11 - Derita

206 11 0
                                    

Shellyn terduduk lemah di pinggir lorong rumah sakit. Perasaannya hancur melihat sang papa terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit. Berulang kali Shellyn menghubungi Sheryn, tetapi nihil, nomornya masih tidak aktif.

Dokter muda itu keluar dari ruang UGD. Cepat-cepat Shellyn menghampirinya dan menodongnya dengan berbagai pertanyaan.

***

Di lain tempat, Sheryn sedang melihat album fotonya di laptop. Tiba saat melihat foto saat dirinya menghabiskan waktu bersama keluarga di pantai di daerah Jakarta Utara, senyum pedih menghiasi wajah manisnya. Tak terasa air mata menetes dari bola matanya.
"Ujiannya lancar, Shell?" lirih Sheryn seraya menyentuh wajah Shellyn di layar laptopnya.

***

Mulut Shellyn tak berhenti melafalkan doa untuk kesembuhan papanya. Berbagai penyesalan dirasakan oleh Shellyn. Andai saja tadi dia yang membeli air mineral, andai saja tadi dia melarang papanya mengantar, andai saja dia benar-benar tidak berangkat untuk ujian seleksi. Sudah berjam-jam papanya belum siuman membuat Shellyn sangat cemas.

Tak terasa, Shellyn menyandarkan kepalanya pada pinggir ranjang tempat papanya tak berdaya. Perlahan tangan papanya bergerak menyentuh kepala putrinya yang sudah lelap di sampingnya. Merasa ada yang menyentuhnya, Shellyn membuka matanya.
"Papa!"
"Shellyn, kamu di mana?" tanya sang papa seraya tangannya seperti sedang mencari sesuatu.
"Shellyn di sini, pa." Shellyn menyentuh tangan papanya .
"Mati lampu ya, Shell? Kok gelap?"

Shellyn tak kuasa menahan air matanya. Dokter tadi menyebutkan, ada kemungkinan penglihatan papanya itu akan mengalami gangguan yang disebabkan rusaknya jaringan otak yang memproses citra, sehingga mata tidak dapat melihat. Kerusakan tersebut karena terjadi benturan pada bagian belakang kepala saat kecelakan tersebut terjadi.
Shellyn terisak. Bagaimana dia akan tega melihat kondisi papanya seperti ini. "Anak papa kenapa nangis?"

***

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, tiba saatnya untuk pulang. Shellyn sangat senang karena bisa menghabiskan waktu bersama sang papa di rumah kontrakan yang kecil itu. Shellyn pun dengan senang hati, membuat masakan kesukaan papanya, yaitu perkedel kentang. Dengan semangat, papanya itu melahap habis perkedel yang dibuat Shellyn.
"Shellyn, apa Sheryn dan mama tahu keadaan papa sekarang?"
"Kayaknya nomor mama dan Sheryn udah ganti. Dari kejadian itu, Shellyn terus menerus coba menghubungi Sheryn dan mama tapi nihil. Terakhir kali Sheryn kirim pesan itu pas kelulusan sekolah."
"Shell."
"Ya, pa?"
"Maafin papa ya, karena kecelakaan itu, kamu jadi gak ikut ujian seleksi perguruan tinggi yang kamu inginkan dari dulu."
"Harusnya Shellyn yang minta maaf, pa. Andai saja-"
"Itu bukan salah kamu. Semua sudah ada takdirnya. Kamu mau ikut ujian mandiri?"
"Enggak, pa. Untuk tahun ini, Shellyn ingin kerja dulu. Shellyn ingin bantu papa. Shellyn gak mau papa kecapean. Pa, Shellyn boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Papa dan mama lagi ada masalah apa?"
Merasa papanya tidak merespon, Shellyn melanjutkan, "Oh ya pa, nanti Shellyn buat perkedel lagi ya." Shellyn langsung mengalihkan pembicaraan karena melihat kondisi sang papa yang tidak memungkinkan untuk ditanya hal itu.

***

Untuk makan sehari-hari, Shellyn membantu bu Susi -tetangganya- berjualan bubur ayam di pagi hari. Setidaknya dia dan papanya tidak kelaparan.

Sang papa yang kini kehilangan penglihatannya itu hanya bisa duduk sambil mendengarkan radio untuk mengisi hari-harinya.

***

Setelah menimbang kalau uang hasil membantu berjualan bubur ayam tidak cukup, Shellyn memutuskan untuk mencari pekerjaan yang mungkin bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hari ini Shellyn sudah siap dengan beberapa map yang akan dikirimnya untuk mencari pekerjaan. Susah memang menjadi lulusan SMA yang langsung mencari pekerjaan. Setelah menunggu seminggu, hanya ada tiga pekerjaan yang menunggunya untuk proses wawancara.

S I N A R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang