BAB 11

23 5 2
                                    

"Clary, Clary ...." Jefferson terus mengejar Clarice yang berjalan menuju pintu keluar aula. Tetapi, entah karena Clarice memang tidak mendengar atau berpura-pura tidak mendengar, gadis itu tetap berjalan cepat. Hingga akhirnya, Clarice berhasil meraih handle pintu, kemudian keluar dari ruangan aula hotel tersebut.

"Clary, maaf." Kali ini, Jefferson benar-benar yakin bahwa Clarice pasti mendengar suaranya, karena mereka sudah berada di luar lokasi pesta sekarang.

Clarice berhenti di depan pintu, kemudian menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. "Kau tidak perlu meminta maaf untuk sesuatu yang tidak kau lakukan," tukas Clarice dingin.

"Bukan. Itu kesalahanku karena tidak menjaga imagemu di depan Ronald. Cowok itu memang suka bercanda. Aku minta maaf," ujar Jefferson sambil menundukkan kepalanya.

Clarice mengangguk singkat, kemudian berbalik membelakangi Jefferson. Clarice merasakan matanya mulai memanas, dan pandangannya semakin buram karena beberapa tetes air mata yang menggenang di pelupuknya. Clarice menengadah ke atas, mengibaskan tangannya di depan mata supaya air matanya tidak benar-benar menetes. Tidak. Ia tidak akan menangis di hadapan Jefferson, cowok yang baru saja ditemuinya.

Menurut novel P.S. I Like You karya Kasie West yang dibacanya, seorang gadis tidak boleh menangis di hadapan cowok sebelum kencan ketiga. Karena cowok biasanya akan merasa canggung jika melihat seorang gadis menangis. Terlepas dari ini kencan ketiga atau kencan kesekian, Clarice tidak ingin membuat Jefferson salah tingkah. Sesuatu yang menyebabkan dadanya terasa sesak bukan disebabkan oleh Jefferson, dan bukan kewajiban cowok itu untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya di hadapan Clarice sekarang.

"Clary ...," panggil Jefferson sambil menyentuh bahu Clarice dengan berhati-hati. "Maaf." Sekali lagi, Jefferson meminta maaf dengan suara paraunya yang lirih.

Clarice tak tahan lagi dengan ini. Ia sudah tak dapat menahan air matanya dan tak tahan mendengar Jefferson terus meminta maaf. Clarice pun berbalik dan menghadapi Jefferson, dengan matanya yang memerah. "Kubilang bahwa itu bukan kesalahanmu, jadi jangan minta maaf. Jangan bersikap terlalu menyedihkan, Jeff."

"OMG, Clary. Mengapa kau menangis?" Jefferson segera mengusap air mata yang menetes perlahan-lahan di pipi Clarice.

Clarice menghela napas, kemudian menghapus seluruh air matanya sendiri serta menyingkirkan tangan Jefferson dari pipinya. "Aku tidak mungkin masih bisa tertawa santai jika baru saja ada seorang cowok yang mengajakku berkencan satu malam, kan? Itu mengerikan. Bahkan mimpi terburukku tidak pernah memikirkan tentang hal-hal seperti itu," ujar Clarice sambil bergidik ngeri.

"Maaf, Clary. Aku mengerti ketakutanmu."

"Dan, sstt ... jangan banyak bicara padaku. Aku sudah merasa cukup baik dengan adanya kau di dekatku. Jangan mengatakan kata-kata menyedihkan seolah aku tak akan pernah bangkit dari ancaman tadi." Clarice mendesis sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

"Okay," jawab Jefferson ragu. Kemudian, Clarice menarik tangan Jefferson—serileks seperti saat ia menarik tangan Noah—untuk kembali memasuki ruang aula. "Sudah cukup baik untuk kembali masuk ke pesta TGIF?"

Clarice mengangguk mantap, lalu menarik handle pintu. "Asalkan kau menjamin bahwa aku tidak akan bertemu dengan Patterson itu."

"Haha ... baiklah. Kau gadis yang kuat, Clary," sahut Jefferson sambil mengikuti Clarice.

***

"Begini. Aku hampir tidak percaya bahwa kau dan Miracle berhasil meyakinkanku untuk datang ke pesta TGIF ini," ucap Clarice sambil menumpangkan kaki kanan di atas lutut kirinya.

Dear Clarice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang