"So, what's up?" sapa Miracle ketika Clarice memasuki rumah sahabatnya itu.
Clarice melenggang memasuki rumah Miracle, menendang lepas sepatunya, lalu mengempaskan diri di sofa ruang tamu. "Tidak ada kabar apa-apa. Aku hanya ingin mengambil barang-barangku, dan ... bercerita sedikit kepadamu."
Miracle menunjukkan duckfacenya yang menggelikan. "Bercerita tentang apa? Hey, omong-omong, ke mana kau semalam? Kau tidak bermalam di café persama Noah, kan?"
Clarice menggigit bibir bawahnya sambil mendesah. Sial! Bermalam di café bersama Noah sudah buruk. Tapi yang kulakukan jauh lebih buruk dari itu. Akhirnya, Clarice memutuskan untuk menjawab, "Tentu saja tidak."
"Lalu apa yang kau lakukan?" cecar Miracle. Sahabatnya itu ikut mengempaskan diri di sofa di samping Clarice. Ia menyandarkan sikunya di atas sandaran sofa lalu menumpukan kepala di punggung tangan sambil menatap Clarice lurus-lurus.
Clarice merasa terintimidasi dengan tatapan itu. Ia mengerutkan kening seraya berdecak sebal. "Jefferson menemuiku."
"Fucking! Apakah kau melakukan sesuatu dengannya?" Tangan Miracle membentuk tanda kutip ketika mengatakan 'sesuatu'.
"Tidak! Tentu saja tidak. Apa, sih isi pikiranmu itu?" Clarice mendengus sebal sambil menepis tangan Miracle yang membentuk tanda kutip konyol. Miracle mengedikkan bahu, lalu terkekeh pelan.
Clarice pun berjalan menuju tas ranselnya yang teronggok di pinggir ruang tamu. Ia mengemasi barang-barang di sekitarnya dengan cepat, lalu masuk ke kamar Miracle. Clarice pun mengambil barang-barangnya yang diletakkan di kamar Miracle, kemudian memasukkan ke dalam tas. Setelah selesai beberes cepat, Clarice pun melemparkan tas ranselnya yang terasa bertambah berat ke depan pintu rumah Miracle. Oh, sekarang ia tidak peduli dengan itu.
"Hei, hei, hei. Kau jadi bercerita, kan? Sini. Duduklah dulu." Miracle beranjak dari sofa, lalu menarik lengan Clarice supaya kembali duduk di sofa.
Clarice pun bergerak malas menuju sofa Miracle.
"Jadi, ayo ceritakan sesuatu. Aku pendengar yang baik," ucap Miracle sambil menyibakkan rambut yang menutupi telinganya.
Awalnya, tujuan Clarice memang datang ke rumah Miracle antara lain untuk menceritakan pergulatan batinnya. Namun, Miracle yang menghancurkan moodnya tiba-tiba membuat Clarice tak tahu harus mulai bercerita dari mana.
"Aku mulai berpikir bahwa tidak seharusnya aku mencintai seseorang yang sudah dicintai banyak cewek lain. Persaingannya terlalu berat." Akhirnya, Clarice berhasil mengucapkan kalimat tersebut. Itu memang retorik, tetapi memang hal itulah yang paling ingin dibicarakannya.
"Aku belum pernah mengencani seorang cowok yang benar-benar populer. Tetapi, aku memahami perasaanmu," ujar Miracle simpatik.
Clarice mendesah. "Ini kebodohan. Aku merasa dekat dengannya, padahal ia memang dekat dengan banyak cewek. Ini menyakitkan, tapi inilah jalan yang kupilih." Bahu Clarice melesak ke bawah ketika mengatakan hal itu. Ia menundukkan kepala sambil menusuk-nusuk jarinya dengan kuku.
"Jangan salahkan cinta jika tiba-tiba kau menjadi bodoh. Cinta memang dapat membuatmu buta. Tapi itu hanya membutakan hatimu. Kau cewek pintar, Clarice. Gunakanlah matamu. Karena fakta tidak akan menipu yang firasat. Aku juga pasti akan marah jika cowok yang benar-benar kusukai berlaku seperti itu kepada cewek lain. Kau hanya boleh kembali percaya padanya, jika ia meminta maaf kepadamu secara terang-terangan. Sesuatu yang dapat kaulihat dengan mata. Terkadang, terlalu menggunakan hati membuat hidup cewek semakin menderita." Miracle menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu memejamkan mata dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Clarice [COMPLETED]
Teen Fiction(15+) ©The unusual cover by @ReonaLee Clarice Barrack adalah cewek yang disiplin dan rajin. Ia mempersiapkan masa depannya dengan baik dan menyusun to do list setiap hari. Namun, semua tatanan hidupnya berubah sejak tiga surat cinta asing tiba di l...