Chapter 02 | Rindu

13.5K 1.2K 136
                                    

Selalu merindukan kamu, tanpa perlu tahu kamu merindukanku atau tidak.

Bagimu mencintaimu dalam doa saja sudah cukup.
Jika lebih, maka itu akan aku anggap takdir Allah yang ingin menjodohkan kita.

***

Suasana rumah tak asing lagi baginya jika terasa sepi. Di sore seperti ini, Almira biasanya keluar kamar, menghirup udara segar di halaman belakang. Karena memang waktu tenang seperti itu yang ia inginkan. Tak ada Abi, karena memang Abi masih di kantor. Beliau semakin semangat bekerja, bahkan Almira sesekali mendengar jika Umi menegur Abi karena terlalu semangat bekerja hingga melupakan waktu makan dan istirahatnya.

Tidak ada Umi, karena beliau ada shift sore. Pulangnya akan malam.

Tak ada kak Azzam, karena kakaknya itu masih kuliah mengejar ketertinggalannya karena sakit selama setahun.

Tak ada Alyssa, karena semenjak kecelakaan setahun lalu, Abi berubah menjadi protektif terhadap anak-anaknya. Alyssa terpaksa dimasukkan ke dalam pondok pesantren sederhana dan kuno di Jawa Timur.

Dalam hati, Almira meminta maaf pada semuanya. Pada Alyssa terutama. Ia yakin, Alyssa mungkin merasa tidak betah dan kecewa terhadap sikap Abi yang suka seenaknya. Tidak memikirkan bagaimana perasaan putrinya. Almira tidak yakin, jika Alyssa bisa bertahan karena ia tidak suka jika berjauhan dengan Umi. Alyssa tipikal anak yang sangat manja. Semuanya disiapkan oleh Umi. Alyssa termasuk ceroboh dalam menyimpan sesuatu. Hanya saja, Alyssa jago dan handal dalam urusan memasak. Tetapi, tetap saja. Alyssa pasti akan kesusahan disana.

Maafin kakak, Cha. Kakak nggak bisa berbuat banyak untuk mencegah Abi memasukkan kamu ke pesantren. Maafin kakak. Seandainya kecelakaan itu nggak terjadi, mungkin saja sekarang kita sedang berkumpul. Menceritakan masing-masing kegiatan kamu di sekolah dan kakak di dunia perkuliahan.

Almira memutar kursi rodanya sendiri untuk pergi ke halaman belakang rumah. Aroma hujan tadi siang masih sangat terasa olehnya. Bau tanah basah sungguh menjadi obat mujarab baginya. Almira menyukai itu. Beberapa air sehabis hujan yang hinggap di dedaunan terjatuh saat Almira menggoyangkannya. Almira mungkin akan memotret pemandangan itu jika saja kameranya tidak hancur bersamaan dengan kecelakaan itu.

"Non, non Mira ngapain disini? Bibi daritadi manggil, kirain kemana. Ayo masuk, Bibi sudah siapin air panas untuk non Mira mandi," ucap Bi Ani. Kini, profesinya menjadi lipat ganda. Selain mengurusi rumah, Bi Ani juga betugas merawat Almira. Meski terkadang Almira bersikap acuh padanya, namun Bisa Ani sangat paham jika keadaan memang belum membaik. Bi Ani hanya bisa mendoakan yang terbaik, jika suatu saat nanti Almira akan sembuh atas izin Allah.

"Masih jam tiga sore, Bi. Nanti saja," jawab Almira, kedua tangannya memegangi ponsel. Mengabadikan pemandangan yang ada melalui kamera ponsel. Biarlah jika hobinya kini berhenti melalui kamera ponsel. Mau bagaimana lagi?

Tepat ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun lalu, sebenarnya Azzam memberinya hadiah sebuah kamera DSLR keluaran terbaru. Harganya pun tak tanggung-tanggung. Katanya, Azzam mengumpulkan uang itu dari memenangkan pertandingan karate selama ini. Azzam juga tak mau mengganti motornya padahal motor itu sudah terlihat tua sejak SMA.

Sungguh, Azzam adalah kakak terbaik yang Almira punya. Tentunya, Raihan pun tidak kalah hebatnya dengan Azzam. Meski bukan saudara kandung, tetapi Almira sangat menyayangi Raihan.

"Tapi sudah jadwal non untuk mandi. Biar segar. Habis itu nggak apa-apa deh kalau non mau duduk disini. Nanti Bibi temani, gimana?" bujukan Bi Ani sepertinya sudah sangat membosankan di telinga. Almira menggelengkan kepala. "Mira mau disini, Bi. Biarin Mira sendirian."

"Tapi non, kalau Ibu pulang gimana? Kalau Bapak pulang-"

"Bi...," potong Almira, tatapannya tidak tajam. Akan tetapi menyiratkan makna yang begitu jelas jika ia tidak ingin dipaksa oleh siapapun. Alasannya apapun, Almira hanya ingin melakukan apapun yang ia suka. "Nanti Mira bisa mandi sendiri kok, jangan dipaksa. Bisa kan, Bi?"

"Maaf non, Bibi hanya nggak mau Ibu marah kalau nanti Ibu pulang non Mira masih belum rapi," jawaban yang sangat jujur. Bi Ani akhirnya pamit undur diri untuk membantu Bi Nah di dapur.

Kini, Almira bisa menghela napas lega. Ia kembali mengarahkan ponselnya ke arah dedaunan basah. Mengatur lensa juga cahaya agar nampak indah. Lalu, menekan tombol hingga objek itu tertangkap kamera ponselnya. Almira tersenyum kecil melihat hasil bidikannya bagus, meski tak menggunakan kamera DSLR.

Selama hidupnya, Almira jarang sekali tersenyum. Ia bukan tidak mau, hanya saja rasanya susah sekali. Ia seperti replika Abi dan Azzam. Hanya saja versi perempuan. Ia jarang tersenyum, makanya beberapa teman sekolah menyimpulkan jika Almira adalah gadis yang sombong. Padahal, dalam islam sama sekali tidak diperbolehkan bersikap demikian. Almira pun tak terlalu ambil pusing dengan apa cibiran mereka. Yang penting, Almira melakukan apapun yang ia inginkan tanpa perlu berdosa dengan meladeni cibiran mereka.

Almira membuka catatan dalam ponselnya. Memasang bidikannya tadi disana, lalu dibawahnya ia mengetik sederet kalimat seperti yang biasanya ia lakukan.

Hati ini merindukanmu, semesta bahkan mendukungku.

Genangan yang turun saat hujan menjadi saksi betapa aku sangat merindukanmu.

Tapi tak ada yang bisa aku lakukan selain menyebutmu dalam doaku pada Ilahi.

Doa yang selama ini terpendam. Doa yang selama ini tersematkan namamu, wahai hamba Allah.

Bagaimana sekarang? Apakah aku memang harus berhenti merindukanmu?

Atau harus lebih siap merasakan sakit karena perasaan ini yang tak kunjung kamu tahu.

Selesai. Almira segera menonaktifkan ponselnya. Ia tidak ingin ada yang melihat jika Almira mencurahkan isi hatinya. Ya, hatinya yang telah terdampar di sebuah pelabuhan cinta. Hanya saja, Almira tidak menunjukkannya. Ia memendam sendiri perasaannya. Sungguh, Almira malu sekali jika orang lain tahu ia sedang jatuh cinta. Apalagi, sampai sedang merindukannya.

Rintikan hujan kembali menyapa. Almira segera memutar kursi rodanya berbalik. Meski susah, namun ia harus bisa. Almira terus berusaha agar kursi rodanya cepat sampai dalam rumah. Meski beberapa bagian terkena tetesan air hujan, namun Almira tidak masalah. Baginya selama itu masih bisa dibersihkan, mengapa harus marah?

"Non, sudah selesai fotonya? Yuk mandi, Bibi antar ke kamar, ya?" Bi Ani bersiap mendorong kursi roda Almira. Namun, tertahan oleh sebuah suara. "Bi, Mira mau mandi sendiri ya. Buat kali ini aja. Boleh kan? Nanti Mira sendiri yang akan bilang sama Umi kalau Mira yang memang mau mandi sendiri tanpa bantuan siapapun. Jadi Bibi nggak perlu takut dimarahi Umi."

Bi Ani rupanya kasihan mendegar ucapan Almira yang seperti itu. Mungkin, Almira merasa semakin lelah jika ia tidak melakukan apa-apa. "Tapi kalau ada apa-apa kasih tau Bibi ya non, nanti Bibi ke kamar non Mira." akhirnya Bi Ani pun setuju. Beliau hanya mengantar Almira sampai depan kamarnya. Selebihnya Almira sendiri yang membersihkan diri dan shalat ashar.

🥀🥀🥀


Assalamualaikum semua 😇🎉 apa kabar? Lagi apaa nih?

Hmmm siapa yaa yg Mira cintai? Kenapa dia nggak bilang aja kalau dia lagi jatuh cinta?


Penasaran sama kelanjutan cerita LTA? ❤
Jangan lupa kasih vote dan komentar yaaaaa 😘😘😘 biar akunya makin semangat update.

[NUG's 4✔] Lukisan Tentang Almira (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang