Jefferson menggenggam pergelangan tangan Clarice sambil berjalan mengantarkan gadis itu ke kafetaria. Dalam perjalanan dari parkiran menuju kafetaria pantai sepanjang lima puluh meter, Jefferson bertemu dengan banyak sekali temannya. Kebanyakan dari mereka memandang Clarice dengan tatapan aneh karena penampilan Clarice yang ekstra tertutup, tetapi ada juga yang penasaran dan bertanya kepada Jefferson.
"Siapa orang ini, Jeff?" tanya seorang pria bercelana kuning yang menggandeng gadis berkulit hitam.
"Oh ... ia lesbian dari Kanada. Aku hendak mengajaknya ke kafetaria dulu supaya ia bisa menikmati makanan khas Amerika," jelas Jefferson tanpa dosa. Di balik masker hitamnya, Clarice berusaha menahan tawa. Bagaimana bisa Jefferson memikirkan jawaban sefantastis itu?
"Hei, kita harus cepat, Clary. Pakaianmu mencolok sekali," ujar Jefferson sambil menarik Clarice menuju kafetaria. Ketika mereka telah berada dalam ruangan, Jefferson mendesah lega.
"Mencolok apanya? Ini pakaian yang sangat-sangat normal," bantah Clarice sambil melepaskan masker.
"Normal? Ha! Ketika semua orang berpakaian setengah telanjang, pakaianmu sama sekali abnormal," sahut Jefferson, lalu cowok itu menarik kursi untuk Clarice. "Baiklah. Semoga kau mendapat banyak inspirasi desain dengan memperhatikan kostum para cewek di Summer Holiday. Jika ada sesuatu, kau langsung telepon aku, OK! Handphoneku akan selalu aktif."
"Thanks, Jeff. Bersenang-senanglah," tutur Clarice sambil tersenyum tipis. Clarice pun duduk lalu mengeluarkan handphone dan earphonenya. Tiba-tiba, Clarice menyadari bahwa Jefferson masih diam di tempatnya. "Mengapa kau masih berdiri di sini?"
"Sejujurnya, aku tak rela meninggalkanmu di sini," rayu Jefferson. Telapak tangan cowok itu diletakkan di meja sehingga menyangga tubuhnya. Jarak wajah Jefferson dari wajah Clarice tidak lebih dari dua puluh senti, sehingga posisi ini membuat Clarice gugup.
"Bohong! Kau terlihat bersemangat sekali ketika datang ke sini. Cepat sana pergi. Jangan menggangguku membuat desain," usir Clarice sambil mendorong tubuh Jefferson. Jefferson tertawa pelan, kemudian melambaikan tangan ke arah Clarice. Gadis itu tersenyum tipis, lalu melanjutkan aktivitasnya sendiri.
***
Clarice benar-benar menikmati waktunya di kafetaria pantai dengan menggambar sketsa desain dan menikmati ice cream red velvet yang direkomendasikan oleh pelayan kafetaria. Oh ... Clarice tak menyangka bahwa sekarang ia cukup akrab dengan pelayan bernama Marie itu. Kausalitasnya benar-benar menggelikan.
Awalnya, Marie telah mendengar dari kabar angin bahwa Clarice adalah seorang lesbian dari Kanada. Maka, Marie yang ternyata merupakan lesbian asli mulai tertarik untuk berbincang dengan Clarice.
Pertanyaan paling menggelikan yang pernah didengar Clarice dari bibir Marie adalah: "Clarice, mengapa kau tertarik untuk menjadi lesbian? Dan kau tidak malu untuk menjelaskannya ke semua orang. Aku kagum padamu."
Clarice mengernyitkan kening. Tentu saja aku tidak malu. Karena semua itu hanya pura-pura supaya tidak ada cowok yang tertarik mendekatiku, pikir Clarice. Namun, akhirnya Clarice memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan imajinasi terliar yang sempat muncul di kepalanya.
"Oh ... begini. Sebenarnya, semua cewek tidak perlu malu mengakui jika ternyata ia lesbian. Lesbian adalah seorang feminis sejati. Itu artinya kau sangat mencintai tubuhmu dan menjunjung tinggi martabat wanita, sehingga kau tidak mau berhubungan dengan pria mana pun. Nah, kira-kira seperti itu pendapatku," tutur Clarice datar. Clarice kembali melihat-lihat daftar menu, dan tiba-tiba ia bingung.
"Marie, apa kau punya rekomendasi menu untuk lesbian Kanada melankolis yang seksi sepertiku?" tanya Clarice sambil menggigit ujung batang pensil sketsanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Clarice [COMPLETED]
Teen Fiction(15+) ©The unusual cover by @ReonaLee Clarice Barrack adalah cewek yang disiplin dan rajin. Ia mempersiapkan masa depannya dengan baik dan menyusun to do list setiap hari. Namun, semua tatanan hidupnya berubah sejak tiga surat cinta asing tiba di l...