Enam: Manila

265 43 15
                                    

Enam.

"Gimana?"

Hacihan menghela napas panjang mendengar pertanyaan dari Ara.

Mereka berjalan di lobby rumah sakit dengan perasaan yang cukup was-was, melainkan pasien rumah sakit ini dipenuhi oleh anak-anak Binaraya yang menjadi korban pertempuran kemarin.

Berbeda dengan Ara, Hacihan masih memakai seragam Beverald-nya, yang membuat dirinya lebih was-was.

Dengan memegang parsel buah di tangannya, Ara bertanya, "Lo masih ingat di mana ruangannya?"

Hacihan mengangguk. Kali ini dirinya memang tak melihat seorang pun yang berseragam Binaraya, namun ada beberapa orang di lobby sempat menatapnya dengan tidak enak.

Oh Hacihan bodoh, ya jelas nggak ada yang pake seragam, hari ini Binaraya masih libur. Ia membatin.

Hingga sampailah mereka di depan ruangan yang dituju dengan keadaan pintu tertutup.

Mereka berdiri dengan tegang di depan ruangan tersebut, padahal mereka sendiri yang menginjakkan kaki di situ.

Ara menoleh terhadap Hacihan yang masih menatap depan dengan tegang. "Lo siap?"

Hacihan menelan ludahnya lalu berjalan perlahan membuka pintu ruangan tersebut.

"Eh? Hacihan?"

Itu suara Tante Wiwin, yaitu tetangga rumahnya, teman mamanya, juga mamanya Manila.

Hacihan bernapas lega melihat keberadaan Tante Wiwin yang langsung berdiri menyambut dirinya dan Ara.

"Jadi datang?" Sambut Tante Wiwin dengan senyumnya yang merekah.

Hacihan mengangguk dan tersenyum. Disusul Ara yang langsung memberikan sebuah parsel buah pada wanita tersebut.

"Silakan duduk."

Hacihan dan Ara duduk di kursi yang tersedia di tepi ranjang, di mana Manila sedang terduduk dan menatap dengan bingung sedari tadi.

Gadis itu, Manila, tak disangkanya akhirnya Hacihan dapat menatapnya secara langsung.

Keadaan gadis itu terlihat cukup parah. Banyak luka yang diperban di sisi wajah, tangan, dan kakinya.

Ia mengenakan pakaian pasien dengan lengan bajunya yang tidak panjang, memperlihatkan beberapa luka yang diperban.

Satu hal lagi, wajahnya sangat pucat.

Beruntung sekali saat Hacihan dan Ara hadir, Manila sudah sadar dari kritisnya.

Kemarin di saat mamanya menjenguk ke sini, Manila masih dalam keadaan kritis.

"La..." Tante Wiwin terlihat menghampiri anaknya. "Ini anaknya Tante Risra, tetangga rumah kita. Hari ini dia datang menjenguk."

Hacihan tersenyum simpul pada Manila.

Manila terlihat mengangguk lalu menatap Hacihan dan berkata, "Terimakasih."

"Um... Kalian lebih baik ngobrol dulu aja ya. Tante tinggal tebus obat dulu nggak apa-apa ya," kata Tante Wiwin lalu melenggang pergi.

Hacihan sungguh tegang, ia benar-benar tidak menyiapkan sesuatu untuk bahan bicara atau apapun.

Walaupun niatnya baik, ia tetap ingin mengorek apa benar Manila adalah korban dari kekerasan kakaknya sendiri, Reno.

"Kalian anak Beverald?" Tanya Manila dengan tatapannya yang masih terlihat lemah.

Hacihan dan Ara mengangguk dengan ragu. Ara yang tadinya tenang-tenang saja menjadi ikutan tegang.

Setelah menghela napas panjang Hacihan berkata, "Perkenalkan, gue Huricihan. Lo bisa panggil gue Hacihan. Gue memang anak Beverald, tapi kehadiran gue di sini menjenguk lo secara personal bukan karena gue anak Beverald. Kita bertetangga, gue kenal nyokap lo orang yang baik, maka gue menjenguk lo sebagai seorang layaknya tetangga."

The Universe Knock My Door [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang