BAB 9

27 4 6
                                    

Clarice menenggak air mineral untuk mengalihkan fokusnya dari Jefferson yang menatapnya secara intens. Ia biasanya memang dapat menggunakan apa saja untuk mengalihkan fokus dari seseorang. Namun, mungkin kali ini ia memakai sarana yang salah. Botol air mineral sepertinya mengingatkan Jefferson tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu. Clarice dapat mengetahui itu dari cara Jefferson memerhatikannya minum.

Clarice menutup kembali botol air mineralnya. "Apa? Kau juga haus?" canda Clarice sambil menyunggingkan senyum menggoda.

"Kalau aku haus, apakah kau akan memberiku botol air mineral lagi?" tanya Jefferson sambil tertawa.

Ya Tuhan, mengapa cowok ini manis sekali? pikir Clarice sambil menggigit bibir bawahnya.

"Tidak. Tidak akan. Aku hanya membawa satu botol hari ini," jawab Clarice cepat. Gadis itu segera memasukkan botolnya ke dalam tas ransel dan membelakangi Jefferson.

"Aku dapat minum dari botol yang sama denganmu," tambah Jefferson sambil tersenyum nakal. Clarice yang masih menyibukkan diri dengan botol dan tas ransel dapat merasakan wajahnya menghangat. Ia berusaha mengondisikan wajah dan hatinya—dalam hukum fisika yang berlaku di tubuh Clarice, hati dan wajahnya tak dapat saling membohongi. Semua yang dirasakan oleh hati akan terlukiskan di wajah. Setelah menutup ritsleting tasnya, Clarice menepuk-nepuk wajahnya sebentar kemudian berbalik menghadapi Jefferson.

"Tidak, tidak. Aku sedang flu. Kau atlet lacrosse dan aku tidak ingin membuatmu sakit. Itu merugikan sekolah kita. Yeah, kau tahu?" ujar Clarice sambil menumpangkan kedua tangan di lututnya.

"Kau flu? Mengapa kau masih masuk sekolah tanpa mengenakan masker?" Jefferson berpura-pura panik sambil menyentuh kening Clarice. Cowok itu tahu bahwa Clarice hanya membuat dalih.

"Stop bersikap manis!" seru Clarice sembari menepis tangan Jefferson. Gadis itu mengerucutkan bibir sambil bersedekap. Jefferson hanya tertawa menanggapi seruan itu, kemudian memandang kosong ke arah lapangan.

"Oh, hei. Bagaimana dengan keluargamu? Apakah orang tuamu sebaik orang tua Augie Pullman? Atau sedikit bermasalah?" tanya Clarice untuk memecahkan suasana.

"Hmm? Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang keluargaku?" tanya Jefferson sambil berbalik menghadap Clarice.

"Mudah saja. Kau sudah bertanya banyak hal kepadaku. Jadi kurasa aku juga perlu mengetahui beberapa hal tentangmu," jawab Clarice. Sepersekian detik kemudian, Clarice mulai berpikir bahwa ia telah bertanya dengan cara yang salah. Apakah pertanyaan itu terkesan terlalu memaksa?

Setelah hampir setengah menit dan Jefferson tetap tidak angkat bicara, Clarice memutuskan untuk menetralkan suasananya kembali. "Maaf. Sebenarnya pertanyaan ini tidak harus dijawab kalau kau tidak ingin menjawabnya."

Jefferson menegakkan punggungnya secara tiba-tiba. "Benarkah? Aku boleh tidak menjawabnya? Apa kau tidak merasa rugi karena telah menceritakan banyak hal tentang keluargamu?" tanya Jefferson berhati-hati.

"Sebenarnya, ya. Tentu saja aku sangat dirugikan. Kau menjebakku dalam perangkapmu, Jefferson Royce." Clarice mengerucutkan bibirnya sambil menyatukan kedua alisnya.

"Maaf. Aku ... aku memang belum pernah menceritakan tentang kehidupan keluargaku kepada orang lain. Bahkan kepada teman-teman lamaku. Itu suatu hal yang sangat privasi bagiku. Mungkin suatu saat aku akan bercerita kepadamu, jika nanti kita sudah lebih akrab," jelas Jefferson sambil menundukkan kepalanya. Ini pertama kalinya Jefferson berekspresi serius sejak percakapan mereka, sehingga Clarice pikir topik ini mungkin memang sesuatu yang sangat dirahasiakannya.

"Ooo ... oke. Aku mengerti, Jefferson Royce. Aku juga biasanya tak banyak bercerita soal keluarga," sahut Clarice sambil menganggukkan kepalanya. Jefferson menghela napasnya setelah mendengar hal itu, dan tak lama kemudian wajahnya berubah cerah seperti biasa.

Dear Clarice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang