13 - Kecewa

85 7 0
                                    

Kecelakaan itu merenggut nyawa sang papa. Ia menghembuskan napas terakhirnya ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit. Saat ini penyesalan menghampiri Shellyn. Andai saja dirinya tidak ceroboh, mungkin papanya kini sedang mendengarkan radio kesayangannya.

Shellyn hanya bisa menangis dan menangis. Kini tubuhnya lemas di hadapan nisan orang yang sangat dicintainya itu.
“Pa, Shellyn janji, Shellyn akan jadi pilot yang dapat mengendalikan pesawat dengan sungguh-sungguh. Semoga papa tenang di sana.”

***

Seminggu kemudian, mama Shellyn berangkat menuju Medan karena mendengar kabar bahwa mantan suaminya itu telah meninggal. Satu hal yang diinginkannya saat ini, Shellyn harus mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.

Hari ini Coffee Shop milik Sam cukup ramai. Shellyn hampir kewalahan melayani pengunjung. Senyum yang tadinya merekah, hilang tiba-tiba saat dirinya melihat seorang wanita berjalan ke arahnya bersama seorang pria.
“Ma.. mama.” Sang mama hanya tersenyum kecil.
“Es Americano dua ya,” ucap mamanya. Pipi Shellyn memanas. Bagaimana bisa mamanya itu tampak santai memesan kopi bersama seorang pria?
“Shellyn, bisa kita berbicara sebentar?”  Shellyn melirik Sam yang sedari tadi ada di sampingnya. Sam mengangguk.

Setelah membuatkan kopi pesanannya, Shellyn duduk bersama sang mama. Pikirannya melayang menerka-nerka apa yang akan diketahuinya sekarang.
“Langsung aja ya Shell, barusan mama dari makam papa kamu. Oh ya, kenalin ini suami mama sekarang.” Shellyn membelalakan matanya tak percaya.
“Ada hal yang perlu kamu ketahui mengenai keluarga kita. Sebenarnya sebelum kembaran kamu sakit, mama sudah menikah. Hal yang kita lewati bersama itu semata-mata agar kamu dan kembaranmu bahagia.” Air mata Shellyn tak tertahan mendengar kalimat menyakitkan itu.
“Beberapa hari kita pernah tinggal serumah sebelum memutuskan untuk pindah dan berbeda kota, mama selalu merasa berasalah. Mama tidak bisa membuat kalian bersedih, tapi mama juga tidak bisa membohongi perasaan mama sendiri.”

Dengan perasaan marah, Shellyn mendengar penjelasan demi penjelasan yang disampaikan mamanya itu.
“Kenapa mama gak bilang dari awal?” tanya Shellyn dengan suara parau.
“Sudah mama bilang itu buat kebahagiaan kalian.”
“Bahagia di awal, tapi menderita di akhir? Itu yang mama mau?”
“Enggak gitu, Shell.”
“Shellyn bener-bener kecewa. Semoga mama bahagia dengan pasangan mama.”

Shellyn berlari meninggalkan Coffee Shop milik Sam dengan perasaan kecewa dan marah yang luar biasa. Ternyata inilah alasan mengapa dirinya sulit menghubungi Sheryn dan mamanya.

***

Keesokan harinya, Shellyn mengirimkan pesan pada Sam bahwa dirinya izin tidak dapat bekerja. Semalam Shellyn telah memutuskan untuk mencari tempat kos agar biaya sewa tidak terlalu mahal. Dirinya menyadari bahwa walaupun tidak memiliki siapa-siapa lagi, kehidupannya harus tetap berjalan.

Tok tok tok.
Shellyn yang sedang mengemas barang-barangnya beranjak menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Namun ketika pintu itu terbuka, air mukanya berubah.
“Ternyata kamu tinggal di sini.” Shellyn mendelik. Dirinya tahu apa yang dilakukannya salah, namun rasa kecewa terhadap mamanya itu terlanjur menguasai.
“Kamu tidak mempersilakan mama masuk?”
“Hmm.” Shellyn berbalik. Sementara sang mama dengan suami barunya mengikuti dari belakang.

Ketika memasuki kontrakan kecil itu, mama Shellyn terpaku melihat foto-foto yang masih dipajang di dinding. Memorinya terbang kembali pada saat liburan bersama di Jakarta itu.

Flashback
Setelah sarapan pagi bersama dilanjutkan dengan jalan-jalan santai di sekitar pantai, keluarga yang terlihat kompak dengan baju yang berwarna putih ini melakukan sesi foto. Tak lupa wefie menjadi hal yang penting untuk menjadi obat dikala rindu datang.
“Ayo bilang AAAA!”
“AAAAAAAA.” Shellyn dan Sheryn kompak membuka mulutnya saat berfoto bersama. Kemudian mereka melihat hasilnya lalu tertawa bersama karena wajah mereka terlihat lucu.
“Sekali lagi ah. Ekspresi papa jelek banget.”
Mereka terus menerus mengambil foto bersama.
Flashback end

Perlahan senyum pedih menghiasi wanita paruh baya itu. Matanya menangkap sebuah radio yang tersimpan di lemari. Lalu memegangnya.
“Sebelum papa meninggal, papa kehilangan penglihatannya. Radio itu yang selalu menemani hari-hari papa,” ujar Shellyn.
“Mungkin Shellyn terlalu bodoh, selama ini menunggu kembalinya keluarga kita.” Shellyn menatap tajam ke arah mamanya.

Merasa ditatap tajam, mamanya melihat ke arah Shellyn. “Kenapa kamu menatap mama seperti itu?”
Shellyn berdecak.
“Mama egois.”
“Apa kamu bilang?”

***

Tahun ajaran baru telah dimulai. Setelah mengikuti ospek, akhirnya Sheryn resmi menjadi seorang mahasiswi. Bukan hal yang mudah ternyata karena dirinya harus ekstra belajar.

Sheryn bersyukur dapat bertemu Bagas kembali.  Menurutnya, Bagas mirip seperti Shellyn karena selalu membantunya di kala kesusahan.
“Sher, kamu masih belum dapat kabar Shellyn?” tanya Bagas yang kini sedang berkutat dengan game di ponselnya.
“Ya. Aku udah coba cari dia lewat media sosial tapi nihil. Akhir-akhir ini aku selalu kepikiran Shellyn terlebih papa. Aku khawatir keadaan mereka sekarang gimana ya?” Bagas mematikan ponselnya lalu melirik Sheryn.
“Aku yakin mereka baik-baik saja.”

***

Minggu sore yang cukup cerah, Shellyn kembali bekerja. Untungnya, Shellyn mendapatkan tempat kos yang tidak jauh. Setelah kedatangan mamanya beberapa waktu lalu, membuat Shellyn yakin untuk hidup sendiri. Hari itu seharusnya Shellyn ikut bersama sang mama ke Surabaya, namun Shellyn hanya meluapkan kekecewaannya dan meminta sang mama untuk meninggalkannya. Setidaknya dia butuh waktu untuk sendiri. Sebelum pergi, sang mama meninggalkan sejumlah uang untuk biaya hidup Shellyn beberapa minggu ke depan.
“Kamu baik-baik aja Shell?” tanya Sam khawatir mengingat kejadian di tempatnya waktu itu.
“Baik kok.” Shellyn tersenyum ceria.
“Syukurlah.”

***

Sebelum pulang ke Surabaya, sang mama mampir terlebih dahulu ke Jakarta untuk melihat anaknya yang baru saja kuliah. Sudah hampir satu jam namun Sheryn belum juga keluar dari kampus, padahal jadwal  Sheryn pada hari itu seharusnya sudah selesai.
“Mama?”
Seseorang menyapa. Ya. Itu Sheryn.
“Kenapa mama ada di sini?” tanya Sheryn.
“Gimana kuliah kamu? Lancar?”
“Alhamdulillah.”
“Mama sendiri?” Sheryn celingukan mencari keberadaan papa tirinya. “Ah…” Sheryn mengangguk setelah melihat pria yang sedang duduk di bawah pohon.
“Ma, mama tahu kabar Shellyn sama papa?” tanya Sheryn penasaran.
“Udah. Sekarang kamu gak usah tanya-tanya mengenai mereka.”
“Kenapa?”
“Mereka gak mau ketemu kamu lagi. Kemarin mama dari Medan.”
“Hah? Maksudnya?”
“Sekarang kamu fokus aja sama kuliah kamu. Jangan pikirin yang lain.”
“Tapi ma, apa Shellyn tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ya. Dan responnya sama seperti kamu. Dia tidak terima. Bahkan mama diusir. Mama heran kenapa Shellyn berubah seperti itu.”

Sheryn sangat tidak mengerti apa yang dimaksud mamanya. Kenapa Shellyn dan papa tidak mau bertemu dengannya lagi? Kemarin mamanya dari Medan? Tiba-tiba? Ada apa?

***

Bersambung.

S I N A R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang