Terjangan angin di jalanan berasap hitam. Jam pulang kerja memang padat. Motor gede Evans terjebak dalam lautan kendaraan yang saling bersahutan suara klaksonnya.
Dari balik helmnya ia mendesah. Setiap hari selalu melewati jalur ini untuk menghindari kemacetan. Tetapi, kali ini malah dirinya harus berhadapan dengan rentetan mobil dan motor di jalan yang lebih kecil dibanding jalan raya utama.
Evans mengeluarkan ponselnya. Karena ia bosan, dibukanya roomchat yang berisi berbagai macam kontak teman dan keluarganya.
Grup kelas adalah urutan teratas yang paling berisik. Karena Evans baru membuka ponsel sore ini, maka pesan yang belum terbaca sebanyak 473. Itu baru jumlah pesan dalam grup kelas 11 IPS 2. Belum terhitung pesan-pesan lain di bawahnya.
Ibu jarinya menggeser layar ke atas, hingga terlihat pesan-pesan yang tertimbun di bagian bawah. Sampailah, ibu jarinya berhenti di salah satu kontak bernama Mei.
Disana hanya tertanda bahwa pesan yang ia kirimkan belum terbaca oleh orang yang bernama Mei. Untuk kedua kalinya Evans mendesah.
Terdengar klakson panjang dari belakang. Evans baru sadar bahwa kemacetan sudah mulai lenggang. Ia buru-buru menyimpan ponselnya di saku jaket beresleting dan menyalakan motornya agar segera meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa kilometer ke depan, lampu seinnya mengarah ke kiri. Motornya berhenti di parkiran yang tidak terlalu luas. Kemudian, melepaskan helm hitam yang dikenakannya dan menyisir rambutnya dengan jemari.
"Baru latihan?" tanya seorang laki-laki yang hampir mirip dengannya, tetapi sedikit lebih tua.
Evans duduk di kursi bar seraya melihat daftar menu yang terpajang di dinding hadapannya.
"Yap," jawabnya singkat, "Aku mau latte."
Lelaki yang tadi bertanya padanya langsung mengoperasikan mesin penghancur biji kopi, setelah itu menuangkan cairan hitam itu di sebuah cangkir kecil. Sementara latte pesanannya sedang dibuat, Evans mengecek roomchat-nya lagi.
Sampai matahari benar-benar tak nampak di langit Jakarta, kursi bar itu masih menjadi teman bisunya.
Latte di hadapannya tersisa setengah cangkir. Tetapi, Evans masih mematung di tempat.
"Nunggu siapa, sih? Mei?" tanya lelaki itu lagi.
Drrt...
Belum sempat Evans menjawab, ponselnya bergetar. Dia yakin ini bukan pesan dari grup kelas. Karena grupchat-nya sudah dibisukan olehnya selama 1 tahun.
Evans kembali mengecek. Mei akhirnya membalas.
Mei: Maaf, Evans. Tapi, aku udah di sini kok sekarang.
Alis tebal milik si pelari itu saling bertaut. Ia segera berbalik untuk melihat dimana Mei berada dan rupanya gadis mungil itu sudah berada tepat di hadapannya. Cukup mengejutkan.
"Hei..." sapa Evans ramah.
"Yang dinanti datang, kan?" Suara itu berasal dari balik meja bar.
"Kak Yonna. Gimana hari ini? Ramai?" tanya Mei.
Lelaki bernama Yonna menjawab, "Yaa... lumayan lah..."
Yonna, kakak sulung Evans. Dia bekerja sebagai pemilik cafe kecil di pinggiran kota. Selain itu, Evans memiliki satu lagi kakak laki-laki yaitu, Vero. Vero adalah anak tengah dari Keluarga Widiartono. Ia kini sedang menempuh pendidikan teknik sipil di salah satu kampus negeri di Surabaya. Dari ujung barat ke ujung timur. Itulah mengapa Vero menjadi satu-satunya anak di keluarganya yang suka bertualang.
KAMU SEDANG MEMBACA
End
RomantizmMungkin angin telah menerpa segala memori Pudar di angkasa saat kau kembali Kala mata kita bertemu dan dongeng telah usai Namun, sepertinya aku menemukan kisah yang baru saja dimulai Start: August 4th, 2019 Ending: nggak tau kapan. Fallaw aja akun s...