14 - Musibah

93 6 0
                                    

Setiap orang berhak berubah. Pasti ada penyebab di balik perubahan itu sendiri. Mungkin seseorang berubah untuk beberapa alasan yang tidak diketahui orang lain. Kita tidak dapat menyimpulkan suatu hal hanya dari satu sudut pandang. Bisa jadi apa yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang kita pikirkan.

***

Menjadi seorang anggota himpunan bukan hal yang mudah. Terlebih lagi Sheryn adalah seorang junior di organisasinya. Terkadang dirinya harus pulang larut malam karena melaksanakan rapat.

Ketika Sheryn mendapat waktu luang, dia mengambil bekerja paruh waktu bersama teman kosnya. Hal-hal seperti membagikan brosur, membersihkan kafe, atau menjual makanan di kampus menjadi hal yang biasa. Walaupun penghasilannya tidak seberapa, setidaknya dia bisa menambahkan uang saku untuk kehidupan sehari-hari.
“Sher, mau dong. Dua ya,” ujar Bagas yang tiba-tiba datang dengan seragam basketnya. Memang, dari zaman sekolah Bagas tergila-gila dengan olahraga basket. Kini dia bergabung bersama tim kampusnya.
“Risolesnya habis, Gas. Tinggal putu ayu sama lemper.” Sheryn sudah tahu apa yang biasa Bagas pesan.
“Ya udah lemper aja.”
Sheryn memberikan lemper kepada Bagas. Tak lupa Bagas membayarnya.
“Habis latihan, Gas?”
“Iya. Capek banget.”
“Nih, minum dulu. Masih baru. Habisin aja.” Sheryn memberikan air mineral yang masih disegel.
“Enggak usah. Tar aku beli di kantin.”
“Ini aja. Aku duluan ya kejar setoran dulu.”
“Eh.”

*** 

Berbulan-bulan hidup sendiri ternyata dapat dilewati oleh Shellyn. Bekerja di pagi hari dilanjut sore hari menjadi rutinitasnya. Hubungan antara Shellyn dengan mamanya pun bisa dikatakan kurang baik. Shellyn tidak membenci melainkan masih kecewa dengan apa yang sudah terjadi.

Bagaimanapun seorang ibu tetaplah ibu bagi anaknya. Sebulan sekali mamanya mengirimkan sejumlah uang untuk biaya hidupnya.  Sebenarnya Shellyn tidak ingin mamanya terus menerus mengirimnya uang. Namun Shellyn bingung harus mengatakannya melalui apa. Terakhir bertemu ketika di kontrakannya itu, Shellyn lupa tidak meminta nomor telepon.

Sepulang dari Coffee Shop, Shellyn mampir ke mini market untuk membeli beberapa mi instan karena persediannya sudah habis. Namun ketika dia sedang membayar di kasir, tiba-tiba barang berjatuhan. Shellyn merasa lantainya bergoyang. Semua orang panik berhamburan ke luar.  Suasana mulai resah. Beberapa bangunan mulai roboh karena getaran yang kencang itu.

“LARIII!!!” Seseorang berteriak agar orang-orang menjauhi bangunan agar tidak tertimpa reruntuhan.
Shellyn berlari sekencang mungkin. Kejadian itu sangat cepat. Tubuhnya bergetar sambil melafalkan kalimat tahlil.
“AWAAAAASSSS!!!” Shellyn berlari cepat meraih seorang anak yang hampir tertimpa sebuah rantin pohon yang cukup besar.  Keadaan itu sangat kacau. Semua orang sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
“Ya Allah selamatkan kami.”

***

Pagi hari sebelum berangkat ke kampus, Sheryn membaca berita mengenai gempa bumi yang terjadi di kota kembarannya itu berada. Dadanya sesak memikirkan apa yang terjadi. Sheryn bingung harus menghubungi Shellyn bagaimana. Berkali-kali Sheryn menghubungi sang mama, namun nihil tidak ada jawaban.

Di sisi lain, Shellyn bersyukur dapat selamat dari bencana tersebut. Kini dirinya ikut membantu di posko pengungsian.

***

Rapat yang sangat dadakan membuat Sheryn harus berlari setelah menuntaskan kelas. Rapat itu membahas bantuan untuk korban bencana. Mendengar hal itu, Sheryn berharap dirinya dapat ikut ke lokasi kejadian.

Sayang seribu sayang, ketua himpunan tidak mengizinkan anggota perempuannya untuk berangkat ke lokasi. Berbagai alasan Sheryn utarakan agar dapat ikut supaya dirinya dapat bertemu Shellyn. Namun, dirinya tetap kalah.

Setelah mengumpulkan bantuan berupa uang dan sembako dari para mahasiswa selama beberapa hari, Sheryn terduduk lesu di bangku kantin. Dia mengaduk-ngaduk minumannya sambil berpikir hal apa yang bisa membawa dirinya untuk bertemu si kembaran.
“Sher!” Bagas duduk di hadapan Sheryn. Namun Sheryn masih tetap diam.
“Sher!” Bagas melambaikan tangan di wajahnya. Sheryn terkesiap.
“Eh? Kenapa?”
“Belum pulang?” Sheryn menggeleng.
“Pulang gih. Siap-siap. Besok kita ke Medan.”
“Hah?”
“Hah hah mulu kayak tukang keong. Katanya mau ketemu Shellyn, siap-siap gih. Besok pagi kita berangkat.”
“Aku kan gak bisa ikut.”
“Nih liat.” Bagas memberikan ponselnya. Sheryn membaca pengumuman yang diberikan oleh ketua himpunan. Matanya membulat.
“Beneran?”
“Aktifin dong ponselnya biar gak ketinggalan info.”
“Kok bisa?”
Bagas memang bukan anggota himpunan. Dirinya bergabung bersama KSR di kampusnya. Ada beberapa orang saja yang ikut sebagai perwakilan dari organisasi. Namun sebenarnya, Bagas membujuk ketua himpunan dengan segala cara agar memasukkan nama Sheryn sebagai perwakilan. Memang, ketua himpunan tersebut adalah sepupu Bagas sendiri.

***

“Pelajaran hari ini telah selesai. Besok kita belajar lagi ya,” kata Shellyn dengan senyum khasnya. Anak-anak di hadapannya tampak bersemangat. Setelah kejadian gempa bumi beberapa hari yang lalu, Shellyn ikut membantu para relawan di posko pengungsian. Tugas utama Shellyn adalah mengajar anak-anak SD yang kini tidak bisa lagi sekolah karena keadaan sekitar belum pulih pasca gempa.

Shellyn tersenyum pedih melihat anak-anak itu. Di umurnya yang masih belia, mereka harus merasakan kehilangan keluarga, kehilangan teman, dan kehilangan tempat tinggal. Hal ini mengingatkan Shellyn saat dirinya mengajar anak jalanan. Dia ingat betul ketika itu, dirinya harus meninggalkan Sheryn yang sedang sakit di rumah.

“Shell, habis ini bantu ke dapur ya,” perintah Sam.

Memang, Sam juga ikut bergabung untuk membantu para korban. Mengenai usahanya, Sam terpaksa harus merelakan karena bangunannya runtuh akibat pondasinya yang kurang kuat menahan guncangan gempa saat itu. Shellyn pun pergi ke dapur untuk membantu para relawan yang sedang memasak. 

Setelah makanan siap, Shellyn berjalan sambil melihat keadaan sekitar. Tempat itu berupa lapangan yang cukup luas, sehingga dapat menampung masyarakat sekitar.
“SHELLYN!” Mendengar namanya dipanggil, Shellyn membalikkan badan. Tubuhnya terpaku.
“She—ryn?”

***

Bersambung.

S I N A R ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang