15 - Akhir [TAMAT]

139 9 0
                                    

Sheryn berlari memeluk Shellyn erat. Shellyn yang kaget hanya bisa diam mematung. Ada apa ini? Mengapa Sheryn ada di sini? Shellyn menoleh, di sampingnya ternyata ada Bagas. Hal ini membuatnya semakin bingung.
"Kenapa kamu diem aja, Shell?" tanya Sheryn yang merasa kembarannya itu tidak membalas pelukannya.

Bukannya membalas pelukan Sheryn, Shellyn justru melepaskannya dengan kasar. Sheryn pun kaget dan sangat bingung. Mata Shellyn mulai berkaca-kaca.
"Ada apa Shell? Kamu inget kan sama kembaran kamu ini?" tanya Bagas yang mulai bersuara.

Karena tidak sanggup berkata-kata, Shellyn berlari meninggalkan Sheryn dan Bagas. Satu jam yang lalu, keduanya berhasil mendarat di Medan. Setelah menemui pihak pemerintah untuk menyerahkan bantuan kepada masyarakat, Bagas membantu Sheryn untuk mencari Shellyn. Namun bukannya sambutan hangat yang dia dapat, melainkan perlakuan Shellyn yang sangat berbeda.

Sheryn menyusul Shellyn sambil memanggil namanya. Tetapi Shellyn berlari sangat cepat hingga Sheryn kehilangan jejak.
"Kayaknya ada sesuatu yang terjadi, Sher." Bagas mengikuti dari belakang Sheryn.
"Kok kamu lelet banget sih biasanya cepet kalau lari?" protes Sheryn.
"Dua hari yang lalu pas lagi latihan, kaki aku sempet terkilir. Jadi sakit kalau lari," jawab Bagas yang terpaksa berbohong.

Bagas merasa ada hal yang tidak beres mengenai Shellyn terlebih tiba-tiba dia menghindar dari Sheryn dengan mata yang berkaca-kaca. Bagas berpikir bahwa Shellyn sedang tidak ingin menemui Sheryn. Untuk itu, Bagas membiarkan Shellyn berlari.
"Hm maaf, Gas. Kayaknya Shellyn marah gara-gara gak bisa kontakan? Atau mungkin Shellyn marah gara-gara pernyataan mama waktu itu? Seinget aku mama pernah bilang, dia udah ketemu Shellyn dan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Bisa jadi."
"Shellyn, ayo makan, yang lain udah. Tinggal kamu yang belum." Seseorang datang membuat Sheryn dan Bagas terheran.
"Bentar, kok bajunya beda? Ini siapa?" orang itu bertanya-tanya sambil menunjuk Bagas.

Bagas tertawa. Dirinya ingat saat dahulu pernah berpikir bahwa yang ditemuinya itu Shellyn. Padahal sebenarnya itu Sheryn.
"Jelas beda. Ini kembarannya Shellyn," ujar Bagas yang tahu betul bahwa orang itu mengira Sheryn adalah Shellyn. Sama sepertinya dahulu.
"Kembaran? Jadi ini bukan Shellyn?"
"Saya Sheryn."
"Oh. Maaf. Saya Sam, temannya Shellyn. Saya baru tahu Shellyn punya kembaran. Kalian dari mana?"
"Kami dari Jakarta, ikut membantu korban di sini. Kalau boleh tahu, sebenarnya Shellyn kenapa?"
"Maksudnya?"

***

Bagas dan Sheryn berserta rekan kampusnya dijadwalkan akan membantu di lokasi untuk satu minggu ke depan. Itu artinya, Sheryn mempunyai waktu untuk meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi pada Shellyn.

Ketika Sheryn dan Bagas bertanya pada Sam, Sam memilih untuk tutup mulut. Dirinya tidak berhak menceritakan apapun karena yang berperan penting dalam hal ini adalah Shellyn. Sam hanya berkata bahwa Shellyn bekerja padanya. Hanya itu.

***

"Shell, kamu ini kenapa sih?" gertak Sheryn yang sudah capek dengan perlakuan Shellyn selama tiga hari ini. Berkali-kali Shellyn menjauh ketika merasa ada Sheryn atau Bagas di sampingnya.

Shellyn yang baru saja selesai mengajar anak-anak hanya bisa diam menatap lurus ke depan.
"Shell ngomong dong! Salah aku di mana sampai kamu diem terus?" Sheryn sudah menahan tangis. Setelah dirinya berubah saat itu, baru kali ini dia membentak Shellyn lagi.
"Shellyn, aku minta maaf karena saat itu aku gak bisa hubungin kamu. Aku bingung harus gimana. Ketika aku udah siap buat cerita semuanya, nomor kamu udah gak aktif. Bener-bener lost contact." Shellyn menunduk mendengar pernyataan Sheryn.
"Yang aku pikir bahwa keluarga kita kayak dulu lagi, ternyata palsu. Aku tersiksa Shell hidup di Surabaya bareng mama. Aku pikir kamu nepatin janji kamu buat kuliah di Jakarta. Sekarang aku diterima kuliah di Jakarta dan ternyata satu kampus bareng Bagas. Aku bersyukur setidaknya dia yang selalu dukung aku ketika aku kehilangan kamu. Aku iri Shell, setidaknya kamu dijagain papa." Shellyn terisak. Wajahnya penuh dengan air mata.
"Tiga hari aku di sini, aku belum ketemu papa. Apa papa lagi bantu korban lain?" Sam yang ada pada saat itu memejamkan mata, merasakan pedih mendengar apa yang dikatakan Sheryn.
"Shell, aku kangen papa."
"Aku bener-bener i-"
"PAPA UDAH GAK ADA SHER." Sheryn terlonjak kaget. Air matanya terjatuh dengan deras.
"Papa.. papa.." Shellyn tidak kuasa untuk berkata lagi. Dia mengumpulkan tenaganya untuk mengatakan hal sebenarnya.
"Waktu itu, bisnis papa berantakan. Aku bilang ke papa.. kalau aku akan menunda kuliah. Tapi.. papa minta aku.. untuk ikut tes. Di hari itu papa kecelakaan hingga kehilangan penglihatannya." Shellyn mengatakan hal itu dengan terisak. Dadanya sakit mengingat kejadian pahit itu.
"Akhirnya aku mutusin buat kerja. Aku kerja di Coffee Shop milik Sam." Shellyn melirik Sam yang ada di sampingnya. "Sehari-hari papa hanya mendengarkan radio kesayangannya dan berharap dapat bertemu kamu, Sher. Suatu hari, ponselku tertinggal, papa berniat menyusulku. Sial. Hari itu papa mengalami kecelakaan lagi. Nyawanya tidak bisa tertolong." Shellyn menyeka air matanya.
"Ini semua salah aku kan, Sher?" Sheryn menggeleng.
"Berhenti terus menerus menyalahkan dirimu sendiri, Shellyn. Bukannya kamu udah bilang, kamu gak akan ingat kejadian itu lagi?" timpal Sam. Selama ini, Sam selalu memerhatikan Shellyn dan selalu menjadi pendengar baik. Bagas yang mendengarnya merasakan ketulusan yang terpancar dari diri Sam.
"Kenapa kamu gak hubungi aku, Shell?" tanya Sheryn.
"Ponsel lama rusak. Semua kontak ada di sana. Maaf, Sher."

Sheryn memeluk Shellyn erat. Keduanya menangis. Ternyata mereka sama-sama memiliki cerita tersendiri selama berpisah.

***

Sore itu, Shellyn mengantar Sheryn ke makam ayahnya. Kesedihan menyelimuti mereka. Andai saja waktu dapat diulang, mungkin hal ini tidak akan terjadi.

Hidup memang rahasia. Semua orang tidak tahu apa yang akan terjadi. Kebahagiaan, kesedihan, kekayaan, kemiskinan, kehidupan, kematian, semuanya telah ditentukan oleh sang maha pencipta. Tugas kita di dunia adalah beribadah dan melakukan kebaikan.

***

Keesokan harinya, para relawan bekerja ekstra karena bumi bergoncang kembali. Untungnya tidak memakan banyak korban. Hubungan Shellyn dan Sheryn sudah membaik. Keduanya bekerja sama untuk membantu para korban.
"Dua belas, tiga belas, empat belas," hitungan Shellyn terhenti. Ke mana perginya satu anak lagi?
"Aldi, kamu lihat Doni?" Aldi menggeleng. Shellyn mendapat feeling yang kurang baik. Doni ini kehilangan ibunya, sedangkan sang ayah sedang dirawat akibat mengalami patah tulang.
"Sam, kamu tahu Doni di mana?"
"Enggak."
"Gawat! Doni hilang."

Sam dan Shellyn panik. Keduanya segera berpencar untuk mencari Doni. Sheryn pun ikut membantu. Menurut anak-anak yang lain, terakhir mereka melihat Doni sedang mengambil air wudhu di sebuah musolla di bawah lapangan posko pengungsian.
"DONIIII!" Mereka saling berteriak memanggil Doni.

Shellyn memasuki musolla, berharap Doni ada di sana. Sheryn pun mengikuti dari belakang. Shellyn melihat sebuah pintu lemari tempat menyimpan sound system musolla yang bergetar. Sepertinya ada orang di dalam.

Benar saja ketika Shellyn membukanya, Doni sedang pulas dengan posisi badan yang terhimpit karena sempitnya ruang.
"Doni?" Doni terkesiap.
"Kak Shellyn?"
"Kamu kenapa di sini?"
"Aku takut kak."

Shellyn pun mengeluarkan Doni lalu berniat membawanya keluar. Namun, tepat saat itu, bumi kembali bergetar cukup kencang. Semua mulai panik. Ketika Shellyn akan keluar melalui pintu, sebuah kayu penyangga pintu itu terjatuh. Pondasi musolla tersebut sudah tidak kuat menahan kencangnya getaran yang terjadi.
"Kamu harus tenang, kita keluar bareng-bareng ya. Kakak bakal gendong kamu." Shellyn tahu yang dia butuhkan saat ini hanyalah ketenangan karena jika dirinya panik tentu akan menghambat segalanya bahkan mungkin dirinya tidak selamat.

BRAAKKKK!!!!
Sebagian bangunan tersebut mulai roboh. Shellyn menggendong anak itu dengan cekatan dan berlari ke luar. Untungnya dia selamat.
Shellyn berlari ke tempat pengungsian. Posisi musolla yang berada di dataran rendah itu membuatnya tertutup oleh tanah yang longsor. Keadaan saat itu sangat kacau.
"Alhamdulillah, aku masih diberi keselamatan." Shellyn bersyukur dirinya selalu dilindungi. Namun dia merasa bagian perutnya ngilu. Shellyn meringis pelan. Bagas yang melihat Shellyn sedang memegangi perutnya, teringat mengenai ginjalnya yang saat ini tersisa satu. Dia pun menghampiri.
"Minum dulu, Shell." Bagas memberikan air mineral pada Shellyn.
"Makasih, Gas."
"Perut kamu kenapa, Shell?"
"Enggak tahu ini tiba-tiba ngilu banget."
"Kamu gak apa-apa kan?"
"Enggak.."

Tapi tunggu..
"SHERYNNN!!!"

Shellyn ingat tadi dia melihat Sheryn mengikutinya di belakang. Shellyn kembali berlari menuju musolla. Di lihatnya bangunan itu sebagian tertutup oleh tanah hingga beberapa bagian roboh.
"Shell mau ke mana?" Bagas menahan Shellyn agar tidak masuk ke dalam musolla. Hal itu berbahaya karena khawatir gempa susulan akan terjadi kembali dan mengakibatkan roboh seluruhnya.
"Sheryn, Gas. Dia masih di dalem."
"Tapi kamu gak bisa ke sana."
"Tapi Sheryn ada di sana, Gas!!!"

Shellyn menangis. Dia tidak siap ditinggalkan oleh orang yang dicintainya untuk kedua kalinya.

SELESAI.

YAAAAA SELESAI JUGAAAAAA!!!
Makasih banyak buat kalian yang baca sampai akhir.
Spesial aku kasih epilog yaa setelah ini😊

S I N A R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang