Takut.
Itu lah yang mewakili perasaan Hacihan sekarang ini.
Alih-alih memikirkan apa yang harus dilakukannya, Hacihan malah berjongkok lalu menundukkan kepalanya takut.
Bahkan rasa takutnya yang sudah memuncak itu membuat dirinya cemas jika ia harus mati hari ini karena para perampok.
Ia tak kuasa menahan rasa takutnya, hal itu jelas membuat Hacihan menahan tangisnya.
Entah kenapa, ia takut jika para perampok itu mendengar suara tangisannya jika ia menangis. Akan lebih baik seperti ini.
Terdengar suara pintu yang terbuka, Hacihan semakin tak ingin membuka mata dan menahan tangisnya.
Terdengar derap langkah seseorang yang semakin mendekat ke arahnya, hal itu jelas membuat Hacihan sangat takut.
Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat...
Hacihan dapat mendengar bahwa langkah kaki itu berhenti di belakangnya.
Hacihan semakin memejamkan matanya, ia benar-benar akan menggentayangi Semesta jika dirinya mati hari ini.
Hacihan benar-benar takut hingga—
"Hacihan."
Suara itu, Hacihan mengenalnya.
Hacihan membuka matanya perlahan dan menoleh ke belakang. Entah kenapa ia percaya pada suara yang barusan didengarnya.
"Hacihan."
Itu Semesta yang dengan tubuh jangkungnya berdiri di belakang Hacihan.
Hacihan masih sedikit trauma dengan keadaan tersebut, ia masih di posisinya dengan tubuh yang sedikit bergetar.
Dari belakang Semesta nampak seseorang masuk ke rumah dengan 2 buah lilin di tangannya.
Itu Pak Darso. Pak Darso yang berdiri di sebelah Semesta membuat sedikit pencahayaan hingga wajah Semesta terlihat walaupun samar.
Dengan perlahan Semesta meraih tubuh Hacihan untuk berdiri dan menatapnya jelas.
Dan Hacihan, ia benar-benar menatap wajah Semesta dengan sangat mendalam. Bahkan tak kuasa lagi ia menahan tangisnya di depan Semesta.
Hiks...
Hacihan menangis tersedu-sedu melihat keberadaan Semesta di depannya. Syukurlah, itu Semesta.
Pak Darso yang melihat keadaan Hacihan benar-benar bingung.
Semesta menatap Hacihan dengan bingung. Gadis itu nampak tidak beres karena air mata yang terus-menerus jatuh.
Bahkan dari suaranya, Hacihan terdengar tertekan. Bukan lagi terdengar takut, Hacihan benar-benar nangis sungguhan.
Hacihan nampak malang, ia benar-benar menangis sejadi-jadinya di depan Semesta.
Kemudian Semesta menariknya untuk duduk, Pak Darso menaruh lilin yang dibawanya di atas meja.
Hacihan masih belum berhenti juga dari tangisnya. Terdengar begitu menyesakkan hati, sepertinya Hacihan menumpahkan tangis yang sudah dipendamnya dari lama.
Tangis yang bukan lagi karena ia takut dengan kegelapan, tapi tangis yang lama sudah dipendamnya.
Tangis yang sudah disembunyikan oleh senyuman manis yang selalu melengkung di bibirnya.
Semesta mengamati Hacihan dengan iba. Ia membiarkan gadis di sebelahnya itu menangis di dalam pandangannya.
"Semesta, kenapa lama pulangnya, sih..." Kata Hacihan di sela tangisnya yang masih berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Universe Knock My Door [SELESAI]
Teen Fiction[SUN SERIES] Bersekolah di SMA Beverald dan dijuluki sebagai adik dari seorang psikopat membuat Hacihan merasa bertanggung jawab terhadap hidup seseorang. Semua berawal sejak pertemuan pertama Hacihan dengan Semesta, yaitu sahabat baik dari kekasihn...