BAB 3

66 14 9
                                    

"Sebenarnya ...." Noah sengaja menggantung ucapannya. Cowok itu memperhatikan Clarice yang sedang memejamkan mata rapat-rapat sambil melontarkan umpatan-umpatan kebodohan. "Ya."

Tiba-tiba Clarice mendongak secepat kilat. "Oh my God. Benarkah?"

Noah mengangguk sekali.

Clarice menggaruk tengkuknya, kemudian menggigit pipi bagian dalam, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat. "Ehm ... Noah. Sebenarnya, aku belum pernah merasakan hal yang seperti itu kepadamu. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai ...."

"Aku tahu kau hanya menganggapmu sebagai teman," tukas Noah cepat. "Aku juga tidak tahu mengapa aku memikirkan hal-hal seperti itu, waktu aku menulis surat tersebut."

"Aku menganggapmu lebih dari sekadar teman. Kau seperti kakakku sendiri. Kau sering datang setelah ibuku bekerja di San Fransisco. Kau mengisi kekosongan hidupku, dan kau sudah terasa seperti bagian dari keluargaku sendiri ...." Clarice mencoba menjelaskan semuanya. Namun, kata-katanya terhenti setelah itu. Ia baru sadar bahwa seharusnya ia membaca teknik menolak cowok-yang-merupakan-sahabatmu-sendiri di Google sebelum mengungkit pembicaraan ini.

"Wow ... aku tersanjung untuk hal itu." Noah pun memecahkan suasana.

"Yeah ... tapi aku tak pernah menganggapmu sebagai sesuatu yang seperti ... 'itu'—kau tahu." Clarice merasa batu karang yang menyumbat tenggorokan atau dadanya terpental keluar. Atau mungkin merasa seperti seseorang yang menderita penyakit batu ginjal berhasil mengeluarkan batu ginjalnya tanpa operasi. Ia lega, bahwa dengan membicarakan hal ini langsung dengan Noah, segala kepenatannya langsung hilang. Hubungan platoniknya dengan Noah adalah hal yang paling berarti. Noah selalu dapat membuat hal-hal merepotkan menjadi terkesan santai.

"Aku mengerti. Surat itu pasti akan membuat semuanya canggung. Surat itu tidak seharusnya dikirim," ujar Noah.

"Oke. Berarti kita tidak perlu melibatkan surat-surat itu lagi dalam hubungan pertemanan kita, kan?" tanya Clarice memastikan. Ia memicingkan mata menunggu jawaban.

"Tepat. Biarkan semuanya berjalan seperti biasa."

***

Sepanjang perjalanan Clarice naik mobil, hal yang paling sulit dilakukannya adalah untuk ateret mobilnya secara sempurna di garasi. Garasi rumahnya hanya selebar dua setengah meter, sementara mobilnya selebar hampir dua meter. Gadis itu sudah berkali-kali maju mundur untuk mendapatkan posisi yang pas. Namun, posisi mobilnya masih saja miring dari garis garasi.

Krakk .... Terdengar bunyi sesuatu yang pecah di belakang mobil Clarice.

"Oh, shit!" umpat Clarice sambil memukul setirnya sebal. Tanpa sengaja, ujung telapak tangannya menyentuh bagian klakson, dan mobilnya pun berbunyi nyaring dengan suara yang sama sekali tidak enak didengar—bunyi klakson mobilnya memang semenyebalkan itu.

Tetangga depan rumahnya, seorang janda paruh baya yang bernama Ms. Rachel membuka jendela rumahnya. Kerut-kerut di wajahnya semakin berkedut selagi wanita itu menggertakkan gigi. "Jaga temperamenmu, Clarice," ucap Ms. Rachel sembari menggigiti cerutunya. Wanita itu pun menutup kembali jendelanya dengan sedikit bantingan dan gerutuan. "Anak muda yang merepotkan."

Clarice menurunkan jendela mobilnya. "Baiklah. Maaf mengganggu Anda, Ms. Rachel," sahut Clarice malas. Ia memajukan mobilnya lagi, dan bunyi sesuatu yang dipecahkannya di belakang kembali berderak.

Gadis itu buru-buru memarkirkan mobilnya secara asal-asalan. Tidak peduli. Mobilku tidak harus lurus. Yang terpenting hanyalah masuk ke garasi dan tidak menghalangi jalan, pikir Clarice sambil turun dari mobilnya. Ia berlari kecil menuju sebuah pot yang terguling di pinggir halaman rumahnya. Pot bunga lavender ungu yang ditanam ibunya sejak tiga tahun lalu. Tanah dalam pot itu sudah tumpah ke halaman rumah, sementara bunga lavendernya terkulai tertindih tanah. Clarice memperhatikan kondisi potnya dari jarak dekat, dan ia mendapati bahwa bagian bawah pot telah retak sebagian.

Dear Clarice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang