12 - Usaha

92 7 0
                                    

Setelah memikirkan dengan keras, Shellyn memutuskan untuk bekerja sebagai peracik kopi di Coffee Shop milik Sam. Mengenai hal seragam pekerja yang tidak boleh berkerudung itu, Sam bilang hanya bercanda. Saat itu, Shellyn langsung pergi tanpa tahu alasan Sam berkata seperti itu.

Jam kerja Shellyn dimulai pukul 3 sore hingga pukul 9 malam. Shellyn mendapatkan rekan kerja yang sangat ramah. Mereka sangat menikmati pekerjaannya saat ini. Hari-harinya menjadi lebih berwarna berkat rekan-rekannya itu.

Di pagi hari Shellyn masih setia membantu bu Susi menjual bubur ayam. Entah hanya cuci mangkok saja atau bisa juga mengantarkan bubur yang dipesan para pelanggan.
“Pa, Shellyn bantu bu Susi dulu, ya.” Shellyn mencium tangan papanya.

Semenjak kecelakaan itu, sang papa terlihat lebih banyak diam. Bercerita yang dulu menjadi kebiasaannya pun sudah jarang bahkan tidak pernah.
“Assalamualaikum, Pa.”

***

“Shellyn antarkan ini ke rumah pak Dirga, ya.” Segera Shellyn mengantarnya sesuai alamat yang diberikan bu Susi. Ternyata tidak jauh.
‘Jalan Cemara..’ Shellyn membaca sebuah plang yang berisi nama jalan. Setelah mencocokkan dengan alamat yang tertera itu, Shellyn melihat-lihat nomor rumahnya.
‘Tiga puluh enam.. nah ini dia,’ gumamnya.
“Assalamualaikum. Permisi,” ucap Shellyn sedikit berteriak. Tak lama pintunya terbuka.
“Ya? Eh Shellyn?”  tanya orang itu heran.
“Sam? Jadi kamu tinggal di sini? Ini aku nganter pesanan bubur atas nama pak Dirga,” timpal Shellyn.
“Oh ya. Itu paman aku.” Shellyn pun memberikannya.
“Bentar ya.”
Tak lama Sam keluar membawa uang untuk membayar pesanan tersebut. Shellyn menerimanya dan berpamitan.
“Tunggu.” Shellyn berbalik.
“Ya?”
“Pagi-pagi gini kamu kerja juga?” Shellyn hanya mengangguk.

***

“Ma, kenapa nomor Shellyn gak aktif ya?” tanya Sheryn yang saat itu tengah makan malam bersama.
“Mungkin sibuk,” timpal mamanya.
“Gimana kabar papa sama Shellyn ya, ma? Apa baik-baik aja?” tanya Sheryn penasaran.
“Sheryn, kamu bisa hargai makan malam ini?” tanya mamanya dengan suara meninggi yang terdengar seperti marah. Sheryn yang merasa tersentak, merasakan pipinya memanas dan matanya menahan tangis.
“Ma, apa mama gak bisa hargai perasaan Sheryn sekarang?” timpal Sheryn lantang. Sementara seorang pria yang sedari tadi bersama mereka masih bungkam.
“Kalau bakal kayak gini jadinya, Sheryn mending ikut papa!” Air mata Sheryn akhirnya keluar.
“Sheryn!”
“Apa papa tahu tentang ini, ma?”
“Ya. Jauh sebelum kamu sakit. Mama gak pernah kembali sama papa kamu. Semua hal yang dilewati itu semata-mata buat kamu dan kembaranmu bahagia. Ketika awal-awal kita dipertemukan karena operasi kamu, dan kita tinggal serumah untuk beberapa hari, mama selalu menunggu kalian berdua tidur agar bisa pulang ke kehidupan mama. Apa kamu tahu alasan kita berbeda kota? Bukan karena bisnis, melainkan mama udah punya kehidupan lain di sini bersama suami mama. Ketika kita selalu buat acara akhir bulan, mama selalu menjaga jarak dengan kalian agar suami mama tidak terluka. Apa kamu bisa hargai itu semua?”

Sheryn yang mendengar itu semua merasa sesak.  Bagaimana bisa dia menikmati semua skenario kedua orang tuanya itu seakan-akan kenyataannya kini menamparnya dengan keras.
“Kenapa mama gak jujur dari awal?” tanya Sheryn sambil menyeka air matanya.
“Sheryn, dengerin dulu–“ pria itu akhirnya bersuara namun dipotong cepat oleh Sheryn.
“Saya gak bicara pada Anda.”
“Sheryn, di mana sopan santun kamu? Bagaimana pun dia ini papa kamu,” sergah mamanya.
“Maaf, papa saya di Medan,” timpal Sheryn melihat pria itu.

***

Sheryn terus-menerus mencari nama Shellyn di daftar penerimaan mahasiswa baru. Namun nihil, dirinya tidak menemui nama Shellyn padahal besok adalah daftar ulang mahasiswa baru. Rencananya Sheryn akan pindah ke Jakarta mulai besok dan akan ngekos di sana.

Sesampainya di Jakarta tepat di depan kampus impiannya itu, Sheryn berdiri sambil menghirup udara yang cukup panas saat itu sambil memejamkan matanya. Sementara seseorang sedari tadi memperhatikannya. Tak lama orang itu berdiri di samping Sheryn, namun Sheryn belum sadar.
“Alhamdulillah, impianku jadi nyata,” ucap Sheryn yang masih memejamkan matanya.
“Sama,” timpal orang itu. Sheryn membuka matanya lalu mengalihkan pandangannya.
“Bagas?”

***

Hujan deras yang mengguyur sedari pagi, perlahan mereda. Shellyn mengambil payungnya lalu berpamitan pada sang papa yang masih asyik mendengarkan radio.
“Pa, Shellyn berangkat dulu ya. Nanti papa duluan aja makan malamnya, jangan nunggu Shellyn ya, pa.” Shellyn mencium tangan papanya lalu bergegas.

Tak lama setelah itu, suara ponsel yang berdering membuat sang papa beranjak untuk mengambilnya. Suaranya dari arah kamar Shellyn. Sambil meraba-raba, akhirnya didapati ponsel itu namun deringnya berhenti.
“Mentang-mentang ponsel baru, lupa dibawa,” ucap sang papa sambil tertawa kecil. Kemudian ponsel itu berdering lagi. Mungkin panggilan penting.

Sang papa berniat untuk menyusul Shellyn. Diambillah tongkat yang selalu dibawanya untuk berpergian. Sambil meraba-raba jalan tersebut, sang papa berteriak memanggil nama Shellyn.

Tak disangka, sebuah truk bermuatan pasir melaju dengan sangat kencang seperti mengalami rem blong. Karena panik, tongkat yang dipegang papa Shellyn terjatuh. Mata yang tidak sanggup melihat membuatnya pasrah. Bunyi klakson menggema diikuti teriakan para warga yang melihatnya. Kecelakaan pun tak dapat dihindari.

***

Sam mencoba menghubungi Shellyn beberapa kali, namun nihil tidak ada jawaban. Tadinya Sam akan memberitahu bahwa hari ini Coffe Shopnya akan tutup karena akan dipakai untuk sebuah acara teman-temannya. Sebuah panggilan masuk dari Shellyn. Sam pun menjawabnya.
“Hallo, Shell.”
“Hallo, apa benar ini keluarga pemilik ponsel ini?” tanya seseorang. Suaranya tidak dikenal.
Sementara itu Sam melihat Shellyn sedang berjalan menuju ke arahnya. Hal ini membuatnya bingung. Shellyn membuka pintu Coffe Shop itu.
“Ada apa?” tanya Sam
“Bapak yang membawa ponsel ini tertabrak truk dan sekarang dibawa ke rumah sakit Sejahtera.” Sam membelalakkan matanya.
“Ya. Saya segera ke sana,” ujar Sam memutuskan sambungan teleponnya.
“Ada apa, Sam?” tanya Shellyn.
“Ponsel kamu?” Shellyn menepuk keningnya.
“Ah lupa.”
“Shell, ayo ke rumah sakit sekarang.”
“Memangnya ada apa?”

***

“Gak nyangka ya, kita bisa sekampus,” ujar Bagas.
“Ya begitulah,” timpal Sheryn.

Ternyata Sheryn dan Bagas diterima di kampus yang sama. Mereka melakukan pendaftaran di hari yang sama membuat keduanya bertemu setelah sekian lama.
“Kamu sendiri ke sini?” tanya Bagas.
“Hm nanyain kembaran aku kan?” terka Sheryn. Bagas tersenyum canggung.
“Ceritanya panjang, Gas. Dan endingnya, enggak, maksudnya klimaksnya sekarang. Keluargaku hancur lagi untuk kedua kalinya. Parahnya sekarang aku gak punya siapa-siapa buat cerita. Aku dan Shellyn bener-bener gak ada komunikasi lagi.”
“Bukannya kalian quality time di akhir bulan?” Sheryn menggeleng.
“Kamu bisa hubungi Shellyn?” tanya Sheryn.
“Udah jarang, bahkan gak pernah.”

***

Bersambung.

Maaf sempat hiatus setahun😊 Semoga masih inget yaa😁

S I N A R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang