Sehun

85 14 0
                                    


Aku selalu menantikan saat-saat seperti ini, waktu ketika akhirnya tim mading putra dan putri bekerja sama dalam sebuah acara besar.

Hal yang kuimpikan adalah, satu tim dengan cowok, terutama cowok yang sangat kusuka, seperti Suho.

Sayangnya saat hal itu terjadi, harapan yang kadang menjadi bunga tidur itu tak seindah kenyataan. Aku memang satu tim dengan cowok, tapi alih-alih bekerja sama dengan orang yang kusuka, anggota timku adalah cowok menyeramkan seperti Sehun.

Lalu, lihatlah tubuh jangkungnya itu yang kini berdiri di gerbang utama, menatap tajam ke arahku yang berlari seperti orang gila karena takut dicincang-cincang olehnya.

Satu tangannya yang dimasukkan saku hoodie membuatku memikirkan hal-hal aneh, apakah dia memegang pisau tajam di sana dan bersiap mencincangku karena tak kunjung menemuinya di gerbang utama?

Ya Tuhan, aku kemarin memang bilang padaMu untuk mengambil nyawaku karena takut hamil, tapi tidak secepat ini!

Aku menyesal kenapa membiarkannya menunggu sampai satu jam. Sungguh tak yakin rasanya akan mendapat maaf dari cowok menyeramkan itu sekarang.

"Terlambat. Ke mana aja?"

Nada datar Sehun membuat bibir spontan kelu, semua alasan yang sudah kupersiapkan pun buyar seketika.

Aku harus bilang apa?

Bahwa June menghadangku ketika akan keluar asrama dan menyeret paksa aku ke gudang depan dapur untuk meminta maaf?

Bukankah hal seperti itu tak bisa dijelaskan karena akan menimbulkan kecurigaan?

Pikiranku kembali melayang pada puluhan menit yang lalu, saat berada di pintu belakang bersiap keluar dari asrama putri untuk menemui Sehun, tiba-tiba dari arah dapur June datang.

Kami bertatapan beberapa detik sebelum kemudian aku menunduk, mengabaikan dirinya.

Lalu dengan tiba-tiba June meraih tanganku, menari paksa diri ini masuk ke gudang depan dapur, tak jauh dari kami.

June mendorong punggung sampai menabrak pintu gudang, menyekapku di sana dengan kedua lengan putih yang menonjol dibalik kaus hitam pendek yang dipakainya.

"J-June, apa yang kamu lakukan?!"

Bukannya menjawab, June malah menutup mulutku dengan satu tangan sementara tubuh depannya menekan tubuhku.

Sakit.

Sakit sekali.

"Aku minta maaf, Ahra. Aku udah bilang aku minta maaf, kan? Kenapa nggak mau memaafkanku?"

Dia berbisik di telinga dengan napasnya menerpa leher, membuatku sedikit merinding dan bergidik.

Kami saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat, June bahkan tak peduli dengan kaca-kaca di mataku, dia justru menyipit seakan ada hal mendesak dalam dirinya.

Wajahnya terlihat aneh, sendu tapi lapar. Seperti seekor serigala yang melihat mangsanya.

"Jangan teriak, atau kamu yang rugi."

Setelah memastikan aku menurut, dia pun melepas bekapan di mulut, dan mulai memelukku.

"Kumohon maafkan aku," bisiknya, "Kamu harus memaafkanku, Ahra."

Aku tak bisa mengatakan bahwa permintaan maafnya itu tulus melihat dia yang menggesek-gesekkan benda keras diantara kedua kakinya ke bagian sensitifku.

June memejamkan mata, semakin menempelkan benda itu.

"Maafkan aku, Ahra."

Dia berbisik lagi, dengan mata yang kadang terbuka dan terpejam, lalu menempelkan dadanya ke dadaku.

Zero or Hero?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang