dua jam sudah terlewati hingga Almira tak sadar hari sudah pagi. Bunyi kicauan burung dari arah rumah tepat di belakang mereka, yang beberapa waktu lalu dihuni orang perantauan dari Medan, memang memiliki banyak burung yang sangat berisik di waktu pagi. Tapi, tak bisa dipungkiri jika Almira juga terbantu oleh suara burung-burung itu untuk memastikan waktu.

Waktunya sarapan. Hal yang selalu Almira hindari. Dia tidak ingin bertemu Abi, karena dia tahu semakin lama dekat dengan Abi, Abi akan semakin memojokkannya. Alasannya hanya satu; kamera.

Kamera yang selama ini jadi alasan mengapa Almira suka sekali berangkat pagi-pagi ke sekolah, pulang hingga sore karena harus mengikuti prosedur kegiatan eskul fotografi untuk pemotoan setiap cabang eskul sampai pembuatan banner besar di sekolah. Yang jelas, Almira sangat senang menggeluti bidang itu. Dia juga mendapatkan uang dari sana meski tidak sebanyak Abi memberikan uang jajan untuk setiap harinya. Almira selalu bersyukur, dimanapun dia berada, dia selalu mendapat kesempatan untuk melakukan hal baru.

Dan itu, dulu.

Kamera. Kamera. Kamera. Abi selalu bilang, "Seandainya kamu tidak menyukai kamera, kamu tidak akan seperti ini, Almira." tentu saja ucapan Abi selalu membuat Almira down, patah semangat dan Almira akan sangat terpaksa mengatakan dia membenci Abi. Bukan, bukan karena menaruh dendam, melainkan karena Almira pikir, ya sudah. Kecelakaan itu sudah tiga tahun berlalu. Abi terlalu memikirkan alasannya, daripada memikirkan bagaimana solusinya. Almira terkadang muak, dengan sikap Abi yang seenaknya sendiri. Sejak dulu, Abi selalu mau menang sendiri. Abi egois. Almira harap dia tak mewarisi sikap Abi yang seperti itu.

"Almira, Sayang! Sarapan yuk, Umi buatin roti panggang lho. Yuk, Abi juga nungguin lho di bawah," ucap seorang wanita dari arah luar kamar Almira. Disusul dengan ketukan pintu sebanyak tiga kali. Almira segera melepas mukena putihnya. Membereskannya dengan gerakan lambat karena kaki yang dia miliki sudah mati rasa. Almira menaruh mukena itu di atas tempat tidur. Lalu merapikan hijab instan-nya yang sedikit berantakan.

"Kak, sarapan yuk? Kamu udah bangun kan?" tanya Umi lagi. Almira menghela napas. Dia mendorong kursi rodanya hingga ke depan pintu. Almira memang sengaja mengunci pintu kamarnya. Sudah dia katakan, Almira tidak ingin ada yang masuk ke dalam kamarnya. Sekalipun Abi dan Uminya sendiri. Dibukanya pintu kamar, hingga nampak Umi yang sedang berdiri. Umi masih mengenakan gamis biru laut dengan hijab senada. Almira sudah tahu, semalam Umi pulang saat dia sudah terlelap. Mungkin Abi juga. Umi akan kembali ke rumah sakit nanti sore. Abi akan berangkat ke kantor sebentar lagi. Ya, selalu begitu. Segalanya berubah semenjak Almira kecelakaan.

"Umi kira kakak tidur lagi," ucap Umi. Mengusap pucuk kepala Almira lembut. "Sarapan yuk, Sayang. Sebentar lagi ada Kak Azzam sama Kak Indira lho. Katanya, ada sesuatu yang mau mereka sampaikan."

"Apa sangat penting, Umi?"

Umi tersenyum, sebuah senyuman yang terlihat menyembunyikan rahasia. Almira kebingungan. Tetapi, dia menutupi rasa penasarannya itu. "Ya, sangat-sangat penting sehingga Abi juga memutuskan untuk tidak masuk ke kantor hari ini," ucap Umi. Wanita paruh baya yang selama ini selalu menasihatinya dalam kebaikan itu memandang Almira dalam. Ada genangan air di pelupuk matanya, hingga Almira merasa disana berubah menjadi sedih.

[NUG's 4✔] Lukisan Tentang Almira (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang