Chapter 28 | Si Egois, Almira (2)

7K 764 35
                                    

Halooo, ini lanjutan part kemarin. Cepet update-nya kan? 😂😂😂

Langsung aja yaa ~

***

Seminggu sebelumnya...

"Kak, aku meminta cerai." suara itu terdengar tegas, tetapi menyimpan banyak luka. Kafka tidak tahu apa yang salah dengannya, dia jelas baru saja pulang dari Panti Asuhan. Mengapa justru dihadiahi ucapan menyakitkan seperti itu? Dimana hati nurani Almira? Mengapa istrinya itu tega padanya?

Rumaisha sendiri sudah pulang beberapa jam sebelum Kafka pulang. Rumaisha menyerah, membujuk Almira. Rumaisha gagal.

Kafka mendekat, matanya mengilat marah. Emosi beberapa hari ini sudah tidak mampu dia tahan lagi. Almira memancing emosinya. Dia mengguncang bahu Almira, mencengkramnya. "Tarik ucapanmu sekarang, Mira!!" teriak Kafka marah.

Almira menahan diri untuk tidak menangis. Jujur saja, ini berat untuknya. Almira sangat mencintai Kafka. Kafka adalah pria pertamanya. Pria terkahirnya. Dan hubungan mereka akan benar-benar kandas. Almira mendongak, menatap Kafka dengan sayang. "Kak, aku mau kakak bahagia."

"Bahagia? Apa maksud bahagia menurutmu, Mira? Apa dengan cara kita berpisah?!" Kafka tidak tahan lagi. Ini pertama kalinya dia benar-benar marah pada istrinya. "Apa yang kamu lakukan, Almira?! Kamu sadar dengan ucapanmu? Kamu keterlaluan!"

Almira menunduk, air matanya runtuh saat melihat Kafka ikut menangis. Pria itu menangis karenanya. Oh Allah, Almira berdosakah telah membuat suaminya menangis seperti ini? Almira memang egois. Dia tidak tahu diri, tidak juga bersyukur dengan apa yang dia miliki.

"Aku mau kakak menikah, punya anak, dan bahagia."

"Bahagiaku tidak seperti itu, Mira! Berhenti mengada-ada. Aku tetap bahagia meski kita hanya berdua! Jangan pernah membicarakan hal ini lagi!" Kafka melepas lengannya dari bahu Almira. Menatap Almira penuh cinta dan lembut. Sorot mata tajamnya berubah sendu. "Tidurlah, aku tahu kamu capek. Aku juga capek. Lupakan kejadian ini. Besok kita jalan-jalan ya?" bujuk Kafka, mencoba bersabar sekali lagi.

Almira menggeleng. "Nggak kak. Aku sangat serius dengan ucapanku. Aku meminta cerai."

"Mira... Jangan seperti ini Sayang. Bercerai bukan satu-satunya jalan. Kita bisa mencari jalan lain, oke?"

Namun, lagi-lagi Almira menggeleng. "Aku sudah mengurusnya, lewat pengacara. Aku harap kamu bisa mengerti aku kak."

Almira tersenyum. Dia mengecup bibir Kafka. Air mata mereka menetes. Perpisahan kah pada akhirnya?

"Aku sungguh mencintaimu, kak..."

***

Hujan turun siang ini. Almira berdoa pada Allah, hujan turun semoga membawa keberkahan untuk semua manusia di bumi. Azzam sudah pulang kemarin malam. Almira menitipkan salam untuk Indira, semoga nanti sampai persalinan bayinya dan Ibunya sehat. Ditatapnya jendela kamar. Kamar tamu yang Kania ubah begitu nyaman untuknya.

Jogja.

Tempat yang sangat indah, namun penuh kenangan. Kenangan menyakitkan baginya tahun lalu itu.

Almira tersentak saat seseorang menepuk bahunya pelan. Kania. Perempuan berambut pendek itu tersenyum. Dia cantik, Kania juga pintar dan ramah. Dia pandai berbaur dengan siapa saja. Kania membawakan nampan berisi dua mangkuk mie kuah dengan aroma yang membuat liur Almira menetes. "Makan yuk? Buat ganjel aja. Nanti kita masak buat makan malam."

"Wahh, harum bangett... Jadi makin laper." Almira menerima mangkuk itu. Mereka berdua memakan mie dengan lahap.

"Gimana ngajar di TK? Senang?" tanya Kania. Dia memang sedang sibuk kuliah. Jadi tidak pernah menanyakan apapun soal pekerjaan baru Almira. Yang penting Kania bisa melihat senyum Almira saja, itu sudah cukup.

Kania benar-benar menganggap Almira adiknya.

"Alhamdulillah, mereka semua ceria kak. Mira senang ngajar mereka. Mereka sama sekali nggak menganggap Mira cacat. Mereka semua anak yang mengasyikkan." Almira tersenyum. Begitu pula Kania. "Itu bagus. Tetaplah tersenyum seperti ini, Mira. Kamu.. Cantik."

Almira mengangguk. Entahlah, entah sampai kapan dia bisa menanggung semuanya sendirian.

Almira sangat membutuhkan waktu untuk melupakan rasa sakit hatinya atas perilaku Mama Karin.

***

"Kakek Nug meninggal, dek."

Telepon dari Azzam malam itu meruntuhkan segalanya. Almira menangis sejati-jadinya mendengar kabar buruk itu. Kakek dari Ibunya meninggal dunia. Padahal, Anugerah sama sekali tak terlihat sakit. Allah mengambil beliau di usia 70 tahun. Sungguh bonus umur yang begitu banyak. Almira mengangguk saat Azzam mengatakan Almira harus kembali ke Jakarta. Azzam yang akan membiayai penerbangan Almira. Azzam juga meminta tolong pada Kania untuk ikut saja. Kebetulan, Kania juga libur setelah ujian. Dia menemani Almira untuk pergi ke rumah kakeknya.

Kania juga ikut bersedih. Luka di hati Almira saja belum benar-benae sembuh, dan kini luka itu kembali basah.

Isakan terdengae semakin kencang saat Almira memasuki rumah megah kakeknya. Disana ada Ayahnya, Ibunya dan sanak saudara. Almira memeluk Ibunya kencang. Amalia terlihat begitu terpuruk dengan kantung mata yang menghitam. Ibunya kurang tidur. "Umi.. Umi yang sabar ya.. Umi pasti kuat. Kakek Nug pergi karena Allah yang memanggil. Kakek pasti masuk surganya Allah, kita doain sama-sama ya?"

"Iya, Mira. Makasih Sayang..." Amalia mengangguk, tetapi kembali menangis di pelukan Almira.

Jenazah Anugerah sudah akan dikuburkan. Mereka berbondong-bondong mengikuti pemakaman hingga selesai.

Almira terluka melihat Ibunya seperti ini.

Apa yang harus dia lakukan?

***

Tiga hari setelahnya, Almira kembali ke Jogja bersama Kania. Selama di Jakarta, mereka menginap di rumah almarhum Anugerah. Almira belum menceritakan masalahnya dengan Kafka pada kedua orang tuanya. Almira mau bercerita, tetapi tidak disaat seperti ini. Almira bertemu dengan Kafka. Tetapi pria itu membuang muka. Apa Kafka masih marah? Tentu saja iya. Kafka sangat marah padanya. Almira juga bertemu Alyssa, adik bungsunya. Alyssa sudah semakin tinggi saja. Hampir menyamai Ibu mereka. Pertemuan itu Almira simpan dalam benaknya. Dia meminta maaf pada semuanya tidak bisa berlama-lama menginap.

Kasihan Kania juga, dia harus kuliah.

Almira sedang menunggu Kania membuka pintu. Memasukkan koper ke dalam rumah. Kania tinggal sendiri di Jogja, omong-omong. Ayah dan Ibunya tinggal di Bandung. Tempat kelahiran Kania. Kania disini memang niat untuk kuliah di salah satu Universitas Seni di Jogja. Kania sangat gemar melukis dan berfoto. Banyak lukisan yang sudah Kania jual hingga ke beberapa negara tetangga. Lumayan kan, menghasilkan uang juga.

"Assalamualaikum, Almira." dada Almira naik turun. Napasnya tercekat. Dia menoleh. Melihat Kafka dengan pakaian kasual berdiri menatapnya.

Almira mengucek kedua mata, takut dia berhalusinasi lagi.

Tapi, bayangan itu tidak kunjung menghilang.

Dia.. Benar-benar Kafka yaaa?!!!

***

TBC

Sedikit dulu yaaa.. Ekhem... Mendekati ending nih🤧🤧🤧

Siapin hati juga yaaa😂😂

See you semua...

Love,
Ar

[NUG's 4✔] Lukisan Tentang Almira (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang