Clarice menaikkan kedua alisnya. "Kebiasaan apa?" ulang Clarice. Gadis itu menggigiti apple pienya sambil memandang Jefferson dengan penasaran.
Jefferson terdiam sejenak. "Bukan apa-apa," jawabnya kemudian.
Clarice yang telah menahan napas sambil menunggu jawaban itu akhirnya mendengus sebal. "Baiklah. Kau memang tidak pernah menceritakan apa pun kepadaku. Yeah ... aku terlalu polos untuk memahami konflikmu," kesal Clarice.
"Bukan begitu maksudku. Masalahnya, ini tentang masa lalu dan masaku yang sekarang. Tak seorang pun mengetahui apa yang sedang kualami," jawab Jefferson cepat.
"Aku mengerti." Tetapi Jefferson tahu bahwa Clarice tak mengerti apapun. Cowok itu hanya membiarkan Clarice menghabiskan apple pienya dengan lahap, kemudian lanjut mengambil muffin dari toples kaca besar.
Ketika Clarice menghabiskan gigitan terakhir muffinnya, tiba-tiba alunan musik dansa waltz ala Johann Strauss II berubah menjadi musik dari era romantik yang temponya lebih lambat—instrumen lagu La Donna é Mobile (Sang Wanita yang Lincah) ciptaan Giussepe Verdi.
"Ada apa ini, Jeff?" tanya Clarice sambil menepuk-nepuk tangannya beberapa kali untuk membersihkan remah-remah muffin. Puluhan pasangan dari beberapa generasi segera berkumpul di tengah aula, membentuk formasi dansa.
"Aku tak yakin, karena aku bukan pemilik acaranya. Tapi, kupikir ini pesta dansanya," jawab Jefferson sambil bersedekap tak acuh.
"Apa? Pesta dansa?" ulang Clarice tak percaya. Jefferson hanya mengedikkan bahu untuk menanggapi pertanyaan tersebut. "Hei, tapi kau tidak ...."
"Hai, anak-anak muda. Kami ingin melihat kalian berdansa," ucap Mr. Royce yang tiba-tiba muncul menghampiri Jefferson dan Clarice.
Clarice benar-benar terkejut mendengar hal itu. Tetapi, ia memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengar apa pun dan terlihat menikmati puluhan pasangan yang berdansa di tengah koridor ruang tamu.
"Apa?" tanya Jefferson malas.
"Kau sudah berjanji pada Daddy bahwa kau akan membawa cewek untuk berdansa bersama," tuntut Mr. Royce. Sementara itu, Clarice tetap diam di tempatnya sambil membelalak bingung.
"Oh, Daddy. Clary tidak akan mau berdansa," dalih Jefferson sambil mengerang sebal.
"Tidak, tidak. Semua yang berpasangan harus berdansa," tegas Mr. Royce sambil mendorong punggung Clarice dan Jefferson menuju ke tengah ruangan.
"Tapi aku bukan pasangannya, Sir," sergah Clarice sambil berusaha kembali ke dekat meja hidangan.
Di belakang mereka, Mr. Royce mendesis sambil mengibaskan tangannya untuk menyuruh kedua remaja itu berdansa. Ketika mereka berdua telah bergabung dalam formasi dansa, barulah Mr. Royce pergi.
"Cl ... Clary ... aku ...." Ini pertama kalinya Clarice melihat Jefferson tergagap ketika berusaha bicara.
"Masalahnya adalah bahwa aku tidak tahu cara berdansa," tukas Clarice sambil berdiri kaku.
Tiba-tiba, Clarice melihat binar di mata Jefferson. Clarice bahkan tidak memercayai pandangannya sendiri, karena binar itu muncul terlalu tiba-tiba. "Oke. Aku tahu bahwa kau tidak ingin berdansa. Tapi, jika aku mengajarimu berdansa, berarti kau akan menerimanya, kan? Tadi katamu masalahnya adalah karena kau tidak bisa berdansa," simpul Jefferson sambil mengukir senyum lebar di bibirnya.
Oh, tidak. Clarice tak mengira bahwa tanggapan Jefferson akan seperti ini. "Jika kau mengajariku berdansa, itu lain lagi ceritanya."
"Shall we dance?" tanya Jefferson sambil mengulurkan tangannya tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Clarice [COMPLETED]
Fiksi Remaja(15+) ©The unusual cover by @ReonaLee Clarice Barrack adalah cewek yang disiplin dan rajin. Ia mempersiapkan masa depannya dengan baik dan menyusun to do list setiap hari. Namun, semua tatanan hidupnya berubah sejak tiga surat cinta asing tiba di l...