Hacihan bolos bekerja.Entah ada apa dengan perasannya sekarang, ia begitu hancur.
Sudah sedari siang Hacihan duduk melamun di lapangan basket yang biasanya selalu sepi.
Tidak ada ketakutan seperti sebelumnya, ia justru merasa nyaman seperti ini.
Hening.
Seperti sekarang ini, sudah pukul 7 malam tanpa disadarinya Hacihan sudah menghabiskan waktu berjam-jam di tempat itu.
"Hurici!"
Moeses berlari ke arahnya dengan raut wajah yang sangat cemas.
"Kamu kenapa?!" Moeses yang sudah duduk di sebelahnya melihat Hacihan khawatir.
Hacihan masih menatap depan dengan kosong, entah apa yang dipikirkannya.
"Ada masalah apa? Coba kamu cerita ke aku." Moeses menatapnya dalam-dalam.
Mendengarnya, Hacihan tak kuasa menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah pada pacarnya sekalipun. Maaf Moeses, ia belum siap menceritakan segalanya.
"It's okay, jangan merasa bersalah lagi. Mulai besok dan seterusnya, kamu nggak perlu datang untuk menemui saya lagi."
Kalimat yang terakhir dari Manila tadi siang itu masih membekas di dalam benak Hacihan.
Benar saja, besok-besok Hacihan tidak perlu lagi menemui gadis itu seperti biasanya.
Tadi siang setelah melihat keadaan Emir, Hacihan kembali mencari keberadaan Manila di ruangannya. Namun alih-alih menemukannya, Hacihan malah mendapati kabar bahwa Manila ternyata pulang.
Ya, tadi pagi adalah hari terakhir Manila sebagai pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dan benar saja, Hacihan melihat banyak suster dan orang dekatnya membantu Manila ke dalam mobil, seperti menyambut kepulangannya.
Sesungguhnya Hacihan merasa lega dengan apa yang dikatakan Manila, namun di saat yang sama ia juga merasa ada sesuatu yang hilang.
"Hurici, aku mau kasih tau kamu sesuatu."
Suara Moeses kembali terdengar, hal itu membuat Hacihan menatap ke arahnya.
Moeses terlihat menatap mata Hacihan dengan ragu. Seperti ada sesuatu yang mengganjal, namun tetap harus dikatakan.
"Apa?" Hacihan menanyakannya.
"Tentang beasiswa dan biaya lesku..." Moeses menggantung kalimatnya, "sebenarnya nggak ada masalah yang terjadi dengan itu."
Dahi Hacihan mengernyit.
"Aku bohong, Hurici. Semua yang aku kasih tau ke kamu pas di lapangan basket sebelumnya, itu bohong. Lesku masih berjalan, dan aku masih bisa ikut beasiswa tahun depan tanpa ada masalah apapun. Bener kata ucapan kamu, persiapan aku buat ambil beasiswa tahun depan emang terlalu dini, maka nggak etis kalo aku nyerah duluan."
"Masalah ekonomi di keluarga kamu itu bohong?" Hacihan menatapnya tanpa ekspresi.
Moeses mengangguk pelan. "Aku mohon.. kamu jangan marah sama aku. Waktu itu aku emang sengaja bilang kayak gitu karena aku nggak tau topik apa lagi yang bisa bikin kamu ngomong serius selain tentang beasiswa aku."
"Termasuk ninggalin aku biar sama Semesta?" Hacihan menekankan nama Semesta.
"Iya. Aku mohon kamu jangan—"
"Aku nggak akan marah." Hacihan menghela napas panjang lalu pandangannya beralih menyapu lapangan basket itu.
"Kamu nggak akan marah?" Moeses meyakinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe Knock My Door [SELESAI]
Fiksi Remaja[SUN SERIES] Bersekolah di SMA Beverald dan dijuluki sebagai adik dari seorang psikopat membuat Hacihan merasa bertanggung jawab terhadap hidup seseorang. Semua berawal sejak pertemuan pertama Hacihan dengan Semesta, yaitu sahabat baik dari kekasihn...