Clarice menerima kunci dari tangan Jefferson, lalu membuka pintu rumahnya. Ia mempersilakan Jefferson masuk, lalu menutup pintu. Kemudian, Clarice merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
"Jeff, bisakah kau mengambil kotak obat di atas meja konter dapur? Juga segelas air putih. Dapur di sebelah sana." Clarice menunjuk ke belakang bahunya, lalu memejamkan mata dan meregangkan tubuhnya di sofa.
"Kau benar-benar sakit. Mengapa kau masih berlagak kuat?" Jefferson melepaskan jaket, lalu meletakkan kunci mobil bersama dengan jaketnya di atas meja konter terdekat, yaitu di dekat pintu depan. Cowok itu tetap memandang Clarice dengan tatapan menyelidik.
Bagi Clarice, itu pertanyaan retorik. Tidak perlu jawaban. Maka, Clarice tetap bergeming. Sementara Jefferson berjalan menuju dapur, Clarice melirik melalui belakang bahunya. Sekali lagi, Clarice memperhatikan setiap gerak-gerik cowok itu. Ia benar-benar bimbang sekarang. Apa yang akan dibicarakannya dengan Jefferson setelah cowok itu kembali di hadapannya lagi nanti? Apakah ia akan langsung meminta putus hubungan sama sekali, atau ia akan mencoba memahami penjelasan Jefferson? Ia tidak tahu.
Tak lama, Jefferson pun kembali sambil membawa sekotak obat Addaprin dan segelas air mineral dari dispenser. "Maksudmu kau ingin mengambil ini, kan?"
Clarice mengangguk kecil, lalu menerima kedua benda itu. Ia membuka kotak obat Addaprin, menyobek bungkusan obat, lalu memasukkan kaplet ke mulutnya. Kemudian, Clarice meminum beberapa tegukan air sebelum mendesah lega.
Jefferson menerima uluran gelas dan kotak obat Addaprin, lalu meletakkannya di salah satu meja konter terdekat. Lalu, cowok itu duduk menjajari Clarice di sofa.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Jefferson menyandarkan kedua sikunya di atas sandaran sofa sambil menatap Clarice lurus-lurus.
Clarice terdiam sejenak, menelan saliva. Ia meraba lehernya sekali, barangkali kaplet Addaprin masih tersangkut di tenggorokannya. Oh, tentu saja tidak. Tetapi, mengapa tenggorokan Clarice terasa tercekat ketika hendak mengatakan hal ini? Rasanya sulit sekali.
Chat bisa ditarik. Tetapi perkataan tidak bisa ditarik kembali. Apakah seharusnya aku membicarakan ini lewat SMS saja? Aargh ... mengapa jadi begitu membingungkan seperti ini? Clarice terus-terusan mengingatkan dirinya sendiri tentang hal ini. Kalau begitu, bagaimana ia harus menyusun kata-katanya?
"Jefferson Royce, apa kau masih berpikir bahwa hubungan kita akan baik-baik saja setelah apa yang kaulakukan dan kulihat di Analog Brooklyn?" Oke. Bagus sekali, Clarice. Lanjutkan. Itu pertanyaan pembuka paling salah yang pernah terucapkan lewat lidahnya. Sial.
"Aku ...." Sepertinya Jefferson sedang mencoba untuk menjawab. Baiklah, Clarice sudah menanyakannya. Jadi Clarice memiringkan kepala sambil menunggu jawaban Jefferson. "Bisakah kau mendengar argumenku?" tanya cowok itu akhirnya.
Clarice mengangguk kecil. "Aku memang mengajakmu berbicara di sini karena ingin mendengar penjelasan menurutmu."
Jefferson menghela napas, lalu memulai pembicaraannya. "Kuakui, aku bukan cowok religius, baik, kalem, the boy next door, atau apa pun yang dapat mendeskripsikan tentang cowok calon pendeta. Aku adalah cowok remaja yang nakal, suka bermain, dan disukai banyak cewek. Aku yakin kau sudah mengetahui fakta itu sejak awal. Aku memang sering pergi ke kelab malam, dan berinteraksi dengan cewek-cewek malam. Yeah, aku benar-benar jujur sekarang. Tetapi, lambat laun, kebiasaan itu mulai luntur sejak aku bertemu denganmu, sejak aku berniat mengejarmu, dan sejak kita menjadi dekat. Aku menyukai waktu-waktu bersamamu, dan mulai saat itu, aku benar-benar ingin mendapatkan hatimu. Oke, kau masih mendengarku?"
Jefferson menghentikan penjelasannya ketika ia menyadari Clarice sedang duduk merosot di sofa sambil memejamkan mata. Namun, kemudian terdengar suara kecil Clarice. "Ya, lanjutkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Clarice [COMPLETED]
Teen Fiction(15+) ©The unusual cover by @ReonaLee Clarice Barrack adalah cewek yang disiplin dan rajin. Ia mempersiapkan masa depannya dengan baik dan menyusun to do list setiap hari. Namun, semua tatanan hidupnya berubah sejak tiga surat cinta asing tiba di l...